Bidikutama.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tengah dibahas saat ini telah memicu berbagai reaksi dan perdebatan di masyarakat. RUU TNI memunculkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan banyak masyarakat, terutama soal bahaya laten kebangkitan Neo-Orde Baru (Orba) dan potensi kembalinya dwifungsi TNI dalam bentuk yang lebih modern atau yang sering disebut sebagai dwifungsi 2.0. Senin (17/3)
Di bawah rezim Orba, dwifungsi TNI menjadi salah satu fondasi utama yang membuat militer memiliki pengaruh besar dalam politik dan pemerintahan. Hal ini berujung pada keterlibatan militer dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan politik yang mengurangi peran sipil dalam menentukan kebijakan negara. Pasca-Reformasi, salah satu pilar utama yang diperjuangkan adalah pemisahan antara militer dan politik mengarah pada sebuah negara yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip sipil dalam pemerintahan.
Pemerintah sudah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi undang-undang TNI kepada parlemen pada 11 Maret 2025. Dari DIM yang diserahkan, draft TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwifungsi TNI dan menguatnya militerisme.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan Presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi bisnis yang di masa Orba terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.
Koalisi masyarakat sipil sejak awal menilai pengajuan revisi terhadap Undang-Undang (UU) TNI tidak mendesak karena UU TNI No. 34 tahun 2004 masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional sehingga belum perlu diubah. Secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah. Pertama, perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI. Untuk di kantor Kejaksaan Agung, penempatan ini tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum.
Sebenarnya yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Namun, penyempitan, pembatasan dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI. Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah.
Dwifungsi 2.0 bukan hanya soal kekuatan militer yang semakin besar dalam politik, tetapi juga soal peran aktif TNI dalam mengatur dan mengawasi berbagai sektor strategis dalam kehidupan bernegara. Beberapa pasal dalam RUU TNI mengatur peran TNI yang jauh lebih luas dari sekadar tugas pertahanan yang mencakup intervensi dalam berbagai urusan sipil dan politik, termasuk dalam penyelesaian masalah keamanan domestik dan pengawasan terhadap aktivitas sosial. Hal ini berisiko mereduksi ruang gerak bagi masyarakat sipil dalam menjalankan hak-hak demokratis mereka.
Banyak kalangan mengkhawatirkan bahwa kembalinya dwifungsi ini akan mengarah pada penguatan kontrol militer dalam kehidupan politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini bisa mempengaruhi kebebasan sipil, memperlemah sistem checks and balances, dan membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Masyarakat yang pernah merasakan otoritarianisme di bawah Orba tentu tidak ingin kembali ke masa tersebut. Selain itu, revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI. Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) di masa depan.
Penting untuk terus mengingatkan bahwa tujuan utama dari Reformasi 1998 adalah untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis dan terbuka dengan pemisahan yang jelas antara militer dan politik. Kembali menghidupkan dwifungsi TNI dalam bentuk baru melalui RUU TNI yang sedang dibahas, tidak hanya akan mengancam prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga membuka jalan bagi neo-Orba yang mengarah pada pemerintahan otoriter.
Oleh karena itu, para publik, akademisi, politisi, dan semua elemen masyarakat harus terus mengawasi dengan kritis pembahasan RUU ini, serta memastikan bahwa Indonesia tetap pada jalur demokrasi yang benar dan tidak terjebak dalam bahaya laten kebangkitan kembali era yang telah kita tinggalkan.
Penulis : Syarifah Sani Putri Harahap/Mahasiswi Fakultas Hukum
Editor : Raffa/BU