Bidikutama.com – Di Indonesia kasus kekerasan seksual merupakan kejahatan yang marak terjadi di era digitalisasi saat ini. Kejahatan tersebut biasa kita menyebutnya dengan cybercrime. Namun terdapat salah satu tindakan kekerasan seksual berbasis gender online yang masih awam bagi Indonesia yakni Sextortion. (1/7)
Sekstortion atau sekstorsi adalah sumber kerasan seksual secara online dengan cara pemerasan terhadap korban melalui foto atau video intim milik korban yang didapat pelaku dengan hacking atau pernah menjalin hubungan dengan korban. Konten intim inilah yang dijadikan bahan oleh pelaku untuk mengancam korban, sehingga unsur penting sekstorsi adalah ancaman penyebaran konten intim dan pemerasan kepada korban.
Mendengar sekstorsi memang memiliki kemiripan dengan revenge porn yakni konten intim milik pribadi yang disebarluaskan tanpa persetujuan yang bersangkutan. Yang menjadi pembeda dari keduanya adalah adanya “ancaman pemerasan” oleh pelaku sekstorsi. Itu artinya, terdapat penyalahgunaan kekuasaan.
Pemerasannya berupa ancaman untuk menyakiti, mempermalukan, atau merugikan korban jika mereka tidak memenuhi tuntutan seksual pelaku. Pelaku juga dapat mengancam untuk menyebarkan konten seksual privat milik korban untuk memeras uang atau tuntutan seksual lain. Ini artinya tindakan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi.
Hal tersebut, dapat diartikan bahwa korban yang lebih lemah harus melakukan kemauan pelaku dan tidak berani menolak. Kondisi inilah yang menempatkan perempuan sebagai alat penyuap atau fasilitas gratifikasi. Jadi, didapatkan bahwa variabel utama dari sextortion adalah korupsi dan aktivitas seksual. Kedua variabel itu harus terjadi bersama-sama, karena sextortion merupakan irisan.
Mayoritas korban sekstorsi adalah perempuan. Seperti yang dilansir dari tirto.id berdasarkan survey kepada 1.631 korban kejahatan sekstorsi yakni rata-rata berusia 18 sampai 25 tahun. Melihat maraknya korban, maka diperlukan adanya perlindungan hukum bagi para korban. Namun mengenai perlindungan hukum bagi para korban kejahatan sekstorsi masih belum diatur secara spesifik dalam hukum di Indonesia.
Apabila kasus sekstorsi ini dilihat dari sudut pandang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan ini termasuk tindak pidana pornografi dan pemerasan. Tindak pidana pornografi ini diatur dalam Pasal 281 dan 282 KUHP. Pasal 281 KUHP mengatur perihal perbuatan yang melanggar kesusilaan, sedangkan Pasal 282 KUHP mengatur perihal penyebarluasan konten yang melanggar kesusilaan diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah. Hal ini dirasa masih kurang mengatur pelaku sekstorsi.
Selanjutnya, tindak pemerasan di Indonesia diatur dalam KUHP. Namun, kategorinya berbeda dengan Pasal 368 ayat (1) berbunyi, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa dengan kekerasan untuk memberikan sesuatu barang yang seluruhnya milik orang lain dihukum secara pidana paling lama 9 tahun.” Bunyi KUHP tersebut hanya menjelaskan pemerasan kejahatan terhadap harta kekayaan, sedangkan sextortion tidak menyangkut harta kekayaan. Selain itu, pelaku sextortion mengancam dan memaksa korban terkait seksual, tetapi seksual di sini bukan termasuk unsur “sesuatu barang” dalam pasal ini.
Sementara, pemerasan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi atau informasi elektronik, diatur dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun, Pasal 27 ayat (4) UU ITE yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik dipidana penjara paling lama 6 tahun.” Namun, pasal ini belum cukup mengkriminalisasi para pelaku sextortion karena tidak meliputi muatan pemerasan menggunakan konten yang berbau intim.
Adapun pada Undang – Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Pasal 14 Ayat (1), berisi tiga hal “Pertama, melibatkan rekaman, gambar, atau tangkapan layar bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan subjek di konten tersebut. Kedua, melibatkan transmisi informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima. Ketiga, melibatkan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik.” Yang tidak secara jelas mengatur perbuatan sextortion karena tidak memuat penjelasan mengenai golongan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang bermuatan seksual.
Hal tersebut menunjukkan, mantel hukum yang seharusnya melindungi korban masih belum kuat, sehingga diperlukan usaha serta tindakan aparat hukum untuk melakukan perubahan dan penambahan dalam kerangka hukum yang mengatur sextortion secara khusus serta mencakup pemerasan menggunakan konten intim dan mengatur sanksi untuk pelaku.
Melihat lemahnya pasal yang mengatur pada status quo saat ini pada tahun 2020, Global Corruption menetapkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat teratas kasus sextortion di Asia. Hal ini dapat terjadi di berbagai sektor seperti pendidikan, publik, serta banyak kasus yang belum terungkap.
Apabila perbaikan konstruksi hukum belum juga dilakukan hingga saat ini, maka akan melahirkan pelaku sextortion yang baru karena menganggap bebas dengan kosongnya aturan hukum yang berlaku. Serta hanya akan melepaskan pelaku yang sudah melakukan tindakan sextortion sebelumnya.
Dengan adanya UU TPKS tahun ini, seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memberantas kasus kekerasan seksual yang terus terjadi di Indonesia. Hanya saja diperlukan aturan yang lebih jelas dan disempurnakan mengenai unsur pasal. Dengan adanya penyempurnaan dan penjelasan mengenai unsur-unsur pasal di dalamnya, akan mengisi kekosongan mantel hukum. Sehingga korban tidak hanya bungkam ditutupi selimut seakan sextortion tidak terjadi.
Penulis : Ardhilah/BU
Editor : Uswa/BU