Bidikutama.com — Baru-baru ini sedang viral podcast Deddy Corbuzier karena mengundang dua narasumber Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT). Podcast tersebut menjadi kontroversial hingga banyak dibicarakan di banyak media sosial. (15/5)
Pro dan kontra bahkan banyak terjadi antara netizen media sosial. Bahkan, sampai ada yang menyebut bahwa podcats Deddy Corbuzier itu terlalu liberal, dan dia salah memilih guru mengaji ketika menjadi seorang mualaf.
Sebagian netizen di media sosial menganggap podcast Deddy Corbuzier bersama pasangan LGBT itu adalah bagian dari sebuah kebebasan berpendapat dan berpikir seorang manusia. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa podcast tersebut telah mengampanyekan dan mendukung gerakan LGBT, sehingga banyak orang mengecam dirinya, bahkan ada yang mau melaporkannya ke pihak berwajib.
Saya jadi teringat tulisan-tulisan seorang intelektual muda muslim, yaitu Ahmad Wahib tentang kebebasan berpikir dan berpendapat. Wahib hidup di era yang sama dengan intelektual muda lainnya seperti Soehokgie. Hanya saja memang Wahib tidak banyak dikenal orang, tetapi pergolakan pikiran-pikirannya yang tajam masih relevan hingga saat ini.
Katakanlah Deddy Corbuzier salah dalam persoalan ini. Menurut Wahib orang-orang yang berpikir itu, walaupun hasilnya salah, masih jauh lebih baik dari pada orang-orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir, dan ia sungguh tidak dapat mengerti mengapa orang-orang begitu sangat takut dengan kebebasan berpikir. Padahal, dengan berpikir bebas manusia akan jauh lebih memahami tentang dirinya sendiri. Manusia akan lebih banyak tahu tentang kemanusiaannya. Mungkin akan ada orang yang mengemukakan bahaya dari berpikir bebas yaitu orang yang berpikir bebas itu cenderung liberal atau bahkan bisa jadi berbahaya. Benarkah demikian? Padahal orang yang sama sekali tidak berpikir juga bisa berbahaya!
Lebih dalam lagi Wahib mengatakan dengan berpikir bebas memang bisa salah hasilnya. Dengan tidak berpikir bebas juga bisa salah hasilnya. Lalu mana yang lebih potensial untuk menjadi benar? Mana yang lebih potensial untuk menemukan kebenaraan-kebenaran baru? Katanya, orang yang takut dengan kebebasan berpikir itu telah menyia-nyiakan hadiah Tuhan yang begitu berharga yaitu otak. Pemikir bebas itu adalah orang-orang yang senantiasa gelisah. Kegelisahan itu memang dicarinya. Mereka gelisah untuk memikirkan macam-macam hal terutama hal-hal yang dasariah dengan semata-mata berpijak pada obyektivitas akal.
Pada akhirnya, memang Wahib tidak mendewa-dewakan kekuatan berpikir manusia sehinga seolah-olah absolut. Kekuatan berpikir manusia itu memang ada batasnya, sekali lagi ada batasnya! Tapi pertanyaannya siapa yang tau batas-batas itu? Selama otak itu masih bisa bekerja atau berpikir, itulah tanda bahwa ia masih dalam batas kemampuannya.
Sebagai intelektual muslim, Wahib juga menuliskan dalam catatannya, kalau betul-betul Islam itu membatasi kebebasan berpikir, sebaiknyalah saya berpikir lagi tentang anutan saya terhadap Islam ini. Maka hanya ada dua pilihan, yaitu menjadi muslim sebagian atau setengah-setengah atau malah menjadi kafir. Namun, sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga dengan otak saya yang selalu bertanya, tentang Dia. Saya percaya bahwa Tuhan itu segar, hidup, tidak beku. Dia tak akan mau dibekukan.
Penulis : Moch Aziz/Mahasiswa Administrasi Publik Untirta 2019
Editor : Owen/BU