Bidikutama.com — Band punk asal Purbalingga, Sukatani, pada 20 Februari 2025 telah menyampaikan permintaan maaf kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) setelah lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” ditarik dari berbagai platform pemutar musik. Sabtu (22/2)
Lagu yang menyindir praktik korupsi dan pungutan liar ini dianggap “berbahaya” oleh pihak berwenang. Namun, alih-alih meredam kontroversi, permintaan maaf tersebut justru memicu gelombang dukungan publik yang semakin besar.
Tagar #SaveSukatani pun trending di media sosial dengan ribuan netizen menyoroti hal tersebut. Mayoritas berpendapat bahwa klarifikasi ini menjadi bukti bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia semakin terancam.
Dukungan terhadap Sukatani tidak hanya datang dari kalangan musisi atau aktivis, tetapi juga dari masyarakat yang merasa suara mereka dibungkam. Banyak yang melihat ini sebagai bentuk ketidakadilan, di mana seni yang seharusnya menjadi media kritik sosial justru dianggap sebagai ancaman.
Sebagai bentuk protes, warganet ramai-ramai membagikan lirik lagu “Bayar Bayar Bayar.” Beberapa band Indonesia bahkan mengunggah lagu tersebut sebagai bentuk solidaritas. Ini menunjukkan bahwa upaya pembungkaman justru menuai efek sebaliknya, yaitu semakin banyak orang yang ingin mendengar apa yang coba disampaikan Sukatani.
Seni, termasuk musik, merupakan cerminan zaman yang merefleksikan realitas masyarakat. Lagu “Bayar Bayar Bayar” bukan sekadar hiburan, tetapi potret kegelisahan rakyat terhadap praktik korupsi yang masih merajalela. Namun, tampaknya kritik semacam ini masih dianggap “berbahaya” oleh pihak berwenang.
Padahal, alih-alih dibungkam, karya seperti ini seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak. Seni adalah suara yang lahir dari hati nurani masyarakat, dan membungkamnya sama saja dengan membungkam kebenaran.
Kasus yang menimpa Sukatani bukanlah yang pertama. Beberapa tahun terakhir, sudah banyak karya seni lain yang mengalami nasib serupa ditarik atau dilarang karena dianggap “berbahaya”.
Jika lagu bisa dilarang dan lukisan bisa diturunkan, apakah kebebasan berpendapat tanpa unsur seni masih akan bertahan? Seni bukanlah musuh, melainkan suara hati nurani masyarakat yang berusaha menyampaikan kebenaran.
Penulis : Irfan Nur Hidayat/Mahasiswa Untirta
Editor : Putri Nur/BU