Hari pendidikan Nasional yang selalu diperingati setiap 2 Mei dijadikan sebagai momentum untuk terus belajar dan belajar, dan memperbaiki kualitas pendidikan masa kini. Seperti semangat Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan Indonesia yang meninggalkan jejak dan semangat dalam menggelorakan pendidikan di Indonesia yang tertuang dalam “ingngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” sebagai falsafah pendidikan Indonesia.
Pendidikan merupakan sebuah wadah untuk menunjang proses mencerdaskan bangsa hal ini sudah tertuang dalam alinea ke 4 UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Pendidikan akan berjalan dengan semestinya jika sebuah pendidikan mendapatkan pengelolaan secara baik, dalam dunia pendidikan masa kini, Indonesia terus berbenah untuk menyesuaikan zaman, ini menjadi penting karena sebuah mekanisme pendidikan akan selaras dengan zaman, jika didalamnya terdapat sebuah kurikulum yang menunjang dalam proses pendidikan dan pembelajaran disekolah, baik tingkat dasar sampai kepada menengah atas.
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan serta mencerminkan falsafah bangsa serta kurikulum harus mengikuti alur perkembangan zaman. Kurikulum di Indonesia telah mendapatkan sentuhan perubahan dimulai pada kurikulum 1947 diterapkan pertama kali oleh Indonesia sebagai kurikulum pertama setelah proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada kurikulum 1947, sistem kurikulum di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan Kolonial Belanda dan Jepang, bisa dikatakan bahwa kurikulum Rencana Pelajaran 1947 sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda.
Pada tahun 1952 kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Dengan berganti nama menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Yang menjadi ciri dalam kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Kurikulum pembaharuan dimulai pada 1975-1984 dimana dalam perkembangannya sudah melalui proses pembaharuan dalam bidang kurikulum secara menyeluruh untuk menggantikan kurikulum sebelumnya.
Perlu digarisbawahi ialah setiap perubahan merupakan hasil evaluasi yang dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pendidikan. Menjadi sebuah dinamika ialah ketika sebuah kurikulum yang diterapkan pemerintah tidak menyesuaikan dengan kondisi lapangan saat ini, dan kesiapan tenaga pendidik.
Ketika perubahan kurikulum dari era 1994 sampai kepada KTSP merupakan perubahan kurikulum yang paling signifikan, menjadi problem hari ini ialah ketika kurikulum KTSP digantikan dengan Kurikulum 2013 yang menekankan kepada Penguatan Pendidikan Karakter, boleh saja ketika menggantikan kurikulum sebagai perubahan untuk mengikuti perkembangan zaman.
Namun perlu ditekankan adalah mengenai sosialisasi yang dilakukan pemerintah kepada Guru selaku eksekutor dilapangan, harus memahami bagaimana metode dan perubahan adminstarasi seperti alat evaluasi, RPP, Silabus dan materi yang mengalami perubahan dan kesiapan sekolah sebagai objek dalam menjalankan roda kurikulum 2013 dilakukan secara matang dan sempurna agar dalam perjalanannya tidak mengalami hambatan yang berarti, dengan kata lain tidak ada lagi dualisme kurikulum di sekolah, karena akan membingungkan guru dan siswa dalam menjalankan proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), secara harfiah perubahan kurikulum akan menimbulkan pekerjaan rumah bagi pemerintah dan Guru.
Hal ini perlu disinergikan sebagai semangat dalam menempuh perubahan zaman yang dikenal diera teknologi terdepan, pendidikan bukan menjadikan seorang intelektualisme dan meterialisme. pendidikan bukan untuk membanggakan sebuah keilmuan saja dan setiap ilmu tidak dapat terdefinisi oleh nilai rupiah, maka dari itu pentingnya membangun jati diri bangsa melalui sebuah kurikulum yang sesuai dengan kultur Indonesia. Menjadikan bibit bangsa sebagai pelopor utama dalam pengemban masa depan bangsa esok hari. “Setiap orang menjadi guru setiap rumah menjadi sekolah” Ki Hajar Dewantara.
Penulis : Wahyu Arif Ramadhan
Editor : MM/BU