Bidikutama.com – Seorang mahasiswa dalam dunia perkuliahan terus mendapat doktrin bahwa sistem pembelajaran atau proses belajar mengajar bertumpu pada diri mereka. Seorang mahasiswa dituntut untuk berpikir serta berargumen dengan tajam pada saat menempatkan dirinya sebagai seorang mahasiswa. Bukan tanpa alasan, argumen yang tajam serta berbobot tentunya diharapkan mampu menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten demi Indonesia emas 2045. (28/10)
Doktrinasi tersebut dapat berjalan, tentu tidak semata-mata dengan menempatkan mahasiswa sebagai tumpuan, tetapi juga didukung oleh para akademisi yang mengerti bagaimana doktrin tersebut dapat diterapkan. Bukan memberi suatu mosi dan membiarkan mahasiswa untuk berinterpretasi bebas lalu kemudian menilai salah atau benarnya tanpa memberikan batasan ilmiah dari pemahaman pengajar yang sudah teruji.
Indonesia untuk berada pada masa emas 2045 sekiranya merupakan top of mind dari wish list penyebutannya dalam bahasa gen Z. Bukan tanpa persiapan, cita-cita mulia tersebut tentunya perlu persiapan yang matang supaya tidak hanya menjadi sebuah wacana. Dari sana, penulis terfokus pada SDM yang berkualitas untuk Indonesia emas dan tentunya relate dengan Sobat Bidik.
SDM yang berkualitas akan terhambat oleh eksistensi feodal yang membatasi seseorang untuk berargumen secara tajam ditambah dengan aksioma konyol bahwa argumen memerlukan sopan santun. Dunia pendidikan khususnya perkuliahan, budaya feodal seperti sebuah keniscayaan. Bagaimana kriteria pemahaman serta sifat seorang tenaga pengajar yang tidak dapat diganggu mahasiswa atau berdampak pada predikatnya.
Tenaga pengajar bagaikan tuhan yang harus diagungkan keberadaannya dan mempertumpul pola pemikiran mahasiswa, atau asumsi alternatif penulis yaitu tenaga pengajar memiliki obsesi pada suatu hal dan meletakkan tumpuan obsesi tersebut pada mahasiswa, lantas membanggakan pencapaian individualis yang sarat dengan ego tersebut pada dirinya? Siapa yang tahu.
Pemikiran merupakan suatu topik seksi yang selalu menarik untuk dipersoalkan. Mengutip dari buku history of western philosphy, phytagoras seorang filsuf yunani kuno yang amat terkenal dengan temuan rumusnya yang masih relevan pada saat ini, sampai beranggapan bahwa ‘pemikiran dianggap lebih bermakna daripada penglihatan, intuisi lebih tinggi harkatnya dari indera’ saking superiornya pemikiran dengan konteks matematika hingga muncul doktrin plato yang beranggapan bahwa ‘tuhan adalah seorang ahli geometri’.
Berdasarkan hal tersebut penulis dengan penuh simpati yang penuh gairah menyeru Sobat Bidik untuk peka terhadap persoalan yang mempertumpul kita sebagai seorang mahasiswa dalam berfikir dan mengisi setiap e-angket yang dibagikan setelah ujian semester berlangsung untuk kemudian mengevaluasi kinerja tenaga pengajar demi mempersiapkan sumber daya yang berdialektika dengan kemampuan berpikir kritis dan argumen yang tajam untuk indonesia emas 2045.
Penulis : Mahasiswa FISIP Untirta
Editor : Uswa/BU