Bidikutama.com – Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh munculnya berbagai akun bertema “ganteng-cantik kampus”. Akun semacam ini menampilkan foto-foto mahasiswa yang dianggap menarik, lengkap dengan caption ringan dan komentar yang ramai. Sekilas, hal ini tampak sebagai hiburan sederhana di tengah kesibukan perkuliahan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, muncul pertanyaan penting, apakah fenomena ini benar-benar etis? Selasa (21/10)
Sebagian besar akun “ganteng-cantik kampus” beroperasi dengan cara serupa, para pengikut mengirimkan foto mahasiswa yang dianggap menarik, lalu admin mengunggahnya ke publik tanpa meminta izin terlebih dahulu dari pemilik foto. Beberapa orang mungkin senang karena merasa diapresiasi, tetapi tak sedikit pula yang justru terkejut melihat wajahnya tersebar di dunia maya tanpa sepengetahuan mereka. Ada yang merasa risih, malu, bahkan canggung menghadapi sorotan publik yang tiba-tiba.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana batas antara ruang pribadi dan ruang publik semakin kabur di era digital. Banyak orang beranggapan bahwa jika sebuah foto telah diunggah di media sosial, maka foto itu boleh digunakan siapa saja. Padahal, secara etika dan hukum, hak atas citra tetap berada pada individu yang bersangkutan.
Mengambil atau menyebarkan foto orang lain tanpa izin, terlebih dengan konteks yang bisa memunculkan komentar negatif atau seksual, termasuk pelanggaran privasi. Lebih dari sekadar isu izin, fenomena ini juga menyingkap persoalan objektifikasi di lingkungan kampus. Saat penilaian terhadap seseorang direduksi menjadi “tampang” atau “penampilan”, ruang akademik yang seharusnya menumbuhkan prestasi dan pemikiran justru berubah menjadi ajang penilaian fisik.
Akun-akun semacam ini, meski sering dibungkus dengan nuansa lucu dan ringan, secara tidak langsung memperkuat budaya menilai orang berdasarkan rupa. Dari sisi hukum sendiri, sebenarnya sudah ada aturan yang melindungi hak privasi individu. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi menegaskan bahwa penyebaran foto seseorang tanpa izin, apalagi jika menimbulkan rasa malu atau ketidaknyamanan, dapat dikategorikan sebagai kekerasan berbasis siber. Artinya, meskipun terlihat sepele, tindakan semacam ini memiliki konsekuensi hukum yang nyata.
Sayangnya, banyak dari kita yang masih memandang fenomena ini sebagai hiburan belaka. Kita ikut tertawa, membagikan unggahan, atau menandai teman tanpa sadar ikut memperkuat budaya digital yang abai terhadap privasi dan etika. Jika dibiarkan, kebiasaan ini bisa menormalisasi pelanggaran privasi di lingkungan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk belajar dan berkembang.
Etika digital seharusnya menjadi bagian dari budaya kampus modern. Menghormati privasi orang lain, meminta izin sebelum mengunggah sesuatu, dan tidak menjadikan wajah orang lain sebagai bahan konten adalah bentuk sederhana dari tanggung jawab bersama. Sebab, di balik setiap unggahan yang tampak lucu atau “viral”, selalu ada manusia nyata yang mungkin tidak pernah meminta untuk dijadikan tontonan publik.
Penulis: Saeful Anwar/Mahasiswa Akutansi Untirta
Editor: Anggi/BU











