Bidikutama.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tak lagi masuk kategori wajib dibahas. DPR sendiri masih belum menyetujui beberapa hal di dalam RUU ini. Hal-hal yang masih dibahas tersebut di antaranya adalah nama dan konten dari beberapa pasal. Selain itu, penolakan terhadap RUU PKS, terutama dari partai-partai bernafaskan Islam, dianggap berperan dalam mundurnya penundaan RUU tersebut.
Beberapa pihak, terutama dari fraksi Islamis, juga menolak RUU PKS atas berbagai alasan dan kesalahpahaman. Dilansir dari Kompas, kesalahpahaman tersebut misalnya berupa pandangan bahwa RUU tersebut akan membuka jalan menuju Indonesia yang dipenuhi dengan seks bebas. Tidak hanya itu, RUU tersebut juga dilabeli bermacam-macam, mulai dari liberal, tidak sesuai budaya ketimuran, dan melegalkan LGBT.
Kabar ini menjadi berita buruk bagi setiap 1 dari 3 perempuan yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya. Bukti kekerasan di institusi pendidikan adalah yang sering terjadi. Namun, bukti pengakuan dari 174 penyintas kekerasan seksual dari 79 kampus di 29 kota Indonesia lewat proyek #NamaBaikKampus, malah dipandang sebelah mata.
Tanpa payung hukum yang jelas dan memihak korban, penyintas kekerasan seksual akan semakin tidak berani melaporkan kejadian yang menimpanya. Padahal, data Komnas Perempuan mencatat ada 4.475 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak pada 2014. Angka ini meningkat 6.499 pada 2015, serta tercatat 5.785 kasus setahun setelahnya.
Komnas Perempuan juga menilai bermacam alasan DPR menunjukkan lembaga tersebut, khususnya anggota Komisi VIII, tidak punya kemauan politik untuk memperjuangkan perlindungan korban kekerasan seksual yang jumlahnya meningkat saban tahun. Walau mungkin kata ‘non-fisik’ pada salah satu pasal atau ayat seperti pada Pasal 91 Ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual non-fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) huruf a yang mengakibatkan seseorang merasa terhina, direndahkan atau dipermalukan dipidana rehabilitasi khusus paling lama 1 (satu) bulan”, bisa jadi bermasalah karena berpotensi tidak bisa dibuatkan acuan yang jelas.
Padahal, RUU PKS sendiri berisi pedoman mengenai kekerasan seksual, jenisnya, serta pidana yang dijatuhkan atasnya. Dilansir dari Kumparan, isinya pun mencakup definisi kekerasan seksual, tujuan, pencegahan kekerasan seksual, serta ketentuan mengenai hak korban dan keluarganya.
RUU PKS juga menjadi jawaban atas kegelisahan masyarakat mengenai lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan seksual. Seperti yang kita ketahui, payung hukum kekerasan seksual belum juga hadir. Dilansir dari Tribun, Ketua Solidaritas Perempuan, Dinda Nur Annisa Yura, menyatakan, tidak kunjung disahkannya RUU PKS dikhawatirkan akan membawa dampak meningkatnya angka kekerasan seksual.
RUU PKS tak kunjung mendapat restu karena DPR masih mempermasalahkan banyak hal, di antaranya judul RUU. Dilansir dari Tribun, Komisaris Komisi VII DPR, Marwan Dasopang, menyampaikan, judul RUU PKS masih ambigu. Kemudian, definisi kekerasan seksual juga masih buram, sehingga apabila dipahami sebaliknya, ditakutkan akan menjadi terlalu bebas definisinya.
Anggota Komisi VIII DPR, Rahayu Saraswati, menyampaikan, salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya pemahaman sejumlah anggota komisi soal isu perempuan, apalagi menyangkut kesehatan reproduksinya.
“Komisi VIII bukan hanya membidangi soal perempuan dan anak, tapi juga soal sosial dan agama. Jadi banyak yang ditempatkan di Komisi VIII bukan orang-orang yang berpengalaman masalah perempuan dan anak, tapi ada yang agama,” jelas Rahayu dalam diskusi publik di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (19/9).
“Jadi bayangkan, ini bapak-bapak, ibu-ibu, yang pakarnya soal haji, umroh, tiba-tiba harus bicara soal kesehatan reproduksi perempuan,” lanjutnya.
Hal tersebut, ujar Rahayu, yang pada akhirnya membuat perdebatan soal RUU PKS justru berkutat dalam masalah agama. “Makanya kalau berdebat, pasti ujung-ujungnya berbenturan pada ideologi agama,” pungkasnya.
Masyarakat yang mendukung maupun korban-korban kekerasan seksual sudah tak lagi memiliki harapan atas DPR periode 2014-2019. DPR dianggap tidak serius dalam menangani kasus kekerasan seksual dan lebih mengutamakan hal-hal lain. Padahal, RUU PKS sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2016. Saat ini, masyarakat hanya dapat berharap DPR periode 2019-2024 dapat memahami perasaan dan aspirasi masyarakat, sehingga bisa disahkan secepatnya dan solusi atas tidak adanya payung hukum kekerasan seksual dapat teratasi.
“Kalau berdebat, pasti ujung-ujungnya berbenturan pada ideologi agama.”
Referensi :
Draf RUU PKS
https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2020
Penulis : Audi/BU
Editor : Thoby/BU