Bidikutama.com – Saat ini kekuatan ekonomi politik global bergeser dari negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) ke Asia (Cina dan India). Kesadaran mengenai pengaruh geopolitik terhadap agenda pembangunan nasional serta memanfaatkan kebijakan luar negeri Indonesia untuk mendukung pembangunan akan membantu Indonesia menyiasati pergeseran geopolitik dunia.
Pertama, pengaruh Amerika Serikat dan sekutu ekonomi-politiknya memudar di Asia Tenggara terutama setelah krisis finansial global melanda hampir semua negara Eropa dan Amerika Utara pada 2007-2008. Ini menyebabkan berkurangnya keterlibatan negara-negara Eropa dan Amerika Utara dalam proyek pembangunan internasional di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Kedua, menguatnya Cina. Pada 2013, Presiden Xi Jinping meluncurkan program yang ia sebut sebagai China Dream, yang kemudian diterjemahkan secara lebih kompleks dalam One Belt & One Road (OBOR). Melalui kekuatan di bidang industri manufaktur, Cina melakukan ekspansi kerja sama ekonomi terutama di bidang infrastruktur dan perdagangan ke mitra-mitra strategisnya, terutama Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika.
Program OBOR yang China layangkan guna mengekspansi kekuasaan di berbagai belahan dunia. Adanya proyeksi pembangunan yang menggila tanpa disokong dengan kemandirian dan kedaulatan ekonomi lewat pinjaman modal (utang) dan investasi hanya akan menjadi boomerang.
Kondisi ini pun kian pekat kita rasakan di tanah air dimana di era kepemimpinan Jokowi, pembangunan gencar dilakukan. Pembangunan yang digadang dapat menjadi indikator keberhasilan dalam mendukung pertumbuhan ekonomil, nyatanya hanya sebatas omong kosong.
Dalam pidatonya, Jokowi selalu menyebut pembangunan adalah wujud implementasi keadilan bagi rakyat. Namun di tengah situasi pembangunan yang terus dimasifkan masih banyak terjadi konflik yang secara tidak langsung merusak stabilitas dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Timbul pertanyaan besar, untuk siapakah pembangunan negeri ini? Apakah pembangunan menjadi program prioritas? Kenapa ini perlu kita pertanyakan, ini menjadi sebuah urgensi penting yang harus kita ketahui akan kemana orientasi pembangunan ini.
Sebelum kontestasi pemilihan presiden (pilpres) berakhir, Jokowi sebagai Pertahana merumuskan percepatan pembangunan. Kepemimpinan baru pun masih melanggengkan pembangunan yang menjadi program andalan. Sesuai dengan isi pidato kenegaraan yang disampaikan Jokowi, menyebutkan empat kali pembangunan, empat kali ekonomi, empat kali lapangan kerja, dua kali infrastruktur, dua kali transformasi, namun Jokowi tidak menyebutkan sama sekali soal demokrasi, korupsi dan hak asasi manusia (HAM) yang sejatinya masih banyak penodaan terhadap demokrasi, korupsi merajalela, bahkan kasus HAM berat pun hilang jejak ditelan bumi.
Paket kebijakan yang disinyalir pilih kasih membuat sejumlah kalangan pro kontra terhadap kebijakan tersebut. Jokowi terlalu fokus pada pembangunan dan mengesampingkan hak-hak utama yang harus didapat oleh rakyat. Di tahun 2019, anggaran belanja infrastruktur mencapai Rp. 420 triliun. Angka ini meningkat sebesar 157 % dari tahun 2014 yang hanya Rp. 163 triliun. Sementara disisi lain ada banyak sekali pekerjaan yang mendesak yang harus diprioritaskan misalnya: lapangan pekerjaan, pendidikan, pembayaran Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), pembayaran tarif dasar listrik dan Bada Usaha Milik Negara (BUMN) strategis yang kini terancam bangkut karena terlilit hutang. Entah apa yang ada dalam skema politik pemerintah, seharusnya negara hadir untuk bisa memastikan terlaksananya hal tersebut demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Salah satu pembangunan yang menjadi proyeksi strategis nasional (PSN). Dalam Peraturan Presiden nomor 56 tahan 2018 yang ditekan pada 20 Juli 2018, Jokowi memaparkan proyek-proyek infrastruktur besar yang masuk kriteria proyeksi strategis nasional, salah satunya adalah pembangunan infrastruktur jalan tol yang menjadi dalih perwujudan akses mobilitas masyarakat.
Dalam penyampaian visi untuk Indonesia, Jokowi akan menghubungkan infrastruktur ke kawasan produksi, industri kecil, kawasan ekonomi khusus, kawasan pariwisata, perkebunan, perikanan, dan persawahan. Dengan adanya hal ini semakin membuka ruang para investor asing untuk bisa menguasai sektor strategis di Indonesia.
Masyarakat akan semakin kehilangan tanah sebagai lahan produktif karena areal perkebunan dan persawahan kini dikuasai dan diambil alih oleh borjuasi besar. Alhasil masyarakat Indonesia kehilangan sumber lapangan pekerjaan dan itu meningkatkan kadar krisis ekonomi yaitu kemiskinan. Pembangunan, pembebasan lahan yang berujung konflik, alih fungsi lahan pertanian dan berkurangnya konsumen rumah-rumah makan atau pusat oleh-oleh yang menjadi sepi akibat pembangunan jalan tol. Rakyat dibuat sengsara dengan adanya kebijakan yang dilegitimasi oleh kapitalis birokat yang menguntungkan negara imperialis.
Proyeksi pembangunan Indonesia hampir sama dengan sistem pembangunan Deng Xiaoping yang mengenalkan revisionis modern, sebuah sistem keterbukaan dengan dunia luar dan mulai masuknya penanaman modal serta investasi yang membuat China kembali bangkit dari keterpurukan ekonomi. Saat era Suharto, Indonesia tergabung dengan World Trade Organization (WTO) di tahun 1994 melalui kesepakatan General Agreement on Trade in Service (GATS). Dengan bergabung dengan WTO Indonesia ikut serta dalam pasar persaingan bebas yang memungkinkan hubungan dagang dengan negara lain dan membuka keran investasi di Indonesia. Di satu sisi penanaman modal dan investasi bagus untuk pembangunan nasional, namun di sisi lain menjadi sebuah alat untuk bisa mengintervensi semua kebijakan.
Posisi utang Indonesia per akhir Agustus 2019 berada di angka Rp. 4.680.19 triliun. Posisi ini dinilai masih aman dengan rasio utang 29,8 % terhadap produk domestik bruto (PDB). Walaupun dinilai masih aman tetap saja hutang Indonesia akan terus bertambah setiap tahunnya. Jika jeratan utang tidak dapat diatasi maka dapat menjadi sebuah ancaman serius bagi masa depan bangsa. Semakin menumpuknya utang maka sangat mudah negara asing menjadikan kita sebagai negara boneka.
Menteri keuangan Indonesia Sri Mulyani mengatakan “untuk melunasi utang, ya dengan berutang lagi”. Dengan terus melakukan pinjaman yang ada, utang Indonesia akan terus menggunung, karena keuntungan negara lewat BUMN pun tidak pada angka yang diharapkan.
Dulu kita mengenal imperialisme kuno yang dibawa bangsa Eropa berupa gold, glory, dan gospel. Dengan lahirnya sistem politik tersebut maka lahir pula kolonialisme untuk menguasai suatu daerah secara paksa dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Indonesia pernah mengalami masa tersebut. Rakyat Indonesia ditindas dan dirampas haknya, kekayaan ibu pertiwi kian dieksploitasi.
Indonesia menjadi negara yang diperebutkan karena wilayah yang sangat strategis diapit oleh dua benua dan dua samudera, terutama kekayaan alamnya yang melimpah membuat negara lain tergiur untuk bisa menguasai negara ini. “patah tumbuh hilang berganti”, Belanda memang sudah pergi, namun kini ada gantinya dua sosok negara yang menjadi kekuatan ekonomi baru yaitu Amerika dan China.
Penjajahan yang mereka lakukan terbilang sangat halus dan tidak tampak secara fisik, dimana penjajahan gaya baru muncul dengan sistem pinjaman modal dan investasi. Pembangunan yang semata-mata mengilusi dan tidak berpihak pada rakyat, melainkan untuk para investor dan kapital monopoli global. Kebijakan yang Indonesia buat akan terus menguntungkan imperialisme dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Jika ini terus terjadi Indonesia akan terus bergantung pada negara lain, yang nantinya dijadikan sebagai sumber penghasil bahan mentah bagi kepentingan imperialisme
Saat ini bukan hanya Indonesia saja yang dijajah, negara-negara kecil di Timur Tengah seperti Palestina masih menjadi negara yang belum merdeka. Konflik Palestina-Israel terus menggeliat, belum pernah ada titik dari permasalahan tersebut.
Tahun 1917 Inggris di bawah pimpinan Jenderal Edmund Allenby merebut Yerussalem dan tahun 1922, PBB lewat Konferensi Lausannae memberikan mandat kepada Britania Raya untuk menjalankan fungsi Administratif di Palestina dan pada tahun 1921-1948 kaum Yahudi terus berbondong-bondong pulang ke tanah yang telah dijanjikan untuk mereka. Konflik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seakan tidak pernah reda, kekerasan demi kekerasan terus menjadi, pembantaian dan pembunuhan seolah menjadi tontonan.
Kekuatan Imperialisme dalam konflik ini juga berperan yaitu Amerika Serikat yang terus mendorong Israel bisa menguasai kota suci Yerussalem yang ada di Palestina dengan dibantu kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan pengakuan Yerussalem sebagai ibu kota Israel dengan dipindahkannya kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerussalem pada tanggal 6 Desember 2017.
Amerika dan Israel punya hubungan yang lebih dari teman biasa, mereka layaknya sepasang kekasih yang selalu membela satu sama lain meskipun kadang buta. Ketika jelas Israel melakukan kejahatan kemanusiaan kepada rakyat Palestina, Amerika Serikat yang biasanya berkoar soal HAM justru diam seribu bahasa. Bukan tanpa alasan, kedekatan Amerika dengan Israel bisa menjadi sebagai alat untuk mendominasi kekuatan di Timur tengah.
Amerika membawa kepentingannya untuk bisa menguasai daerah yang kaya akan minyak. Fokus Amerika juga ingin menguasai Palestina karena berada pada jantung dunia atau titik pusat dan pertumbuhan peradaban dunia, dengan kata lain siapa saja yang bisa menguasai titik tersebut maka dunia berada di bawah kekuasaannya. Selama tujuan tersebut belum tercapai maka jangan harap keadilan akan muncul. Israel sendiri pun meyakini bahwa bahwa Yerussalem adalah tanah yang dijanjikan untuk mereka (Yahudi). tanah yang mereka yakini akan kedatangan tuhannya.
Semua konflik ini tidak bisa kita cegah karena kita berada pada fase kediktatoran penguasa, fase dimana sekularisme memuncak. Kekuasaan saat ini menjadi kekuasaan yang dipertuhankan. Keberadaan tuhan hanya menjadi penghalang untuk memperoleh kekuasaan. Agama hanya akan menjadi candu politik. Agama bukan lagi menjadi sebuah sistem kekuasaan, tapi agama hanya sebatas alat untuk mendapatkan kekuasaan. Entah sampai kapan kekuasaan intrik ini berakhir?
Harus ada titik yang menunjukkan kita pada kebenaran. Kekuasaan seperti ini tidak dapat dipertuhankan yang ada kita akan terus terjerumus dalam perpecahan dan konflik yang berkepanjangan.
Penulis: Babay/BU
Editor: Hafidzha/BU