Bidikutama.com – Hari buruh diperingati setiap tanggal 1 Mei atau kerap disebut may day. Hari yang menjadi simbol perjuangan kesejahteraan ditengah kondisi saat ini demi menyerukan hak-hak para pekerja. (1/5)
Tak dapat dipungkiri bahwa buruh masih dalam kondisi dibawah kata layak adalah benar. Bagaimana bisa, tenaga yang dikuras habis setiap hari, hampir tanpa libur masih banyak yang tidak mendapatkan upah yang sepadan dengan keringat yang dikeluarkan.
Masih banyak hak-hak pekerja yang belum terlaksana. Salah satu contohnya jaminan keselamatan ketika bekerja kurang bahkan tidak ada kepastiannya.
Pekerja atau buruh dilindungi oleh undang-undang, tetapi belum jelas akan ketegasan dan implementasi di setiap perusahaan atau instansi disiplin dalam melindungi dan menyejahterakan para pekerjanya.
Di Semarang, Jawa Tengah, setiap tahunnya Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mendapatkan sekitar 700 laporan dari pekerja untuk perusahaan yang tidak membayarkan pesangon, tidak dapat upah lembur, bahkan dipotongnya cuti untuk ibu hamil.
Kondisi ini diperburuk dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker) yang masih menjadi polemik di masyarakat. Hal ini menimbulkan kecemasan untuk para buruh terkait mendapatkan jaminan yang lebih baik di masa depan atau sebaliknya.
Di Provinsi Banten sendiri, khususnya di daerah industri, masih banyak perusahaan yang mempekerjakan tenaga lepas, tetapi tanggung jawabnya sama seperti pekerja kontrak, bahkan pegawai tetap. Akan tetapi, yang membedakan adalah pekerja diluar kontrak ini tidak mendapatkan jaminan kesehatan atau Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, upah yang didapatkan pun hanya berkisar Rp10.000/jam.
Belum lagi, setiap industri yang memainkan sistem kontrak kepada semua pekerjanya. Dalam sistem ini, industri kerja membuka kesempatan bekerja di perusahaan dengan kualifikasi tinggi, upah yang jauh berkali lipat dari upah minimun regional (UMR), serta masa kontrak yang tidak panjang.
Sistem kontrak digunakan oleh perusahaan untuk menekan pengeluaran perusahaan, pada kondisi ini pun belum tentu tanggung jawab yang dikerjakan pekerja kontrak sesuai dengan yang telah dijelaskan. Budaya ‘multitalenta’ di perusahaan masih banyak terjadi, tapi tidak dibarengi dengan upah tambahan yang didapatkan pekerja.
Pada undang-undang cipta kerja pasal 88C ayat (1), yang menjelaskan bahwa Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi, kemudian pasal 88C ayat (2) menyatakan bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimun kabupaten/kota dan pada pasal 88C ayat (3) menyatakan bahwa upah minimun kabupaten/kota lebih tinggi dari upah minimum provinsi, sedangkan pada pasal 88D ayat (2), upah minimum dipertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Ekonomi dunia menjadi hal mendasar mengapa kehadiran UU Ciptaker ini memperkeruh posisi para pekerja, terlebih pada pasal yang menyatakan bahwa Gubernur memiliki otoritas untuk menetapkan dan menentukan besaran UMR tingkat kabupaten/kota yang hanya dihitung berdasarkan tenaga, pertumbuhan ekonomi, inflasi dan variabel lainnya yang tidak gamblang dijelaskan, serta tentu tidak lagi berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).
Otoritas yang diberikan pemerintah pusat, memiliki dua mata pisau tajam yang sayatannya nyata terhadap para pekerja. Kewenangan ini akan menyejahterakan pekerja jika gubernur menetapkan upah minimum dengan pertimbangan yang baik, tentu dengan memasukkan variabel kelayakan untuk upah pekerja. Namun, sebagaimana yang sudah sering terjadi, pemerintah kerap menyalahgunakan kekuasaan dan pisau tajam itu menyayat langsung para pekerja.
Penulis : Aya/BU
Editor : Adi/BU