Seperti pada tulisan saya sebelumnya, saya bingung harus mengawali darimana. Apalagi ini membahas tentang seputar “peran” yang menurut saya syarat akan makna. Seolah kata “peran” itu menjadisebuah kajian diskusi tentang strukturalisme linguistik, dimana salah satu tokohnya Roland Barthez menekankan bahwa setiap teks bukan hanya tulisan dan bahasa tetapi meluas menjadi segala tindak tanduk perilaku manusia beserta produk masyarakat yang harus dicurigai dan dibaca sebagai tanda agar kita dapat memprediksi dan memahami keinginan individu, andai mereka tidak ingin mengatakan ini sebagai ancaman dominasi baru, yaitu ideologi. Gampang – gampang susah memang mengaitkan kata “peran” dan juga “mahasiswa”. Seperti menurut Soe Hok Gie dalam film nya bahwa fungsi seorang sarjana adalah berfikir, namun bisa kita lihat sekarang perkataan Gie tersebut hanya menjadi debu papan tulis ruang kuliah atau bahkan menjadi baju usang seorang aktivis yang menekankan jiwa idealis di tengah kehidupan yang pragmatis ini.
Seorang kawan dan juga kakak bagi saya pernah mengatakan bahwa sebenarnya mahasiswa saat ini masih bisa menjadi mahasiswa yang ideal seperti hal nya “kaum pemikir” pada umumnya, tetapi sistem lah yang membuat seakan Dosen dan pulpen seperti memiliki modal kekuasaan yang sanggup mengalienasi “kita” dari “mahasiswa”. Dosen dan pulpen memiliki kapital yang sepertinya sangat sanggup memperjelas kelas, bahwa mahasiswa adalah proletar sang antitesa. Karl Marx mengatakan, bahwa mereka yang memiliki kekuatan untuk berkuasa hanya menjadikan segala sesuatunya demi keuntungan sang tuan tanah, dan yang tak memiliki lahan maka hanya menjadi pihak yang siap untuk ditindas. Dosen dan pulpen laiknya kaum kapitalis pada hari ini,mereka terlalu mendominasi dan tidak memberikan sedikit pun ruang untuk mahasiswa berekspresi. Semoga perumpamaan “dosen dan pulpen” bisa mewakili kaum – kaum proletar yang tersakiti ketika membuka portal akademik Untirta.
Sebagai kaum “akademisi proletar” kita pastilah harus bekerja keras, terutama ketika “peran” kita sebagai mahasiswa terdistorsi oleh pemikiran – pemikiran yang kolot dan tidak visioner dari pendahulu kita. Mengutip pernyataan Adian Napitupulu bahwa bangsa ini tidak akan menjadi bangsa yang merdeka jika kita selalu membiarkan kesalahan – kesalahan masa lalu mempengaruhi pemikiran kita. Hidup adalah soal pelaksanaan kata-kata, soal ide dan gagasan yang harus dirubah menjadi nyata. Parit rintangan yang menghadang adalah bagian resiko yang harus dihadapi bukan untuk ditinggalkan, juga bukan untuk diabaikan.
Ketika ide dan gagasan seorang mahasiswa kembali didengungkan, maka ketika itu pula kita sadar tentang beratus parit rintangan yang harus kita hadapi, beratus rintangan yang terjal dan mendaki. Semua akan baik-baik saja bila kita mampu mengelolanya dengan bijak, mengelola setiap parit rintangan seperti permainan yang menyenangkan. Anggap saja kita sedang bermain halang rintang, meski terkadang lutut dan siku kita harus berdarah. Gagasan seorang mahasiswa adalah inti dari “peran” mahasiswa itu sendiri menurut saya. Karena memang pada dasarnya fungsi seorang mahasiswa adalah berfikir. Tapi tetap tak luput dari fungsi dan tanggungjawab sosialnya sebagai agen perubahan. Namun, bagaimana kita bisa menjadi seorang agen perubahan jika pemikiran kita menjadi sempit dan beku karena dibatasi oleh tembok ruang kelas dan juga dinginnya ruangan kelas itu sendiri. Bahkan terkadang kita tertidur lelap dalam ruang yang sempit itu tanpa pernah memikirkan bahwa pada saat yang sama disaat kita tidur terdapat ribuan atau bahkan jutaan manusia Indonesia yang menangis kelaparan, bahkan sebagiannya lagi harus meringis tanpa daya melihat mata pencahariannya digusur satpol PP dengan alasan ketertiban dan pembangunan, seakan menjadi bangsa yang tolol, alih – alih pembangunan itu bukanlah untuk kepentingan rakyat yang membutuhkan tetapi malah menjadi proyek sebuah pusat perbelanjaan kamu kapitalis pragmatis yang hidup dari menjilat bokong pejabat. Seakan semakin lelap, didalam ruang kelas itu kita bermimpi menjadi pegawai sebuah instansi pemerintah. Alasan yang paling mendasar dari mimpi itu, kita akan menjadi minion – minion sistem yang membuat kita semakin lupa dengan tanggungjawab kita sebagai “agen perubahan”
Tapi, sadar ataupun tanpa sadar kita menikmati itu, Mungkin inilah yang dikatakan oleh Antonie Giddens, hegemoni – keterjajahan tanpa sadar dan bahagia. Sebagai mahasiswa yang memiliki pemikiran kritis, kita tidak boleh tertidur dalam ruang kelas ini. Meski mata ini sudah lelah dan memerah, meski harus meminum satu drum kopi perpustakaan tapi ini memang jalan yang harus kita hadapi dan lalui, tidak ada aspal beton, tidak ada kereta kuda, juga tidak akan ada yang menyambut kita di garis finish, apalagi kalungan bunga bak pahlawan yang menang di medan perang serta pelukan hangat dari gadis pujaan. Ini adalah jalan para petarung yang berselancar ditengah ganasnya ombak. Besar penyair karena luka, besar peselancar karena ombak, tidak pernah ada peselancar hebat yang berlatih di kolam ikan. Ini adalah jalan pedang, tajam dan meruncing tetapi tetap gagah dan akan membuat sejarah.
Akhirnya Saya awali tulisan saya dengan sebuah konsep tentang pe(mikir)an mahasiswa. Karena Saya pikir, manusia – manusia dalam organisasi ini seharusnya adalah manusia yang bisa memiliki pemikiran elegan tentang kondisi sosial dan politik saat ini. Apakah pemikiran itu aplikatif atau teoritis itu bukan soal. Karena menurut saya, hanya ada tiga jenis golongan manusia di dunia ini ; yang pertama adalah mereka yang hidup dan bekerja karena mempertahankan pemikirannya; yang kedua adalah mereka yang mati karena mempertahankan pemikirannya, dalam hal ini termasuk Socrates, Yesus dan Galileo Galilei; dan yang ketiga adalah mereka yang hanya hidup tanpa pernah berpikir. Sebagai Fakultas sosial dan politik, FISIP yang seharusnya mengambil alih panji pemikiran di kampus pada tahun ini. Melihat tahun ini adalah tahun politik, saya pikir perlu diadakannya sebuah pendidikan politik terhadap masyarakat sebagai bentuk tanggungjawab kita sebagai mahasiswa. Melihat masyarakat saat ini sudah semakin ditelanjangi oleh para punggawa politik melalui media – media informasi, baik cetak dan elektronik. Dengan merujuk pada teori agenda setting, seolah masyarakat menginginkan sebuah tayangan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tapi tentu, sebelum melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat, kita pastinya harus melakukan kajian – kajian konklusif tentang politik itu sendiri dan juga menumbuhkan jiwa kepekaan sosial dari diri kita. Minimalnya jika waktu tidak mendukung, kita sudah bisa memberikan pemahaman politik terhadap masyarakat sekitar kita.
Hal penting yang harus masyarakat pahami adalah bahwa yang diperlukan oleh para caleg dari masyarakat pada saat pemilihan hanyalah jumlah kepala sebagai bentuk kuantitas pemilih. Semakin banyak para caleg memberikan kerudung pada ibu – ibu, maka semakin banyak juga kepala yang sudah mereka beli. Publik dibuat tertawa dan tersenyum, bahkan mengucapkan terimakasih atas pemerkosaan hak yang sudah dilakukan para caleg terhadapnya. Apakah hal yang manusiawi jika satu suara manusia Indonesia hanya ditukar dengan satu buah kerudung atau bahkan satu kantong plastik sembako ? padahal sebenarnya masyarakat Indonesia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera jika tidak terpengaruh oleh janji – janji palsu caleg yang tanpa malu memasang wajahnya di pepohonan pinggir jalan raya atau bahkan di kaca belakang sebuah angkutan kota. Padahal menurut Komisi pemilihan umum (KPU) kampanye secara terbuka baik melalui media ataupun dengan konsep panggung rakyat itu baru bisa dilaksanakan sekitar tiga minggu sebelum masa tenang. Tapi kenyataannya sudah jauh – jauh hari sebelum pemilihan mereka berani memasang wajah mereka. Artinya adalah para caleg dengan tanpa malu meng-ekspose kesalahan mereka dihadapan publik. Kenapa publik diam saja ? karena publik tidak mengetahui prihal peraturan KPU tersebut. Dan itulah fungsi pendidikan politik sebenarnya, agar masyarakat yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak mengerti menjadi mengerti.
Menurut saya dan memang seharusnya begitu, para caleg harus mengambil isi kepala dari masyarakat. Dalam hal ini yaitu buah pemikiran dan aspirasi masyarakat – masyarakat Indonesia. Karena memang itulah fungsi legislatif, sebagai wakil rakyat yang menyerap aspirasi rakyat. Namun, kejahatan yang sudah tersusun secara sistematis ini terus terjadi hingga tataran pejabat daerah. legislatif ibarat anak TK menurut Gusdur. Bahkan quote Ali Ibn Abi Thalib pun mencerminkan hal ini, beliau mengatakan bahwa kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebijakan yang tidak terorganisir. Dan menurut saya, hal yang bisa kita lakukan adalah dengan melakukan tindakan nyata terhadap masyarakat untuk merubah keburukan sosial yang sudah terstruktur ini. Benar mungkin menurut Jurgen Habermass bahwa revolusi (perubahan) hari ini bukanlah perubahan yang bersifat feodalism, tetapi perubahan yang dilakukan dengan proses diplomatis yang menekankan pada sisi emansipatoris pelaku komunikasi. Dalam hal ini tentu dengan melakukan pendekatan terhadap masyarakat.
Di dunia ini, kita akan diuji seberapa tangguh kita mampu mempertahankan ide dan gagasan kita dan seberapa tangguh kita menghadapi berbagai macam parit rintangan yang menghadang. Disini kita juga akan diuji seberapa tabah kita menghadapi cemoohan, celaan serta kata-kata makian yang melayang begitu saja dihadapan kita. Pilihannya, bangkit melawan atau tunduk tertindas. Karena mundur adalah pengkhianatan.
“pemikiran tidak memiliki darah, tidak merasakan sakit, dan tidak memiliki cinta”
–V For Vendetta
Yuda Wiranata
Ilmu Komunikasi 2011
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa