Bidikutama.com – Mau tahu seberapa jauh ketertinggalannya cara budaya dan berpikir di Indonesia dibandingkan negara-negara di Eropa? Jawabannya, terlambat 6 abad. Enam ratus tahun. Tujuh ribu dua ratus sembilan bulan.
Sungguh sangat sangat ironi ketika melihat fakta bahwa sesungguhnya kita memang sangat tertinggal dari bangsa yang bahkan mungkin sudah memikirkan bagaimana membuat koloni di Mars dan sibuk menjelajah angkasa. Sedangkan kita? Masih bergelut seputar isu dan hoaks belaka, serta cara ospek universitas (sekarang diganti PKKMB) yang tidak memanusiakan manusia, yang selalu mengutamakan senioritas, dengan dalih bahwa cara tersebut mendidik pribadi mahasiswa baru (maba) menjadi lebih tangguh, katanya, menjadi lebih kritis, katanya.
Selalu saja ada pembenaran untuk kesalahan yang sudah menjadi budaya turun-temurun. Alih-alih mengedukasi atau dijadikan sarana sosialisasi kampus, acara ospek atau penerimaan maba kerap diselipi bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal, yang dilakukan senior.
Menurut Liza Marielly Djaprie, seorang psikolog klinis dan praktisi hipnoterapi, penerimaan bentuk senioritas dalam ospek amat berbeda dan subjektif bagi tiap individu.
“Kita harus hati-hati sekali pada saat memberikan treatment saat ospek, seharusnya senior bisa melihat mana junior yang bisa diperlakukan seperti ini, mana yang tidak. Tapi biasanya kan sulit, karena treatment-nya sama, pukul rata. Makanya berdampak ada junior yang justru malah depresi setelah sesi ospek, ada yang justru termotivasi, ada yang lurus-lurus saja dan enggak peduli dengan seniornya,” jelas Liza.
Penerapan senioritas di ospek dalam koridor yang salah memang tidak menutup kemungkinan untuk membuka celah terjadinya kekerasan atau bullying. Hingga yang paling tidak disadari, yaitu melanggengkan kebencian antar generasi.
Namun, Liza berpendapat, bisa jadi senior yang sedang mengospek juniornya tersebut hanya menurunkan apa yang dia tahu. Kemudian, senior tersebut memang tidak diizinkan untuk menerapkan perlakuan yang berbeda pada juniornya.
“Mungkin seniornya juga enggak ngeh sedang melanggengkan kebencian, tapi lebih kepada ketakutan jika tidak sesuai dengan aturan yang sudah berlaku sebelumnya,” ungkapnya.
Kasus terbaru soal ‘marah-marah saat PKKMB online‘ kemarin terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Surabaya, yang mana salah satu panitia PKKMB memarahi peserta didik karena tidak memakai sabuk. Betul, kalian tidak salah baca, memang karena hal sepele, mahasiswa baru tersebut diomeli di depan peserta lain, seakan-akan dia membawa bom nuklir saat PKKMB.
Jelas hal itu merupakan hal sepele, yang selalu dibenarkan oleh para senior untuk menindas maba, dengan dalih mendidik, padahal balas dendam karena tahun sebelumnya mereka pun diperlakukan sama. Inilah hal sepele yang membuat kita tertinggal jauh dari peradaban, berbeda dengan di Eropa yang diisi hal-hal yang jauh lebih berfaedah.
Berhenti mengajarkan seseorang untuk menghormati orang lain, apalagi untuk mengajarkan seseorang menaruh respect pada setiap orang. Jika kita melihat Oxford Dictionary atau Merriam-Webster, kita bisa mengetahui apa yang dimaksud dengan respect.
Respect adalah perasaan mengagumi seseorang karena karakteristik atau achievement yang mereka miliki. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang difatwakan oleh Jordan Bernt Peterson, seorang psikolog dari Kanada, dalam salah satu lecture-nya yang menyatakan bahwasannya sangat keliru apabila kita memberikan rasa hormat kepada semua orang, hanya karena kita mengatakan peradaban manusia akan bergerak menuju arah yang lebih baik jika kita menghormati satu sama lain.
Peradaban manusia sejatinya akan maju dan akan tetap maju jika kita menghormati orang yang pantas dihormati. Kalian tidak menghormati secara random. Apa gunanya hormat jika kita menghormati seseorang secara random? Ini seperti nilai mata uang yang tidak berarti ketika uang terlalu banyak yang beredar (inflasi). Menghormati semua orang hanya membuat kehormatan menjadi tidak bernilai.
Rasa hormat seharusnya hanya terbatas untuk beberapa kategori orang yang pantas dihormati (karena sifat, pencapaian, perbuatan, dan lain-lain). Jadi, apa yang dimaksud dalam ruang wacana akademik kita sebenarnya adalah sopan santun di antara orang-orang, dan itu bukanlah rasa hormat. Penggunaan definisi di sana amatlah penting. Respect is earned, not given.
Dan di hampir semua universitas yang melaksanakan PKKMB, khususnya di Indonesia, terdapat panitia bernama komisi disiplin (komdis), atau setara dengan divisi keamanan dan ketertiban yang bertujuan untuk mendisiplinkan maba dan mengajarkan nilai-nilai atau karakter, maupun kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh mereka.
Hal yang dilaksanakan oleh komdis tersebut amatlah naif dan omong kosong. Berdasarkan observasi yang dilaksanakan oleh psikolog dari University of Illinois, Amerika Serikat, Nathan W. Hudson dan Brent W. Roberts, mereka menemukan banyak orang-orang yang ingin mengubah kepribadian ataupun karakteristik dari diri mereka sendiri.
Dalam observasi tersebut, mereka juga menyadari bahwa mengubah kepribadian seseorang itu teramat sulit. Meskipun selama 4 bulan mereka menyediakan psikolog untuk membantu mengubah kepribadian para partisipan, akan tetapi tetaplah sulit untuk mencapai perubahan yang signifikan. Maka dari itu, sangatlah naif apabila kita mempercayakan para senior kampus yang tidak memiliki keahlian di bidang psikologi, untuk mengubah kepribadian atau sifat dari juniornya dalam waktu 2 – 4 hari.
Terus mewajibkan PKKMB tidak akan mengajarkan rasa tanggung jawab pada mahasiswa, karena seharusnya setiap mahasiswa bertanggung jawab terhadap diri dan tindakannya, bukan karena paksaan. Ini menjadi alasan bahwa kegiatan PKKMB di luar negeri bukan suatu hal yang wajib.
Jadi, buat kalian yang kini menjadi panitia PKKMB maupun calon mahasiswa yang akan mengikuti PKKMB, jangan menjadikan kegiatan PKKMB sebagai alat untuk melestarikan budaya feodal. Kalau bisa, kegiatan PKKMB mungkin lebih bermanfaat, jika dijadikan ajang bertukar pikiran dan diskusi, karena budaya intelektual muncul dari tukar pikir pendapat, bukan dengan cara membentak-bentak dan menyalahnyalahkan hal yang tidak perlu.
Di saat yang lain sudah berlomba ke Antariksa, kita masih seputar isu dan hoaks belaka. Di saat yang lain berlomba berdonasi, kita minta disuapi. Mau sampai kapan? Mari merubah Indonesia dengan mengubah pola pikir. Buang sifat Inlander yang sudah melekat pada kita selama 350 tahun lamanya.
Jadilah pengubah bangsa, bukan penerus bangsa.
Sumber :
Penulis : Audi/BU
Editor : Thoby/BU