Bidikutama.com – Indonesia adalah negara demokrasi yang mana dalam sistem pemerintahan kekuasaannya berada di tangan rakyat dan diwakili oleh rakyat secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih. Demokrasi memberikan hak warga negara untuk terlibat langsung maupun tak langsung dalam mengambil keputusan yang menentukan kedaulatan dan kesejahteraan hidup mereka. (19/11).
Hal ini melibatkan pemilihan umum, partisipasi dalam diskusi, kebebasan berpendapat, hak pilih, representasi, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Pemilihan umum adalah cara demokratis bagi masyarakat untuk mengekspresikan kedaulatannya kepada negara dan pemerintah.
Pemilihan umum harus bersifat jujur dan adil. Namun, dalam praktik pemilu sering kali terjadi pelanggaran yang melenceng dari prinsip-prinsip yang seharusnya dijunjung. Salah satunya praktik politik uang (money politic) yang sudah menjadi syarat wajib bagi calon pejabat untuk memperoleh kekuasaan.
Praktik politik uang telah menjadi sebuah tradisi yang merusak makna inti dan esensi dari demokrasi, karena menodai integritas suara masyarakat dalam menentukan pilihan mereka.
Politik uang adalah upaya untuk memengaruhi orang lain dengan imbalan materi atau bisa diartikan sebagai jual beli suara (vote buying).
Maka tidak heran jika politik uang dianggap sebagai “mother of corruption” atau akar dari korupsi karena melibatkan penggunaan uang secara tidak etis untuk mempengaruhi proses politik.
Saat rakyat menerima imbalan tersebut, pada dasarnya mereka mengorbankan hak kedaulatan mereka untuk jangka waktu tertentu kepada penguasa. Apabila kedaulatan rakyat digadaikan kepada penguasa, maka rakyat kehilangan kemampuan untuk menuntut perhatian dan pelayanan yang seharusnya mereka terima karena telah menerima imbalan atas legitimasi yang seharusnya diberikan kepada penguasa.
Klientelisme yang muncul karena praktik politik uang menciptakan ketidakseimbangan dalam hubungan antar rakyat dengan penguasa. Ketidakseimbangan ini akan terus terjaga karena memberikan keuntungan bagi penguasa tapi merugikan rakyat. Akibatnya, prioritas terhadap kepentingan publik menjadi terpinggirkan.
Praktik politik uang bisa terjadi di beberapa tahapan pemilu, termasuk saat kampanye, masa tenang pemilu, dan hari pemungutan suara. Tindakan ini merupakan pelanggaran hukum pemilu yang diatur dalam Pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Pasal 523 menetapkan sanksi bagi pelaku politik uang, di mana jika terbukti melakukan politik uang selama masa kampanye, mereka dapat dihukum penjara selama maksimal 2 tahun dan denda hingga Rp24.000.000.
Jika praktik ini terjadi selama masa tenang atau hari pemungutan suara, sanksi yang diterapkan adalah penjara maksimal 4 tahun dan denda hingga Rp48.000.000 jika terbukti selama masa tenang, serta penjara maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp36.000.000 jika terjadi saat hari pemungutan suara.
Hasil survei LIPI pada Pemilu 2019 menunjukkan bahwa sekitar 40% masyarakat Indonesia mengaku menerima uang dari peserta pemilu, di mana 37% dari mereka bahkan mempertimbangkan untuk memilih calon yang memberikan uang tersebut (Purnamasari, 2019). Di Daerah Istimewa Yogyakarta, survei KISP mengungkap bahwa 42% masyarakat menganggap praktik politik uang sebagai hal biasa, sementara 30% merasa prihatin dan 28% memandangnya sebagai masalah besar (Komite Independen Sadar Pemilu, 2019).
Alasan politik uang masih mengganas di kehidupan politik negara Indonesia, tidak luput dari banyaknya faktor pendukung. Ada beberapa faktor krusial yang memperkuat praktik politik uang dalam konteks politik kita. Di antaranya adalah:
- Lemahnya regulasi
Regulasi politik uang dalam UU No. 7 Tahun 2017 (Pasal 523) ayat (1), (2), dan (3) memiliki kelemahan karena sanksi cenderung hanya membidik pelaksana, peserta, atau tim kampanye, tanpa memperhatikan penerima uang. Seharusnya sanksi diberlakukan pada kedua belah pihak, seringkali para pemimpin politik menemukan solusi damai yang mengakhiri kasus politik uang tanpa konsekuensi. - Lemahnya pengawasan. Kendala dalam menanggulangi praktik politik uang diperparah oleh kurangnya kolaborasi antara masyarakat dan pemangku kepentingan, terutama menjelang pemilihan umum. Fokus pengawasan yang kurang pada praktik politik uang lebih tergantung pada kemampuan adaptasi masyarakat terhadap aturan yang mengatur masalah tersebut. Selain itu, kurangnya pendidikan juga memengaruhi pemikiran masyarakat, menghambat pemahaman dan penerimaan mereka terhadap aturan pengawasan yang seharusnya mencegah praktik politik uang di kalangan mereka.
- Budaya
Di Indonesia, norma sosial menegaskan bahwa menolak pemberian dianggap tidak sopan, sementara menerima dan memberi balasan dianggap lumrah. Pola perilaku ini sering dimanfaatkan oleh politisi untuk mempraktikkan politik uang. Beberapa orang melihat politik uang sebagai sesuatu yang biasa, bahkan sebagian ulama di Liboryo Kediri memandangnya sebagai halal.
Praktik politik uang tidak hanya berbentuk uang atau barang, bahkan ada yang memberi kupon umroh dan doorprize. Seperti yang dilakukan oleh calon legislatif DPR RI, Mandala Abadi Shoji dan rekannya yang juga calon legislatif DPRD DKI Jakarta dari , Lucky Andrian. Dimana keduanya terbukti bersalah dan melanggar Pasal 280 ayat (1) huruf j dengan hukuman pidana penjara selama 6 bulan dan denda Rp 5 juta subsider 1 bulan.
Politik uang bagaikan “bau kentut”, tidak jelas siapa pelakunya, tetapi baunya menyengat hidung. Pemilu yang diharapkan menjadi mekanisme pergantian kekuasaan di Indonesia yang seharusnya dilakukan dengan asas jujur dan adil ternyata jauh dari kata itu.
Oleh sebab itu, praktik politik uang harus dimaknai sebagai musuh kita bersama. Selain menjadi pekerjaan besar bagi penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu, kita sebagai masyarakat juga berperan besar untuk memantau, mencegah, dan melaporkan apabila ada indikasi politik uang kepada Bawaslu.
Tolak politik uang, pilih pemimpin berdasarkan kualitas dan komitmen mereka untuk melayani dengan jujur dan adil. Sudah saatnya kita melawan agar pemilu bebas dari belenggu politik uang.
Penulis : Anisa Adi Aulia, Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Untirta
Editor: Tebi/BU