Bidikutama.com – Verba Volant Scripta Manent yang diucapkan dengan kata akan lenyap, yang dituliskan akan tetap ada. Bahkan jika pikiran hanya terucap maka pikiran itu akan hilang tanpa jejak, itulah yang menstimulus penulis untuk membuat esai sesuai dengan kemampuan penulis.
Memaknai korupsi dapat mendasarkan pada UU No 28 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan secara expressive verbis dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa, Korupsi adalah: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi yang dapat merugikan keungan negara.” Pasal 3: “ Setiap orang yang dengan tujuan menguntukan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padnya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keungan negara atau perkonomian” ini adalah pengertian yuridis didalam Undang-Undang a quo.
Robert Klitgard merumuskan korupsi dalam bentuk Matematis yaitu (C=M+D-A) jadi Corruption=Monopoly Power + Discretion by Official – Accountabilty, denga kata lain prilaku interprise Crimes/Korupsi terjadi akibat dari Monopoli atas kekuasaan dan diskresi (melakukan detournement de pouvoir dalam bingkai public policy), tetapi dalam kekosongan akuntabilitas. John Emerich Edward Dalberg-Acton mendalilkan secara sederhana “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.
HANNAH ARENDT “TAPAK KILAS”
Arendt adalah salah satu filsuf kelahiran oktober 14 1906 – 4 desember 1975 Hannover kekaisan Jerman pada waktu itu, walaupun Arendt selalu menolak predikat ia disebut sebagai filsuf. Arendt dalam waawancara nya terhadap wartawan Arendt berkata “My profession, if one can speak of it all, is political theory. I neither feel like a philosopher, nor do I believe I’ve been accepted in the circle of philosophers.”
Tetapi penulis tetap menganggap Arendt sebagai filsuf, perkataan Arendt di atas hanyalah bentuk kerendahan hati Arendt. Menautkan ‘filsuf’ bukan hanya sekedar menjadi semiotik bagi identitas mereka (para filsuf), namun juga kita yang merasa ada keselarasan antara pemikiran filsuf tersebut dengan objek permasalahan yang sedang kita hadapi bersama. Arendt, selaku seseorang filsuf, terbawa-bawa oleh guru sekaligus mentornya untuk pertumbuhan kematangan filosofisnya Martin Heidegger, yang beraliran eksistensialis.
Kala Jerman diambil alih oleh partai Nazi pimpinan Hitler, Arendt terpaksa meninggalkan Jerman serta berpindah ke Amerika, tetapi senantiasa melanjutkan penyusunan terhadap karya-karyanya yang masih senantiasa relevan untuk kita dalam memandang bagaimana sesuatu kekerasan dalam pemikiran teorinya ialah “filsafat tindakan” begitu relevan buat memandang bagaimana pemerintah, maupun hakikat manusia itu sendiri, mentoleransikan kekerasan yang diorganisir demi menggapai tujuan bersama.
Karya-karya Arendt juga tidak kalah banyak dari selingkuhannya, Martin Haidegger, kurang lebih memiliki 11 karya, Bannality Of Evil terdapat dalam karya Arendt yang berjudul “Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil [Laporan tentang Banalitas Kejahatan] (1963)”
JULIARI BATUBARA “SEBUAH MALA IN SEA WHITE COLLAR CRIME”
Indriyanto Seno Adji sepakat bahwa, korupsi merupakan kejahatan White Collar Crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang penangannya memerlukan kebijakan secara yuridis untuk langkah preventif sebagimana onrecht in potentie (perbuatan melawan hukum yang akan terjadi) serta mencegah perbuatan itu menjadi onrecht in actu (perbuatan melawan hukum yang sungguh terjadi). Perbuatan Korupsi yang dilakukan oleh White Collar Crime merupakan sebuah Mala in sea yang pada prinsipnya kejahatan bukanlah semata-mata yang dikonsepkan oleh Cesare Becaria bahwa keajahatan hanyalah sebagaimana yang dikatakan kejahatan dalam Undang-Undang atau Malum prohibitum (kejahatan baru bisa dikatakan kejahatan jika diatur dalam ius constitutum) sehingga pandangan Marc Ancel, membantah pendapat Becaria, Ancel mengatakan pada hakikatnya secara esensial, kejahatan merupakan a human and social problem.
Terlebih lagi korupsi merupakan Extra ordinary crime karna dimensi kerugiannya sangat besar karena bersifat sistemik, endemik yang berdampak sangat luas (systematic dan widespread) yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat luas dengan sendirinya korupsi disebut dengan mala in sea (kejahatan yang bertentangan dengan prinsip moral dalam terminologi Inggris disebut Natural crime).
Disini penulis tidak akan mengenalkan Juliari Batubara dalam bentuk biografi, tetapi penulis disini ingin ad rem yang dihadapi oleh Julia Batubara. Auctor intellectualis yaitu Julia Batubara disebut membentuk tim khusus untuk mengatur penunjukan vendor penyedia bantuan sosial Covid-19. Dua dari tiga anggota tim itu sudah ditetapkan menjadi tersangka di kasus korupsi Bansos Covid-19. Kedua orang yang telah ditetapkan menjadi tersangka itu adalah pejabat pembuat komitmen, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Bersama Juliari, keduanya ditetapkan menjadi tersangka penerima suap.
Adapun satu anggota tim lagi adalah Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial (Kemensos), Pepen Nazaruddin. Pepen dipanggil untuk diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari ini. Menurut Majalah Tempo edisi 20 Desember 2020, program bantuan sosial (bansos) terdiri dari 14 tahap, dua di antaranya untuk komunitas dan diduga dirancang menjadi bahan bancakan. Selama pandemi Covid-19, Kemensos diperbolehkan menunjuk langsung rekanan dengan alasan kedaruratan.
Seorang pengusaha dan sumber dari Kementerian Sosial menyebut tim Juliari kerap bertemu dengan calon rekanan di restoran Khas Senayan, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Sejak awal penunjukan Matheus dan Adi diduga sudah meminta biaya (fee) Rp 10 ribu per paket. Duit diserahkan setelah perusahaan mereka mendapat surat perintah kerja dari Kemensos. Belakangan, Matheus dan Adi diduga meminta tambahan upeti, selain untuk Juliari Batubara, sebesar 10-12 persen dari nilai pengadaan. Penyebabnya, paket itu diduga ada pemiliknya, yaitu sejumlah politikus dan pejabat pemerintah. Dua pengusaha yang akhirnya mendapatkan jatah penyediaan bansos itu adalah Presiden Direktur PT. Tigapilar Agro Utama Adrian Iskandar Maddanatja dan broker Harry van Sidabukke. Mereka dicokok dalam operasi tangkap tangan awal Desember lalu. KPK menduga kedua pengusaha menyetorkan Rp 14,5 miliar supaya dipilih menjadi vendor penyedia bansos Covid-19 untuk kawasan Jabodetabek. Juliari diduga telah menerima Rp 17 miliar dari bansos tersebut.
Juliari batubara telah memenuhi unsur strafbaar feit atau unsur tindak pidana dalam hal ini korupsi sesuai dengan UU No 28 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001 Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3, walaupun belum ada keputusan yang inkracht van gewijsde dalam perkara a quo. Penulis disini ingin menyampaikan bahwa memang secara yuridis Juliari Batubara belum boleh dinyatakan bersalah karna asas Presumption of innocence tetapi Jaksa penuntut umum dalam amar tuntutannya sudah sesuai dengan fakta persidangan dalam hukum pidana dikenal juga dengan asas in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores.. Prejudice dari penulis, Julia Batubara telah melakukan perbuatan Korupsi tetapi sambil menunggu putusan inkracht van gewijsde dari Majelis Hakim yang memiliki wewenang dalam memutus perkara ini sebab ius curia novit (hakim adalah orang yang mumpuni dibidangnya).
BANALITY OF EVIL DAN PATOLOGI KORUPSI DALAM SITUASI KONTEMPORER
Term “banality” di sini mengambil terminologi dari hasil reportase Arendt akibat dari tertangkapnya. Adolf Eichmann merupakan salah satu biang dalam proses deportasi orang-orang Yahudi dari kota-kota di Jerman dan negara sekitarnya ke kamp konsentrasi Auzschwitz selama Perang Dunia II, Eichmann terlibat dalam penanganan terhadap masalah-masalah Yahudi dengan tugas utama merencanakan dan mengkoordinasi transportasi untuk mengangkut orang Yahudi ke tempat pembantaian. Menurut pengakuannya sendiri, ketika pertama kali mendengar bahwa Hitler memerintahkan sebuah “solusi akhir” (final solution), yakni pelenyapan fisik atas orang-orang Yahudi, di mana dia akan memainkan peran yang sangat penting. Di pengadilan distrik Yerusalem, Eichmann didakwa 15 tuduhan, antara lain “bersama-sama orang lain” terlibat dalam tindak kejahatan melawan orang Yahudi, kejahatan melawan kemanusiaan, dan kejahatan perang selama rezim Nazi berkuasa; dan terutama selama Perang Dunia II. Eichmann menolak semua tuduhan itu dan menyatakan diri sebagai tidak bersalah.
Dalam proposalnya kepada The New Yorker, Hannah Arendt, menyebutkan bahwa salah satu alasan dia ingin meliput pengadilan Eichmann di Yerusalem adalah karena dia ingin melihat “penjahat” itu secara fisik. Lalu Apa reaksi prima facie (kesan pertama) Arendt ketika melihat Eichmann secara langsung? Arendt menjuluki Eichmann seperti “pria dalam kotak kaca” sebagai yang “sama sekali tidak berbahaya” (nicht einmal unheimlich). Eichmann di mata Arendt adalah seorang biasa (ordinary man) yang jauh dari kesan seram dan menakutkan.
Memang ada kesan bodoh (stupid) dalam diri Eichmann, tetapi sebenarnya ketiadaan pikiran (thoughtlessness) lebih tepat menggambarkan kemampuan nalarnya. Perbuatan yang dilakukan Eichmann senantiasa mengikuti perintah dan larangan berbagai peraturan dan hukum. Tindakantindakannya bukan berasal dari sebuah putusan moral yang direfleksikan secara matang dan mendalam. Karena ketidakmampuannya dalam berpikir dan berefleksi secara mandiri, Eichmann seakan-akan menjadi seorang “isolated man” di hadapan kungkungan birokrasi.
Menurut Arrendt kejahatan yang banal menggambarkan perilaku kejahatan Eichmann yang oleh pelakunya sendiri dipahami sebagai lumrah, lazim, biasa, dan normal. Di dalam situasi ketidakmampuan berpikir secara kognitif adalah sisi gelap manusia yang menjadi sumber dari lahirnya kejahatan. Kejahatan bersifat banal ketika seorang pelaku moral gagal memanfaatkan kemampuan nalarnya dalam memahami berbagai perintah, hukum, atau kewajiban dan membenarkan perilaku berdasarkan prinsip atau hukum moral tertentu. Maka sebetulnya yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat adalah ketidakberpikiran, karenanya kejahatan bisa jadi dilakukan oleh mereka yang amat rapi dan duduk bak eksekutif karena subjek kejahatan tidak lagi memposisikan dan atau mengimajinasi diri sebagai korban. Ini lah yang disebut oleh Arrendt sebagai Banality of evil dipahami sebagai sebuah situasi dimana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai sesuatu yang salah, tetapi sebaliknya sebagai suatu yang biasa-biasa saja atau yang wajar.
Eichmann adalah sebuah representasi dari sebuah ketidakmampuan fakultas berpikir secara kontemplatif, Eichmann adalah gambaran sebuah White Collar Crime seperti Juliari Batubara mantan Kemensos ia bukan lah seorang yang tidak berpendidikan terbukti ia dipercaya oleh Presiden menjadi Kemensos, Batubara bukanlah seorang yang menyeramkan seperti apa yang diteorikan oleh para Kriminolog tetapi Batubara tidak bisa memanfaatkan Fakultas berpikirnya sehinnga ia bisa melakukan perbuatan yang tidak terpuji yaitu korupsi ditengah situasi merebaknya Covid 19. Bukankah ini sebuah Patologi Moral yang diidap lama sampai dengan masa kontemporer pada pejabat-pejabat di Negara kita?
Pendapat Arendt, kemampuan menalar dan berpikir kritis justru sangat dibutuhkan ketika berada dalam situasi yang sangat membahayakan keberlangsungan nilai dan norma moral. Dalam kondisi yang surplus pada kekuasaan seperti yang dihadapi Batubara, seseorang harus berefleksi secara filosofis atau berpikir mendalam mengenai prinsip-prinsip dasar tindakan. Maksimalisasi kemampuan nalar dan daya kritis dapat menghindarkan seseorang dari tindakan tidak bermoral. Penulis mengkontempaltifkan serta sepakat bahwa selama korupsi di Indonesia dianggap sebagai hal yang biasa saja (banal) maka selama itu pula korupsi akan tetap menjadi patologi dan tumbuh subur.
Penulis: Sutan Lison Esmirhan, Mahasiswa Fakultas Hukum, Himpunan Mahasiswa Komisariat Hukum Untirta (2019)
Editor: Hafidzha/BU