Bidikutama.com – Efisiensi anggaran kini menjadi bahan olok-olok oleh masyarakat di media sosial. Pemangkasan ini tidak hanya terjadi pada belanja operasional pemerintah, tetapi juga merembet ke sektor-sektor lain yang seharusnya tidak terdampak. Minggu (16/2)
Meskipun menuai kritik, presiden memiliki alasan kuat dalam melakukan efisiensi anggaran. Salah satu tujuannya adalah mengurangi pemborosan dalam belanja barang dan jasa serta belanja modal, seperti perjalanan dinas, pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK), dan seminar. Dana yang dihemat rencananya akan dialokasikan ke program prioritas termasuk program makan bergizi gratis.
Namun, kebijakan ini terasa dipaksakan karena terdapat kontradiksi yang mencolok yaitu ketika efisiensi anggaran dilakukan, tetapi di saat yang bersamaan kabinet justru membengkak. Dampaknya paling terasa bagi tenaga kerja kontrak dan outsourcing yang tiba-tiba ‘diliburkan’ tanpa kepastian dengan alasan efisiensi anggaran.
Sebetulnya, ada kesalahpahaman dalam kebijakan ini karena pemangkasan anggaran hanya menyasar pada belanja barang dan jasa serta belanja modal yang seharusnya tidak berdampak langsung pada pemecatan pegawai honorer dan outsourcing. Namun, yang terjadi di lapangan justru berbeda. Pemerintah terlihat reaktif dan berlebihan dalam menerapkan kebijakan ini.
Pemotongan anggaran memicu berbagai langkah penghematan ekstrem, seperti pemadaman Air Conditioner (AC) mulai pukul 4 sore, pengurangan operasional lift, penghentian transportasi antar jemput pegawai, hingga pemutusan akses internet Starlink di beberapa kantor. Bahkan, di beberapa tempat, air bersih pun ikut dimatikan.
Dampak kebijakan ini juga merembet ke sektor infrastruktur. Pemotongan anggaran Rp81 triliun menyebabkan proyek perawatan jalan sepanjang 1.200 km batal dilaksanakan. Akibatnya, masyarakat harus bersiap menghadapi jalanan berlubang dan kemacetan yang semakin parah akibat minimnya pembangunan infrastruktur.
Di sektor pendidikan, pemangkasan anggaran Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) sebesar Rp1,3 triliun mengancam 663.821 mahasiswa untuk putus kuliah. Pemotongan anggaran operasional Perguruan Tinggi Negeri (PTN) juga berpotensi menyebabkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan semakin membebani mahasiswa.
Lebih parah lagi, pemecatan tenaga honorer dan pemutusan kontrak pegawai outsourcing dilakukan tanpa solusi yang jelas. Hal ini berpotensi menambah angka pengangguran dan memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Ironisnya, anak-anak mungkin dapat makan gratis di sekolah, tetapi ketika pulang ke rumahnya mereka justru kelaparan karena orang tuanya kehilangan pekerjaan.
Sebenarnya terdapat beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan bagi pemerintah untuk mengatasi masalah ini, seperti menurunkan subsidi, menaikkan penghasilan non pajak, menambah utang, atau menaikkan pajak. Namun, semua opsi ini memiliki konsekuensi besar dan terkesan ‘maju kena mundur kena’.
Menurunkan subsidi akan memicu penolakan seperti yang terjadi dalam kasus kelangkaan gas belakangan ini. Meningkatkan penghasilan non pajak pun berisiko karena jika tidak dikelola dengan baik dapat meningkatkan biaya bagi masyarakat dan membuka celah bagi praktik monopoli atau korupsi. Menambah utang pun bukan solusi jangka panjang mengingat utang negara saat ini sudah sangat besar.
Pada 2025, terdapat Rp800 triliun utang yang jatuh tempo dengan bunga sebesar Rp552,9 triliun. Sementara itu, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang awalnya disiapkan untuk menggenjot pendapatan negara, tetapi akhirnya dibatalkan pada awal tahun ini.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, kita harus tetap berpikir realistis. Kebijakan efisiensi memang diperlukan, tetapi harus diterapkan dengan cermat agar tidak merugikan sektor-sektor esensial dan masyarakat kecil.
Penulis: Dini Fat Zhara Nuari/Mahasiswi Jurusan Ilmu Kelautan
Editor: Raffa/BU