Bidikutama.com – Musyawarah dan mufakat merupakan warisan agung para leluhur bangsa Indonesia. Dibanding negara-negara lain, bangsa Indonesia dengan musyawarah mufakatnya mampu menciptakan dan menjaga ketentraman di tengah keberagaman.
Generasi muda Indonesia di masa silam pernah mencetak sejarah demokrasi yang sehat, yakni memutuskan kebijakan dan ketetapan melalui musyawarah mufakat. Kongres Pemuda II, yang pada kegiatannya memiliki makna mendalam yakni Sumpah Pemuda, merupakan salah satu hasil dari kekuatan musyawarah. Kita bisa lihat, bagaimana para pemuda era tahun 30-an berdiskusi, bermusyawarah, dan bermufakat sehingga dapat melahirkan sebuah ikrar besar yang sampai saat ini mampu mempersatukan kita semua lewat Sumpah Pemuda.
Kemudian kita maju sedikit ke tahun-tahun dimana Indonesia hampir mendekati kemerdekaan. Tepatnya pada sidang BPUPKI. Dari kejadian ini bisa kita lihat, bagaimana kekuatan musyawarah yang menjadi teknis dalam persidangan tersebut juga telah melahirkan sesuatu yang besar, yaitu Pancasila.
Kemudian pada 17 Agustus 1945, kita juga bisa lihat musyawarah yang lagi-lagi menjadi fondasi dalam persidangan melahirkan keputusan yang tepat, yakni penetapan Soekarno sebagai Presiden pertama dan Moh. Hatta menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dan masih banyak sebenarnya momen penting yang keputusannya diambil lewat musyawarah mufakat. Memang semangat musyawarah akhir-akhir ini menurun. Hal itu sering terjadi seiring dengan perkembangan zaman yang serba instan dan digital. Akibatnya, media untuk melaksanakan musyawarah mufakat bergeser.
Padahal musyawarah mufakat juga bagian dari demokrasi, lebih tepatnya konsep demokrasi di Indonesia. Musyawarah mufakat juga menjadi local wisdom yang telah terbukti menjadi sendi bangsa yang kokoh. Itu dibuktikan selama rentang usia Indonesia dari masa kemerdekaan sampai sekarang, dimana melalui musyawarah mufakat Indonesia mampu menangani dan menyelesaikan berbagai persoalan.
Bukan hanya itu, musyawarah mufakat sebagai demokrasi di Indonesia juga punya kelebihan tersendiri dibanding demokrasi yang mengandalkan sistem one man one vote. Pertama, musyawarah memberikan nilai tinggi untuk suara orang yang ahli dan berpendidikan di masing-masing bidang sehingga dapat mengetahui secara jelas tentang hal yang harus dipertimbangkan sebelum ditetapkan menjadi keputusan, sementara demokrasi biasa menyamaratakan semua suara, jadi tidak ada perbedaan antara orang yang tidak berilmu dengan yang berilmu dalam pengambilan keputusan.
Kedua, musyawarah mengutamakan kekuatan argument yang logic, masuk akal, jelas, dan berdasar sehingga satu orang yang argumentatif bisa mengalahkan seribu suara yang tidak argumentatif, dengan demikian keputusan yang didapat terminimalisir dari keputusan yang tidak jelas dasarnya. Hal ini berbeda dengan pemilihan yang hanya berpegang pada suara terbanyak walaupun tidak argumentatif, bahkan acap kali pendapat aneh dan tidak masuk akal jadi putusan. Yang terakhir adalah musyawarah itu adil dan tidak berlebihan sehingga menempatkan suara rakyat tetap sebagai suara manusia yang memiliki kebenaran dan kekurangannya masing-masing, sedangkan demokrasi menempatkan suara rakyat sebagai suara Tuhan tanpa membedakan baik dan buruknya.
Namun dengan demikian apakah berarti demokarasi one man one vote itu buruk? Tidak juga, demokrasi pada umumnya tidak buruk. Namun, jika Indonesia memiliki sistem demokrasi yang lebih baik mengapa tidak diterapkan? One man one vote tetap bisa menjadi pilihan ketika pada musyawarah tidak mendapat mufakat, saat itulah one man one vote bisa diterapkan karena ketika sudah melakukan musyawarah namun tidak mufakat, setidaknya sudah dipertimbangkan baik-buruknya suatu putusan, selebihnya bagaimana cara orang yang terlibat dalam musyawarah tersebut mampu menterjemahkan hasil musyawarahnya sebelum masuk ke pemilihan.
Musyawarah mufakat bukan hanya dilakukan untuk persidangan-persidangan besar negara, namun juga baik untuk diterapkan dalam seluruh sendi dan lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu di antaranya musyawarah untuk menentukan calon pimpinan di tingkat kampus.
Musyawarah mufakat tentu sangat baik untuk dilakukan, karena selain menjadi nafas demokrasi bangsa ini, musyawarah juga menganut sistem keterbukaan. Jika satu sama lain mahasiswa saling terbuka, maka akan muncul rasa toleran. Toleran ini adalah basis dasar dari musyawarah, karena toleran muncul dari rasa saling mengerti atas kondisi yang sudah saling terbuka. Jika sudah sampai ke tahap toleran, maka tahap puncaknya adalah kerukunan. Kerukuan sendiri merupakan tingkatan tertinggi dalam bermasyarakat baik dalam konteks bermasyarakat secara umum maupun bermasyarakat dalam lingkungan kampus, yang mengutamakan keterbukaan dan musyawarah sebagai jalan untuk saling mengerti kemauan, kondisi, dan keadaan satu sama lain.
Musyawarah ini tidak sempit definisinya, keputusan aklamasi pada sebuah pemilihan juga terjadi karena musyawarah. Dengan demikian aklamasi juga merupakan bagian dari musyawarah mufakat. Maka dari itu aklamasi dalam suatu pemilihan umum di kampus baik itu tingkat Universitas, Fakultas, maupun Jurusan bukanlah hal yang aneh dan selalu diduga-duga bersifat politis. Apalagi aklamasi dikatakan sebagai penyakit turun-temurun. Jika aklamasi ini dikatakan sebagai penyakit, maka seharusnya orang yang mengatakan itu memahami terlebih dahulu dasar dari aklamasi dan musyawarah mufakat yang terjadi. Karena salah paham terjadi akibat adanya paham yang salah, paham yang salah terjadi akibat tidak adanya keterbukaan, jika satu sama lain tidak terbuka maka sulit untuk bisa saling toleran, dan jika tidak pernah toleran maka kerukunanpun tidak akan bisa terwujud.
Di Untirta sendiri yang tempo hari melaksanakan pesta demokrasi mahasiswa atau yang biasa disebut Pemira, beberapa Fakultas dan Jurusan yang ada tidak melakukan pemilihan umum atau aklamasi. Seperti yang ada di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), tercatat ada 14 HMJ-nya yang melakukan aklamasi, yaitu HIMATIKA; HIMABIO; HMJ IPA; HMJ BK; ESA; HIMADIKSIO; HIMAPETRO; HIMA SENI; HIMAFI; HIMA PKh; HIMADIRA; HIMA PPKn; HIMA PTM; dan HMJ PNF. Kemudian di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) ada satu calonnya yang melakukan aklamasi, yakni pada jurusan Ekonomi Pembangunan atau HIMEPTA. Lalu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sebenarnya juga terdapat satu paslon pada HIMA AP, namun karena tetap diadakan pemilihan melawan kotak kosong pada hari H Pemira. Maka hal tersebut tidak dapat dikatakan aklamasi, karena aklamasi sendiri memiliki arti pernyataan setuju terhadap suatu usul tanpa melalui pemungutan suara. Dan yang terakhir adalah aklamasi yang terjadi pada Fakultas Pertanian, dimana paslon di tingkat Fakultas yakni Calon Ketua dan Wakil Ketua BEM FAPERTA serta Calon Ketua dan Wakil Ketua HIMAGRON, HIMAGRI, dan HIMAPI semuanya melakukan aklamasi. Hal tersebut merupakan cerminan baik bahwa beberapa Fakultas dan Jurusan di Untirta sudah menentukan calon ketua dan wakilnya melalui musyawarah yang dimufakati bersama.
Maka sebagai saran, orang yang mengatakan bahwa aklamasi adalah penyakit, segeralah untuk terbuka, dan bermusyawarahlah. Jangan sampai kita teriak anti terhadap asing, tapi tidak mau bangga dengan budaya sendiri, yaitu musyawarah dan mufakat.

Penulis: Itmamul Wafa Sidiq (Ketua Himagron Untirta 2020)
Editor: Thoby/BU