Bidikutama.com – Pada tahun 2019, saat mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum (PIH), dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) bernama Pak Syar’i menerangkan materi tentang dasar-dasar yang perlu dipahami terkait Ilmu Hukum. Salah satu yang paling mendasar yaitu pengertian Ilmu Hukum itu sendiri. Sebab sampai saat ini tidak ada pengertian hukum yang bersifat universal atau pengertian yang disepakati seluruh ahli hukum dunia.
Setiap ahli punya pengertian hukumnya masing-masing. Jadi jangan heran kalau kamu bertanya kepada 10 ahli hukum tentang definisi hukum, maka kamu akan mendapatkan 11 jawaban. Jawaban ke-11 yaitu kesimpulan dari 10 pendapat ahli yang kita tanya sebelumnya, tetapi sebetulnya kita bisa memaknai hukum dengan pengertian paling mudah. Hukum = aturan yang mengikat.
Kenapa manusia butuh aturan?
Jika kita lihat kilas balik masa awal-awal manusia hidup sekitar 200 juta tahun lalu, kita Homo Sapiens merupakan hewan yang sangat akrab dengan kekerasan. Periode hunter – gatherer bisa dibilang masa saat kita lebih mengandalkan otot daripada otak. Sebetulnya itu penting karena untuk bisa mempertahankan diri dan terus lestari menghindari kepunahan, kekerasan merupakan jalan utama yang harus ditempuh.
Bahkan jenis manusia lain yang sudah punah pun seperti Homo Neanderthal diduga punah akibat kebrutalan Homo Sapiens untuk melakukan Conqueror dengan kekerasan. Pada titik inilah akhirnya manusia sadar untuk kemudian menciptakan realitas intersubjektif bernama hukum, agar naluri alamiah untuk selalu menaklukan spesies lain maupun sesama manusia lainnya dapat diminimalisir.
Sudah tidak terhitung jari berapa spesies organisme lain yang punah akibat manusia juga peristiwa pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang melibatkan tewasnya jutaan manusia. Sebut saja Genosida rakyat muslim di Bosnia, pembantaian etnis Rohingya, pembantaian orang Yahudi oleh mas-mas kumis, dan peristiwa yang jadi catatan hitam sejarah Indonesia yang mayoritas rakyatnya lupa atau buta sejarah terkait peristiwa itu. Ya, Peristiwa G30S pada tahun 1965. Bukan salah kita jika kita memahami sejarah G30S percis seperti apa yang telah didoktrinkan oleh Orde Baru lewat propagandanya, yang paling jelas yaitu lewat film Pemberontakan G30S PKI yang kerap diputar di sekolah-sekolah tiap tanggal 30 September setiap tahunnya.
Walau memiliki adegan yang sadis-sadis serta durasi yang lama dari film pada umumnya, film tersebut terbukti efektif untuk kemudian membuat semua orang di bumi nusantara yakin dan percaya jika musuh terbesar rakyat Indonesia adalah paham komunisme, lenimisme, dan berbagai turunannya. Kita dibuat benci dan bergumam “mereka pantas mati” karena tiap adegan sadis di film itu berusaha membuat ruang pikir kita merasa bahwa para jenderal yang dibunuh adalah protagonis dan para pembunuhnya adalah antagonis.
Pandangan kita kepada pemerintahan Orde Baru akan melihat mereka menjadi juru selamat dan mewajarkan kebijakan Soeharto yaitu “Tumpas PKI sampai ke akarnya”. Walhasil pembantaian di hampir seluruh wilayah Indonesia akan kita wajarkan, imbas dari pandangan dikotomi kita yang hanya melihat bahwa jika dia jahat pasti jahat dan jika dia baik pasti baik. Kita perlu paham bahwa berbagai unsur di kehidupan ini merupakan spektrum, artinya kita tidak bisa melihat segala sesuatu hanya A dan B kemudian melupakan huruf lainnya yang jumlahnya 26.
Untuk memahami kejadian G30S secara utuh memang sulit, sebab banyak sejarah serta bukti dan fakta yang dikaburkan. Tapi memang kita tidak bisa melihat dan menilai kejadian pra dan pasca G30S dengan kacamata moral saat ini. Kondisi politik, sosial, ekonomi dan perkembangan pandangan masyarakat saat ini tentu berbeda. Iklim politik Indonesia pada masa itu sangatlah kompleks. Menjelang kejadian September itupun PKI dan parpol lainnya sedang terlibat konflik panas, PKI yang saat itu merupakan parpol terbesar di Indonesia melakukan penekanan kepada masyarakat yang tidak sealiran. Ketika keadaan membalik, luapan balas dendam tentu tidak bisa dibendung, tapi apapun alasannya pembantaian yang dilakukan PKI maupun Orde Baru sebagai balas dendam tidaklah bisa dibenarkan.
Pembantaian yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Papua sangatlah sadis dan membuat siapapun yang habis menonton film “Act of Killing” alias “Jagal” atau membaca buku-buku hasil Investigasi kejadian tahun 1965 dan tahun-tahun sesudahnya akan merasa sedih. Harga nyawa manusia pada saat itu tidaklah lebih mahal dari harga permen di warung. Diperkirakan 3 Juta orang tewas diakibatkan oleh pembantaian dengan dalih semangat heroisme menumpas komunisme yang mengancam NKRI. Tidak pernah ada angka pasti terkait jumlah korban, sebab pembantaian dilakukan secara masif kepada orang yang terlibat atau bahkan hanya terafiliasi dengan PKI.
Tanggung jawab patut disasarkan kepada Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga militer bentukan Soeharto yang memiliki satu tugas, habisi PKI sampai akarnya tanpa melalui pengadilan dan dilakukan secara sporadis. Akhirnya Kopkamtib pun merekrut tenaga luar militer untuk membantu tugasnya tersebut, maka dari itu jangan heran jika di Jawa pembantaian dilakukan oleh para Nahdlatul Ulama (NU) serta organisasi yang terafiliasi dengannya seperti Gerakan Pemuda (GP) Ansor. Di sana pembantaian mengatasnamakan agama, para simpatisan PKI dicap tidak beragama dan dihalalkan darahnya, sehingga mudah untuk meraup masa melalui doktrin-doktrin kafir agar mau membunuh saudara se-tanah airnya tersebut.
Cukup mengiris hati bagaimana para pelaku menerangkan bagaimana mereka membunuh orang yang diduga PKI dengan semangat heroisme dan bangga menceritakan detail cara melakukannya. Di Medan kita mengenal Anwar Congo, seorang calo bioskop yang menjadi pembantai ulung para simpatisan PKI. Diduga motif utama dirinya menjadi jagal simpatisan diduga PKI yaitu karena dendam pribadi. Anwar kesal karena PKI yang antikapitalisme melarang film barat yang dianggap kapitalisme yang bertahun-tahun menjadi sumber rezeki Anwar sebagai calo karcis bioskop.
Dirinya yang juga merupakan anggota Organisasi Masyarakat (Ormas) Pemuda Pancasila akhirnya menjadi antek-antek Kopkamtib beserta kawan-kawannya melakukan pembantaian dengan santai. Dirinya bahkan mengatakan jika dirinya melakukan pembantaian sambil berdansa salsa dan minum alkohol serta dalam pengaruh obat Excimer, dia bahkan bilang “Saya menghabisi PKI dengan GEMBIRA,”. Bisa dibayangkan kenapa pembunuh seperti Anwar tidak merasa bersalah dan cenderung bangga dengan aksinya?
Karena mereka memiliki “lisensi” membunuh dari negara. Negara memfasilitasi. Ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia saja, para pembunuh Yahudi dari Nazi setelah perang dunia II saat diadili tidak merasa bersalah karena mereka merasa ini tugas negara dan dibenarkan oleh negara, ada legitimasi soal pembantaian dari negara di situ. Inilah bukti jika manusia tanpa hukum akan kembali ke 200 juta ke belakang, dengan mengandalkan insting berburunya saja. Anwar Congo dan ribuan Anwar lainnya yang jadi pelaku pembantaian telah didoktrin oleh rezim yang mengatakan tindakan mereka masuk akal karena untuk mempertahankan NKRI dari komunisme.
Makanya rekonsiliasi tidak akan pernah tercapai sampai jutaan pelaku pembantaian mengakui perbuatan mereka merupakan perbuatan keji. Sampai saat ini TAP MPRS tentang larangan ideologi komunisme pun masih berlaku. Kita tidak pernah bisa menanggapi suatu idelogi dengan santai. TAP MPRS seharusnya dihapuskan saja. Komunisme sebagai ideologi sudah sangat berkarat. Ide manusia tanpa kelas sangatlah utopis dan terbukti gagal. Lihat saja Uni Soviet yang bubar, Cina yang sama Kapitalisnya saat ini, dan Kuba yang nyatanya kewalahan serta mulai membuka keran kapitalisme mereka perlahan, lalu ada Korea Utara yang malah menjadi negara dengan kediktatoran absolut. Yang paling penting untuk diperangi adalah stigmatisasi pada komunisme dan para korban. Menyebut komunis sebagai ateis tentu sesat, pikir yang terlanjur dipercaya akibat doktrin Orde Baru.
Menghadapi ideologi yang bertentangan dengan yang kita percayai haruslah dihadapi dengan rileks, sebab semua ideologi itu biasa saja dan tidak akan menggigit.
Penulis : Percy Mahasiswa Untirta
Editor : Gayatri/BU