Bidikutama.com – Sebuah thread dari akun Twitter @m_fikris menggegerkan jagat maya setelah orang di balik akun itu menceritakan pengalaman horor yang menimpa dia dan temannya. Garis besar dari peristiwa itu bermula ketika pelaku berinisial G yang tercatat sebagai seorang mahasiswa Unair angkatan 2015 berkenalan dengan korban melalui DM Instagram. Korban sendiri merupakan angkatan 2019. Berawal dari minta follow back Instagram, kemudian obrolan berlanjut ke persoalan ‘riset’ bungkus-membungkus.
Tanpa rasa curiga, korban memberikan nomor WA miliknya dan kemudian pembahasan mengenai ‘riset’ bungkus-membungkus dibahas tuntas melalui percakapan WA. Di sini, penulis tidak akan menjelaskan kronologi detail mengenai peristiwa tersebut. Jika pembaca menginginkan informasi lengkap mengenai kronologi peristiwa, dipersilakan untuk membaca thread langsung di akun @m_fikris, atau bisa juga melalui akun @ernestprakasa yang juga me-retweet cerita itu.
Di sini, penulis mencoba menjelaskan peristiwa tersebut melalui perspektif hukum. Bisakah tindakan fetish kain jarik itu dipidanakan, mengingat korban sudah memutuskan akan membawa kasusnya ke ranah hukum. Bahkan, selebgram @awkarin melalui cuitannya menyatakan sikap siap menyewa lawyer untuk membantu kasus bungkus-membungkus.
Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai sudut pandang hukum, alangkah lebih baik kita bahas terlebih dahulu apa itu fetish. Fetish merupakan orientasi seksual yang berkaitan dengan non genital/kelamin, atau fantasi seks seseorang yang berkaitan dengan benda mati atau benda hidup. Dorongan seseorang untuk melakukan rangsangan seks kepada benda di luar kelamin dinamakan fetishm. Misalnya terhadap kasus pencurian celana dalam wanita atau pencurian bra, jika digunakan untuk kebutuhan seksual, maka fetish-nya adalah celana dalam atau bra, dan perilakunya dinamakan fetishm.
Fetish seseorang bermacam-macam, ada yang dengan rambut, sepatu hak tinggi, jempol kaki, atau hal-hal lain yang bahkan terlihat aneh bagi manusia pada umumnya. Pertanyaannya, bisakah orientasi seks seseorang dipidanakan? Jawabannya adalah TIDAK. Ya, selama fetish seseorang tidak mengganggu orang lain, dilakukan sendiri atau bisa saja dilakukan dengan pasangan yang saling memahami, maka itu sah-sah dan wajar saja dilakukan.
Namun, berbeda cerita jika sudah memaksakan kehendak kepada orang lain, dengan paksaan, bahkan terdapat unsur kebohongan seperti yang dilakukan oleh pelaku. Apalagi, dalam kasus bungkus-membungkus, pelaku tidak memedulikan kemungkinan korban sesak nafas karena dibungkus, serangan psikis karena dalam kondisi dibungkus tidak berdaya, atau bagi korban yang memiliki phobia ruang sempit dan kegelapan, maka dibungkus seperti keinginan pelaku merupakan mimpi buruk.
Sekarang, kita bedah unsur-unsur tindak pidana dalam kasus fetish kain jarik. Unsur-unsur tindak pidana meliputi:
- Perbuatan manusia;
- Melanggar peraturan pidana;
- Diancam dengan hukuman;
- Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya; dan
- Pertanggungjawaban, yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
Dilihat dari unsur-unsur tindak pidana tersebut, mari kita masuk lebih dalam dengan mengaitkan pasal-pasalnya.
Berbeda dengan kasus pelecehan seksual yang pada umumnya terjadi, kasus fetish kain jarik ini memang sedikit anti mainstream, sehingga membuat penulis harus berpikir lebih untuk bisa mengategorikan perbuatan tersebut masuk ke dalam tindak pidana mana. Mari kita lihat Pasal 285 KUHP.
Pasal 285 KUHP berbunyi, “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Pertama, korban target fetish kain jarik bukanlah wanita. Kedua, dalam kasus kain jarik, korban hanya dijadikan bahan fantasi seks, tidak ada penetrasi langsung, sehingga sulit untuk menjerat pelaku dengan pasal ini. Tapi, jika kita membaca seluruh rangkaian kronologi peristiwa, maka bisa ditarik benang merah kalau perbuatan pelaku ini termasuk ke dalam penipuan dan pencabulan.
Pertama, penipuan.
Pelaku dilihat dari jejak chatting dengan para calon korban selalu menjejali pemahaman kalau apa yang hendak dilakukan mengenai bungkus-membungkus merupakan keperluan riset untuk tugas akhir kuliahnya. Membawa embel-embel ‘mahasiswa Unair’ dan tugas kuliah, pelaku menjadikannya sebagai alat untuk meyakinkan korban. Apalagi, Unair merupakan salah satu kampus top di Indonesia. Alasan riset ini kemudian digunakan pelaku untuk memperdaya korban dan memenuhi hasrat seksualnya.
Pasal 378 KUHP berbunyi, “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Mari kita bedah unsur-unsurnya.
- ‘Barangsiapa’ merujuk kepada siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum; dan
- Membujuk orang supaya memberikan barang,
Membujuk dalam hal ini adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian. Nah, ini erat kaitannya dengan pengakuan korban yang melakukannya dengan terpaksa, dan setelah mengetahui kebohongan itu mengaku tidak mau melakukannya
Barang bisa segala sesuatu yang berwujud, yang mana dalam kasus ini adalah foto dan video korban yang sedang dibungkus.
- Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum. Menguntungkan diri sendiri di sini adalah demi kepuasan pelaku.
- Dengan menggunakan nama atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat) atau karangan perkataan bohong. Nama pelaku memang tidak disamarkan dalam melancarkan aksinya, namun tipu muslihat dan perkataan bohong dilakukan dalam aksinya menggaet korban. Riset dan tugas akhir nyatanya tidak terbukti kebenarannya.
Jika unsur-unsur yang telah dijabarkan di atas terpenuhi, maka seseorang bisa dikatakan telah melakukan tindak pidana penipuan.
Kedua, pencabulan.
Ketika korban dijadikan objek seksual, maka itu bisa disebut pencabulan, walaupun korban secara tidak sadar telah dijadikan objek seksual selama proses berlangsung. Perbuatan cabul merupakan semua perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan, juga setiap perbuatan terhadap badan atau dengan badan sendiri, maupun badan orang lain yang melanggar kesopanan.
Pasal 289 KUHP berbunyi, “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-selamanya sembilan tahun”. Tekanan dan pemaksaan kepada korban untuk melakukan perbuatan yang diinginkan pelaku mungkin bisa membawanya ke pasal ini, tergantung penegak hukum mau memasukan pasal ini atau tidak.
Pasal 296 KUHP berbunyi, “Barangsiapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Namun, penulis hendak menyinggung mengenai salah satu pasal di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Kira-kira seperti ini bunyi pasal tersebut:
Pasal 12 Ayat (1): Pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) huruf a adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.
Pasal 12 Ayat (2): Pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) huruf a adalah delik aduan, kecuali jika dilakukan terhadap anak, penyandang disabilitas dan anak dengan disabilitas.
Pasal di RUU PKS ini sebenarnya lebih relevan untuk bisa menjerat beragam jenis predator seksual. Namun sayang, memang RUU ini belum juga disahkan. Pelecehan seksual sekarang semakin beragam, perlu undang-undang khusus yang mengaturnya. RUU PKS bisa dikatakan sebagai solusi jika para wakil rakyat jeli dalam melihat persoalan berbagai kasus pelecehan seks dewasa ini. Perkembangan tindak kejahatan harus dibarengi dengan perubahan payung hukumnya. Ini harus dilakukan demi upaya perlindungan korban.
Berbicara mengenai berbagai pasal di atas merupakan delik aduan. Secara sederhana, delik aduan bisa diartikan sebagai delik yang hanya dapat diproses oleh aparat hukum apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau oleh orang yang telah menjadi korban. Jika korban merasa punya saksi dan bukti yang kuat, maka berhak mengadu jika dirasa peristiwa yang dialami merugikan.
Namun, jangan lupakan bahwa hukum kita menganut asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Kita tidak bisa menghakimi seseorang bersalah sebelum pengadilan memutuskan seseorang bersalah. Tulisan ini hanyalah sebuah analisis jika memang korban berniat membawanya ke ranah hukum. Maka, pasal-pasal tersebut di ataslah yang mungkin bisa menjerat pelaku.
Terakhir, penulis ingin berpesan kepada siapapun agar tidak ragu untuk bersuara jika kita, orang lain, atau kerabat dekat, mengalami hal yang serupa berupa pelecehan seksual. Dalam kasus ini, keberanian korban untuk bersuara patut kita apresiasi, karena dengan terkuaknya suatu kasus, kemungkinan bertambahnya korban bisa ditekan.
Penulis : Aan Hasanudin (Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) angkatan 2017)
Editor : Thoby/BU
Selain di tindak pidana pelaku harus dilakukan terapi psikis atau psikolog biar kembali normal