Bidikutama.com – “Ini bukan pandemi, tapi plandemic. Covid-19 ini cuma permainan media untuk menakuti kita. Ini semua ulah elite global.” Begitulah isi cuitan para pecinta teori konspirasi yang sering saya jumpai di media sosial (medsos).
Saking seringnya membaca isi cuitan tersebut, tentu saya semakin tertegun dan dibuat bertanya-bertanya. Apa yang terjadi pada setiap orang penganut teori konspirasi, sehingga mereka bisa membuat ‘gurauan’ berbahaya semacam itu?
Mengapa saya anggap itu berbahaya? Tidak akan terpikirkan jika kemudian orang-orang seperti itu menyebarluaskan pikirannya ke lingkungan terdekatnya, bahkan sampai membuat hoaks via grup WhatsApp (WA) dan tersebar ke mana-mana.
Oleh karenanya, saya tertarik untuk mencari tahu sebab utama mengapa masih adanya orang yang tak percaya akan keberadaan Covid-19 dan malah menyalah-nyalahkan elite global.
Ternyata, setelah saya berbincang lebih lanjut dengan beberapa orang yang tidak percaya dengan Covid-19 ini, mereka menuturkan bahwa selama ini pikirannya banyak dijejali oleh teori-teori konspirasi dan ketidaksukaan terhadap pemerintah.
Tiba-tiba, saya teringat dengan suatu film dokumenter dari Netflix berjudul Behind The Curve (2018). Film itu dibuat untuk memotret fenomena perkembangan komunitas flat earther yang begitu pesat.
Untuk diketahui, flat earther sendiri merupakan komunitas beranggotakan orang-orang yang percaya bahwa bumi itu datar.
Film besutan sutradara, Daniel J. Clark, tersebut mewawancarai beberapa tokoh penting dari komunitas flat earther. Di antaranya adalah Mark Sergent dan Patricia Steere.
Mark dan Patricia pernah membuat serial podcast yang tayang di YouTube untuk mengampanyekan gerakan bumi datar ke seluruh dunia.
Yang menariknya, film berdurasi 1 jam 35 menit itu juga mendokumentasikan pendapat para ahli fisika, astronomi, bahkan psikologi. Para ahli tersebut diminta berpendapat terkait meningkatnya antusiasme terhadap gerakan bumi datar.
Catatan penting yang kemudian saya dapat simpulkan, ternyata selama ini fondasi utama pengagum teori bumi datar adalah teori-teori konspirasi atau pseudo science (sains palsu). Namun, selama ini mereka berdalih bahwa apa yang mereka yakini dapat dibuktikan secara ilmiah.
Eksperimen-eksperimen pun dilakukan, tetapi justru banyak yang gagal. Klaim saintifik mereka terhadap bumi datar telah banyak dibantah oleh para ilmuwan, bahkan oleh eksperimen yang mereka lakukan sendiri. Apa yang mereka klaim sebagai ‘sains’, justru akhirnya bukanlah sains sama sekali.
Yang terjadi pada mereka sebenarnya adalah apa yang disebut sebagai dunning-kruger effect. Semakin seseorang tidak mempunyai pengetahuan keahlian dalam bidang tertentu, maka ia semakin merasa tahu segalanya atas bidang tersebut.
Teori fisika dasar, semisal gravitasi, dibuat menjadi begitu rumit, hanya supaya bisa mendukung klaim mereka atas bumi datar.
Di titik inilah kewarasan berpikir akan terancam. Berbeda dengan metode sains yang berani menggugurkan hipotesisnya apabila bertentangan dengan hasil eksperimen, metode konspirasi justru sebaliknya.
Pengagum konspirasi akan mencari bukti-bukti untuk terus mendukung hipotesisnya, terlepas dari hasil eksperimen yang justru berlawanan.
Lalu, sekarang bagaimana kalau kita bandingkan, lebih hebat mana antara India atau Indonesia? India menempati posisi di atas Indonesia dalam peringkat 100 negara paling miskin di dunia.
India lebih miskin daripada Indonesia. Tapi, di India ada perayaan Hari Sains Nasional. Bicara tentang kemiskinan, apa harga dan pengalaman yang tidak didapatkan semua orang?
Kemiskinan-mistis-kebodohan. Trinitas yang agung dan akut, musuh utama sains dan kemajuan bangsa.
Kalau sudah miskin, berpikir itu susah. Mendapatkan uang sebesar Rp 10.000 untuk makan siang saja susahnya minta ampun.
Jadi, jangan dipaksakan orang miskin untuk berpikir logika. Kehidupannya saja tidak merdeka, bagaimana pikirannya merdeka layaknya netizen yang memiliki kuota untuk rutin absen menengok akun medsos berteori konspirasi?
Bagi orang-orang yang melaratnya kebangetan, masalah sehari-hari menjadi terlampau sulit untuk diatasi dengan pikiran dan logika. Dalam kondisi itu, jalan paling mudah untuk menjalani hidup adalah dengan insting.
Insting itu berteman dengan hal mistis atau supranatural. Kesadaran magis. Kesadaran magis muncul karena ketiadaan scientific temper (perangai ilmiah) sebagai budaya dan kebiasaan pola pikir untuk berdiskursus publik.
Pada tahun 1964 di India, sebuah organisasi baru dibentuk untuk tujuan mengampanyekan scientific temper, yang diberi nama Society for the Promotion of Scientific Temper. Setiap orang yang menjadi anggota diwajibkan menandatangani pernyataan yang bunyinya sebagai berikut:
“Saya percaya bahwa pengetahuan hanya bisa diperoleh melalui usaha manusia dan bukan melalui pewahyuan, dan bahwa semua masalah dapat dan harus dihadapi dengan menggunakan sumber daya moral dan intelektual manusia tanpa melibatkan kekuatan supranatural.”
Sejak 1987, India pada setiap tanggal 28 Februari merayakan Hari Sains Nasional. (Setiap bulan Februari, diskursus publik Indonesia berkutat halal-haram Hari Valentine dan Valentine bukan budaya bangsa.)
Sejak ada perayaan besar sains, demonstrasi sains menjadi masif, bahwa betapa pentingnya sains untuk kehidupan sehari-hari rakyat India.
Di Rajasthan, India, ada tikus yang dianggap sebagai reinkarnasi Dewi Karni Mata dan titisan Dewi Durga, dan orang-orang menyembah mereka sebagai mahkluk suci.
Selain disembah, tikus tersebut layaknya seorang raja, sebab kebutuhan makanan dan minumannya selalu mewah dan disiapkan warga Rajashtan.
Pada puncaknya, warga Rajashtan beramai-ramai memakan sisa-sisa makanan tikus tersebut, yang dianggap sebagai ‘harapan akan keberkahan’.
Peristiwa pengkultusan tikus tersebut bisa dilihat dari berbagai macam point of view (POV), yaitu:
- Bagi pemeluk iman, akan menjadi hal wajar karena iman adalah absolut dan privilege;
- Bagi turis, akan melihat hal unik dan eksotis;
- Bagi saintis, tidak ada dasarnya karena kesuksesan hidup ya dari pantang menyerah;
- Bagi media, akan menjadi bahan artikel menarik;
- Bagi orang yang suka teori konspirasi dan akun Lambe Turah, bahkan tidak tahu akan cerita ini.
Mempunyai kesadaran magis adalah hak asasi bagi setiap individu. Yang bahaya dari sisi sosial dan kebangsaan jika hampir seluruh penduduk sebuah negara memilih kesadaran magis yang akut dan masif adalah munculnya sikap terlalu pasrah yang berupa kebiasaan tidak kritis di bawah (sembunyi) payung iman.
Dan lebih bahayanya, manusia menyisihkan banyak porsi pikirannya ke arah ketergantungan pada hal tidak ilmiah (mistis), untuk semua aspek hidup, seperti sosial, bekerja, pemerintahan, dan lain sebagainya.
Inilah yang terjadi di India. Bagaimana pemimpin dan rakyatnya tidak memiliki fondasi scientific temper. Lalu, datanglah Jawaharlal Nehru, bapak bangsa India, yang berpendapat bahwa ketiadaan scientific temper di India sudah sangat parah.
Nehru menjadi orang pertama yang menggunakan frasa scientific temper, dan frasa itu kemudian masuk ke dalam konstitusi India, menjadi salah satu tugas fundamental setiap warga negara, yaitu mengembangkan perangai ilmiah, humanisme, dan semangat pencarian dan pembaruan.
Nehru berkata, “Negara atau masyarakat yang tunduk kepada dogma dan terbelenggu oleh mentalitas dogmatis tidak akan pernah bisa maju. Celakanya, negara dan masyarakat kita terlampau dogmatis dan berpikiran sempit.”
Dalam bukunya yang berjudul The Discovery of India, Nehru menyatakan bahwa penerapan ajaran agama di India terkait erat dengan praktik-praktik takhayul dan keyakinan dogmatis.
Dan di belakangnya, lanjut Nehru, terdapat metode yang tidak ilmiah untuk mendekati masalah-masalah kehidupan. Sikap pasrah pada hidup mengakibatkan negara tidak maju.
Nehru menyampaikan bahwa jalan terbaik untuk keluar dari kecenderungan-kecenderungan takhayul adalah dengan mengembangkan scientific temper, yang meliputi pencarian kebenaran dan pengetahuan baru, tidak menerima begitu saja apa pun tanpa proses pengujian, dan menyandarkan diri pada fakta yang teramati, bukan pada teori-teori yang bersifat prakonsepsi.
Nehru-lah sang inisiator scientific temper dan Hari Sains Nasional di India. Sudah tentu background story India dan Indonesia berbeda. Kesadaran magisnya berbeda, tapi dimensinya sama.
Kerugian karena tiada scientific temper-nya sama, terutama di saat krisis pandemi ini. Bedanya adalah, India sudah sejak 1987 ada perayaan Hari Sains Nasional.
Sebenarnya, bagaimana sih sifat-sifat manusia Indonesia?
Pada tanggal 6 April 1977, Mochtar Lubis, wartawan sekaligus budayawan yang kontroversial, membacakan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bagi Mochtar, orang Indonesia itu:
- Munafik;
- Segan dan enggan bertanggung jawab;
- Berjiwa feodal;
- Percaya pada takhayul;
- Artistik (suka keindahaan yang tampak di luar saja);
- Berwatak atau berkarakter lemah.
Meskipun pandangannya dianggap visioner karena hingga hari ini sifat-sifat tersebut dinilai masih melekat dalam perilaku sehari-hari manusia Indonesia, tentu saja banyak kontroversi dan pro-kontra.
Contoh yang kontra adalah sosok Margono Djojohadikusumo, begawan ekonomi nasional dan pendiri Bank Indonesia (BI). Namun, di sisi lain banyak juga pihak yang sepakat dengan Mochtar.
Kombinasi dari enam ciri sifat-sifat manusia tersebut semakin tampak pada saat negara kita mengalami krisis pandemi. Persis dipantulkan sinarnya dan diteladani contoh-contoh tersebut oleh para pemimpin di Indonesia sekarang di krisis pandemi ini.
Taruhlah esok pagi ada seorang pejabat berpendapat di media-media:
“Saya akan memproduksi gelang Covid-19. Gelang ini sudah direndam tiga bulan dengan air yang didoakan oleh pemuka agama dan disemprot oleh rempah-rempah khas dari Sabang Merauke. Pakailah gelang ini. Virus akan mental. Ini karya anak bangsa. Kita harus bersatu menghadapi virus. Demi cita-cita patih Gajahmada!”
Keesokannya, niscaya akan terjadi kehebohan kepercayaan baru yang langsung diamini, dibeli, dipakai dan disebarkan.
Sebuah kebodohan, maaf, yang tidak ilmiah, yang hebatnya lebih cepat menyebar daripada virusnya sendiri. Kita lebih cepat mengamini hal-hal tidak ilmiah.
Selain karena kesadaran magis, kehidupan pemimpin dan rakyat Indonesia tidak didasari oleh sebuah fondasi scientific temper.
Jadi, mau sampai kapan, Indonesia?
Penulis : Audi/BU
Editor : Thoby/BU