Bidikutama.com – Tahun 2024 bisa dibilang akan menjadi tahun politik yang paling menggelitik. Dibanding tahun 2019 lalu, proses pesta demokrasi tahun depan nanti ternyata berhasil membuat kita nyengir karena berbagai kebijakan yang jenaka. (24/8).
Dari mulai dihapusnya peraturan Laporan Sumbangan Dana Kampanye oleh KPU (yang mana itu penting untuk prinsip tranparansi, sampai dibolehkannya para peserta pemilu nanti untuk berkampanye di fasilitas pemerintah, seperti lembaga pendidikan.
Apalagi baru-baru ini salah satu organisasi internal kampus ternama di Depok sana resmi mengundang peserta Pilpres 2024 untuk hadir dalam debat terbuka. Ini makin membuat kebijakan diperbolehkannya kampanye di kampus menarik untuk dibahas.
Boleh jadi para pemangku hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) bosan oleh gaya-gaya kampanye para calon pejabat dengan cuma menjadi pemateri seminar di kampus, bahkan bisa jadi juga mereka para calon pejabat, enggak ngerti apa yang diomongin. Jadilah bualan belaka.
Akhirnya para Yang Mulia di sana memutuskan untuk membolehkan para calon pejabat ini secara terang-terangan untuk kampanye elektoral di lembaga pendidikan, dengan dalih sebagai bentuk pendidikan politik.
Keputusan ini tertuang di putusan nomor 65/PUU-XXI/2023 tentang tempat mana saja yang membolehkan para peserta “pesta elektoral” itu berkampanye. Dengan catatan, sebagai tamu yang diundang oleh penyelenggara dan tidak memakai atribut apapun. Sebenarnya, bagi mahasiswa, ini bisa jadi pisau bermata dua. Di satu sisi, bisa menusuk, tetapi di sisi lain tertusuk.
Kampus yang berisikan intelektual bisa menguliti para calon pejabat dengan argumen-argumen tajam dan kritis. Dengan begitu publik dapat melihat sejauh mana para calon pejabat ini paham soal masalah-masalah rakyatnya, baik dari segi teoritis maupun praktiknya, sehingga lahirlah sebuah gagasan yang cerdas.
Toh, apapun jawaban mereka nanti juga akan dimanfaatkan untuk kepentingan suara mereka, jadilah mereka berlomba-lomba berusaha untuk menjawab dengan “cerdas”. Di sisi lain, keputusan ini juga menjadi tusukan tajam bagi dunia pendidikan. Tidak dipungkiri jika bakal terjadi polarisasi antarpenghuni kampus karena menjagokan salah satu paslon.
Dikhawatirkan juga konflik kepentingan petinggi kampus untuk bermain mata dengan calon pejabat nantinya. Mengingat dalam pemilihan pejabat kampus negeri, pemerintah juga punya saham. Jadilah kita boleh curiga siapa bermain dengan siapa.
Sekarang tantangannya muncul sendiri bagi kedua pihak, baik institusi pendidikan maupun para calon pejabat itu sendiri. Sebagai kaum intelektual, apakah bisa kampus menjamin tetap menjaga kebebasan akademiknya untuk menjamin pesta demokrasi yang berkualitas nanti?
Untuk para calon pejabat, apakah juga bisa tetap menjaga nafsu elektoralnya untuk menyambut diskusi sehat untuk pesta demokrasi yang cerdas nanti? Agaknya benar bangsa ini butuh pendidikan politik sejak dini.
Penulis : Alif/BU
Editor : Tebi/BU