Bidikutama.com – Pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu ini lahir sebagai reaksi dari Pemerintah untuk menangani penyebaran Virus Corona (COVID-19) yang mulai mengkhawatirkan di Indonesia, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87.
Dalam penerbitannya, perppu memang sering kali menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan karena presiden ditempatkan pada posisi yang proaktif dan efektif. Sedangkan, jika kita menilik pada prinsip separation of powers, kewenangan legislasi dimiliki oleh lembaga legislatif. Namun, ketika menerbitkan perppu, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan (eksekutif) memiliki kekusaan legislatif dan bukan saja sebagai pengambil inisiatif utama dalam pembentukan kebijakan, tetapi juga produk hukum yang dalam hal ini perppu tersebut langsung berlaku efektif tanpa melalui proses lain, termasuk pembahasan di lembaga legislatif.
Masih ingatkah saudara tentang diterbitkannya Perppu Ormas oleh Presiden Jokowi yang diterbitkan untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang yang belum lama diterbitkan, dan mekanisme pembubaran organisasi kemasyarakatan yang terdapat dalam undang-undang belum pernah dilakukan. Lalu masih ingatkah saudara mengenai peristiwa penerbitan perppu pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap RUU yang sudah disetujui bersama. Perppu tersebut diterbitkan ketika presiden saat itu Bapak Susilo Bambang Yudhoyono mengubah sikapnya terhadap RUU Pilkada tidak langsung yang baru saja disetujuinya dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang mengembalikan pilkada langsung.
Jika melihat peristiwa di atas, perppu menjadi jalan untuk presiden melakukan akrobatnya. Bahkan lembaga-lembaga negara sempat beberapa kali mengusulkan penerbitan perppu kepada presiden dalam pembentukan peraturan atau kebijakan. Kemudahan penerbitan perppu tentu dapat menjadi masalah dalam relasi lembaga eksekutif dan legislatif. Namun, agaknya harus dicatat bahwa dalam penerbitan perppu, setidaknya harus memenuhi unsur sebagaimana tercantum dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan; selain itu sebagaimana yang ditulis Aalf Van Dullemen dalam bukunya yang berjudul “Statsnoodrecht En Democratie” menjelaskan bahwa setidaknya ada beberapa syarat dalam pemberlakuan tata negara darurat, yaitu pertama, eksistensi negara tergantung tindakan darurat yang dilakukan. Kedua, tindakan itu diperlukan karena tidak bisa digantikan dengan tindakan lain. Ketiga, tindakannya bersifat sementara. Keempat, ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh-sungguh. Bagi Dullemen, kesemua syarat tersebut harus dipenuhi secara kumulatif.
Oleh karenanya, presiden dalam menggunakan proactive power seperti emergency decree seharusnya tidak dibudayakan karena tidak sesuai dengan prinsip separation of power. Hal ini akan membangun narasi bahwa penggunaan kekuasaan ini secara berulang merupakan perlawanan terhadap eksistensi parlemen sebagai pembentuk kebijakan utama dan sebagai pemegang kekuasaan pengawasan.
Perppu harus dilihat sebagainya “the necessary evil”, yang mana suatu hal yang semestinya dijauhi, tetapi dilakukan karena terpaksa ditempuh sebagai upaya untuk membentuk hukum yang tidak semestinya (abnormale rechtsvorming) dalam keadaan yang mengharuskan pembentukan hukum agar tidak terjadi kekosongan hukum (vacuum of law).
Perppu Corona yang Inkonstitusional
Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan lahir sebagai bentuk akrobat presiden dalam menangani situasi perekonomian Indonesia agar siap menanggulangi dampak ekonomi dari COVID-19. Secara ringkas, perppu yang lazim masyarakat kenal dengan sebutan “Perppu Corona” ini memuat 3 (tiga) inti pembahasan, di antaranya terkait dengan penanganan COVID-19, konteks keuangan dan ekonomi, serta stabilitas dalam sistem keuangan.
Dalam Pasal 2 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjelaskan bahwa pengaturan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk tahun 2020 defisit anggaran melampaui 3% dari produk domestik bruto (PDB) dan pengaturan pada tahun 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB.
Pengaturan terkait APBN bisa kita lihat dalam Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Senada dengan hal itu, Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan pengaturan APBN, bahwa APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Selain pengaturan mengenai mekanisme pengesahan APBN, lembaga yang berwenang untuk membuat APBN adalah Pemerintah yang dalam hal ini adalah presiden sebagai pemegang kendali eksekutif, namun dalam hal pengesahan dan pembahasannya dilakukan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas pertimbangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Kemudian ketika tidak disetujui oleh DPR atas pertimbangan dari DPD, maka APBN yang berlalu adalah APBN pada tahun sebelumnya. Hal ini sebagaimana Pasal 23 Ayat (3) bahwa apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh presiden, Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun yang lalu.
Cukup jelas pengaturan dalam mengesahkan suatu APBN yang memiliki sifat periodik/pertahun. Sehingga ketika pengaturan ini dibahas dalam Pasal 2 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan akan didapatkan suatu hal yang berlebihan dalam pengaturan APBN, yaitu menjangkau 2-3 tahun mendatang. Hal yang akan terjadi dalam pengaturan seperti ini adalah legitimasi dari DPR yang memiliki fungsi pengawasan dalam budgeting atau penganggaran akan lemah, atau bahkan hilang karena APBN akan mengacu pada perppu yang telah menetapkan besaran APBN sampai tahun 2023.
Selain melegitimasi fungsi DPR dan DPD sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk membahas APBN, jika dilihat dari syarat mutlak penerbitan perppu yang sudah penulis jelaskan di atas, yaitu pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, maka perppu ini akan kehilangan unsur “kegentingan yang memaksa” karena pengaturan APBN bisa sampai 3 tahun ke depan, yang mana masih banyak waktu untuk bisa dibahas secara prosedural dengan DPR atas pertimbangan dari DPD. Jika dalam penerbitan perppu untuk merubah alokasi anggaran tahun 2020 memang sejatinya diperlukan perppu untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2020 karena akan sulit kemungkinan dibuat suatu prosedural untuk menggunakan strategi RAPBN-P.
Keadaan ekonomi Indonesia pada saat ini masih dalam keadaan ekonomi yang siaga, waspada, dan awas, dan belum memasuki keadaan ekonomi yang krisis. Hal ini berdasar pada cadangan devisa Indonesia pada bulan Februari 2020 sebesar USD 130,4 Milliar atau setara dengan pembiayaan 7,7 bulan impor, dan pada bulan Maret 2020 sebesar USD 120 Milliar, anjlok USD 10,4 Milliar, namun yang demikian itu belum masuk pada ranah krisis dan tidak bisa dikatakan pada keadaan “kegentingan yang memaksa”.
Selain dari pengaturan sebagaimana disebutkan di atas, dalam perppu ini didapatkan pula pengaturan yang terdapat dalam beleid Omnibus Law perpajakan, yaitu mengenai PPh badan yang awalnya 25% menjadi 22% pada tahun 2020 hingga tahun 2021 yang kemudian pada tahun 2023 PPh badan menjadi 20%. Perppu ini keluar dari jalur semangat mengatasi COVID-19 dan dampaknya, karena mengatur sesuatu hal yang belum selayaknya diatur dalam perppu, sehingga kehilangan unsur “kegentingan yang memaksa”. Penulis riskan bahwa di dalam perppu ini ada sesuatu yang diselipkan dalam hal pemasukan pajak dan over limited pembahasan yang penulis sebutkan di atas.
Imunitas untuk KSSK
Pada Pasal 27 Ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjelaskan bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Pengertian kerugian negara bisa kita jumpai dalam Pasal 1 Ayat 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang dimaksud dengan kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata, dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Terdapat dua jenis kerugian negara, yaitu kerugian negara yang sifatnya nyata atau tangible, dan pasti jumlahnya serta kerugian negara yang sifatnya dapat merugikan keuangan negara atau merugikan keuangan negara. Kata “dapat merugikan keuangan negara” memiliki arti bahwa suatu tindakan yang berpotensi dapat merugikan keuangan negara sudah termasuk ke dalam tindakan korupsi. Hal ini berarti segala tindakan persiapan yang dapat merugikan keuangan negara nantinya sudah termasuk ke dalam tindak pidana korupsi. Meskipun belum ada kerugian keuangan negara yang riil terjadi, akan tetapi telah terdapat potensi kerugian negara yang akan timbul, sehingga dalam pengaturan Pasal 27 Ayat (1) perppu tersebut sangat riskan dan memiliki celah yang nyata bagi suatu tindakan penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara dimana BPK minim akses untuk mengaudit keuangan yang dikeluarkan oleh KSSK. Sebagaimana kita ketahui bahwa menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, pada Pasal 27 Ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjelaskan bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, Anggota Sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Merujuk pada Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata, yurisprudensi dan doktrin pada umumnya dapat diartikan bahwa iktikad baik bersifat objektif jika berada dalam ranah perikatan. Sementara itu, dalam ranah hukum benda, itikad baik diartikan sebagai sesuatu yang bersifat subjektif dan dalam perkembangannya itikad baik tak hanya muncul dalam bidang hukum perdata saja, melainkan juga dalam hukum publik. Selama ini, pengaturan mengenai itikad baik dalam peraturan perundang-undangan Indonesia hanya merupakan das sollen yang harus direfleksikan dalam hukum positif, sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tentu saja memiliki kepastian hukum.
Dalam ranah hukum pidana, itikad baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Namun, untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Hal ini karena itikad baik merupakan suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaannya berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan. Oleh karenanya, hal ini tidak memberikan cermin kepastian hukum yang terkandung dalam semangat Perppu Corona yang disahkan oleh presiden.
Selanjutnya pada Pasal 27 Ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjelaskan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Sebagaimana yang kita ketahui menurut Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menjelaskan bahwa Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Serta diperjelas dalam pasal Pasal 87-nya bahwa objek sengketa Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang juga mencakup perbuatan faktual, Keputusan Badan dan/atau pejabat di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan penyelenggara negara lainnya, berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AAUPB, bersifat final dalam arti lebih luas, keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, dan/atau keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Keputusan Tata Usaha Negara dimaknai keputusan yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB. Ini sesuai dengan isi Pasal 53 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa keputusan TUN yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Asas Umum Pemerintahan yang baik merujuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sehingga dengan dicantumkan norma tidak dapat digugat merupakan sesuatu hal yang menyalahi asas-asas pemerintahan yang baik sebagaimana dalam Pasal 53 Ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian, fokus dari Perppu Corona yang lahir akibat dari akrobasi presiden untuk menanggulangi bahaya dan dampak sistemik dari COVID-19 justru malah tidak fokus pada inti pembahasan yang sesuai dengan unsur “kegentingan yang memaksa”, yaitu mengenai penanggulangan COVID-19. Perppu ini justru terfokus pada sesuatu hal yang belum saatnya diatur dalam kondisi yang saat ini, sehingga tidak termasuk pada unsur “kegentingan yang memaksa”.
Hemat penulis dalam penerbitan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Menangani Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan pemerintah senantiasa mengedepankan prioritas regulasi sesuai pada porsinya, sehingga tidak ada asas atau unsur yang tidak sesuai ataupun dilanggar, sehingga menyebabkan tata kelola yang buruk dan menyebabkan dampak sistemik yang lebih panjang selain dari penanggulangan bahaya COVID-19. Selain itu, penulis menyarankan agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang mana dalam inti dan pokok pembahasannya masih terfokus pada bencana yang ditimbulkan dari alam, industri, dan lain-lain, tetapi tidak dijumpai inti pembahasan yang membuat UU penanggulangan bencana ini dapat digunakan ketika bahaya pandemi seperti sekarang ini yang dialami oleh Indonesia.
Penulis: Yusril Hardiansyah Pratama (Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Angkatan 2017)
Editor: Thoby/BU