Bidikutama.com – Assalamualaikum Wr.Wb. Bagaimana kabarnya temen-temen, semoga sehat, bahagia, dan selalu dalam keberkahan-Nya. Pernahkah temen-temen mengalami suatu kelelahan dalam suatu pekerjaan? Mungkin saja sering.
Kita sering mengalami kepenatan dalam menjalani segala aktifitas baik di rumah maupun di tempat kerja. Ini tentu berakibat pada meningkatnya tekanan darah atau biasa disebut stres. Oleh karena itu, solusinya adalah berhenti sejenak dari kesibukan aktifitas tersebut. Salah satu caranya adalah quality time untuk diri sendiri, contohnya seperti silaturahmi ke rumah orang terkasih atau menonton film.
Ngomongin soal film, akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan film Joker, yang ternyata sudah tayang awal Oktober kemarin di seluruh bioskop tanah air. Penikmat film di Indonesia sangat antusias untuk menyaksikannya, apalagi trailer filmnya sudah ada sejak bulan April yang lalu di channel Youtube Warnerbros. Film Joker ini mengangkat kisah dari kelamnya kehidupan sosial seorang Arthur Fleck, yaitu Joker yang mempunyai penyakit gangguan jiwa. Ini bermula ketika semasa kecilnya sering mengalami serangan dan tekanan dari orang-orang di sekitarnya, terlebih dari ibunya sendiri.
Film Joker ini menyuguhkan drama yang sangat menakjubkan, sehingga orang yang menyaksikan ikut larut dalam suasana film tersebut. Walau film ini berasal dari karangan semata atau karya fiksi, tetapi film ini memang banyak terjadi dan sesuai dengan realita yang ada. Ada beberapa scene di trailer film Joker yang menurut pendapat penulis itu sangat berbahaya bagi psikis. Tentu ini cukup beralasan bahwa potongan-potongan scene tersebut diduga bisa memicu kekacauan emosi sebab trailer yang disuguhkan bisa mensugesti dan menghipnotis pikiran serta batin para penonton. Tentu akibatnya sangat fatal apabila penonton dalam kondisi suasana hati (mood) yang kurang bagus, ditambah lagi memiliki latar belakang atau masa lalu yang serupa dengan film tersebut.
Film Joker bukan satu-satunya film yang mengangkat cerita tentang kehidupan yang kelam dan mengalami penyakit gangguan jiwa, ada juga film Who Am I yang mengisahkan seorang hacker yang berhasil meretas sistem keamanan pemerintah Jerman yang ternyata juga memiliki latar belakang penyakit gangguan jiwa sejak kecil berupa delusi tingkat tinggi atau dalam bahasa ilmu psikologinya yakni Schizophrenia.
Btw, sebenarnya baik karakter atau kepribadian itu bisa dibentuk, tentu ini dimulai dari usia dini. Entah dari lingkungan keluarganya sampai lingkungan pergaulannya. Menurut Matt Jarvis dalam bukunya yaitu ‘Teori-Teori Psikologi’ menyebutkan bahwa terdapat dua instrumen dalam tubuh yang bisa membuat karakter atau kepribadian manusia, yakni indera pelihat (mata) dan indera pendengar (telinga). Sehingga apabila dibandingkan dengan instrumen lainnya, maka keduanyalah yang memiliki porsi yang besar dan berpengaruh kepada kepribadian manusia. Sebagai contoh ialah ditirunya perilaku orang tua yang dilakukan anaknya ketika masih balita. Anak-anak akan merasa senang dan bahagia ketika mirip dengan orang tuanya, terlebih mendapatkan pujian darinya. Tentu untuk menirunya diperlukan mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar.
Tetapi apabila keduanya tidak bisa dikontrol dengan baik dan terus-menerus mendapatkan perlakuan tak manusiawi dari orang-orang di sekitarnya, maka akan berakibat buruk, bahkan bisa lebih buruk tatkala seseorang tersebut bertambah usia dan semakin dewasa. Ini dikarenakan emosi kejiwaan yang dibangun dan dibentuk di masa kecil sudah kacau dan hancur. Dan juga kejadian masa kelam tersebut tersimpan pada memori alam bawah sadar manusia.
Menurut pakar ilmu Psikologi yakni Dr. Dedy Susanto mennyebutkan bahwa ada juga gangguan jiwa yang disebabkan karena adanya kecelakaan, khususnya di bagian kepala. Bisa karena benturan atau bahkan sampai kepada meminum minuman alkohol. Namun, apakah kalian tahu kenapa seseorang bisa menderita gangguan jiwa? Berikut adalah cara untuk mendeteksi adanya gangguan pada kejiwaan:
- Adanya perubahan penampilan;
- Perubahan perilaku;
- Perubahan persepsi atau cara pandang;
- Perubahan kognitif.
Dan perubahan yang dialami penderita itu bisa dilihat dari beberapa unsur:
- IQ : Hilangnya Kepastian (baik hidup maupun pendapatan) dan Hilangnya Tantangan (tidak mendapatkan pekerjaan dan lainnya)
- EQ : Hilangnya Relasi & Cinta, Tak bekembang ke arah positif (mengalami stuck dalam hidup), dan Hilangnya Eksistensi Diri (tak ada yang mengakuinya)
- SQ : Tak bisa berkontribusi (karena tak dipedulikan oleh lingkungannya)
Seseorang yang memiliki kekacauan mental sering kali bertingkah aneh, mulai dari tertawa dan tersenyum sendiri, menangis tanpa sebab, dan berbuat hal-hal aneh lainnya. Ini semata-mata agar mereka merasa diperhatikan dan dianggap keberadaannya. Pun sebetulnya di balik semua itu sebenarnya mereka sedang sakit, bahkan lebih parahnya lagi mereka terindikasi fleck feeling, yaitu tidak memiliki rasa empati kepada sesuatu atau umum disebut mati rasa pada sosial.
Terkadang mereka melakukannya hanya untuk memuaskan hasrat dan nafsu semata karena bahagia melihat orang lain menderita. Sudah banyak kasus yang dilakukan oleh orang yang memiliki gangguan jiwa, bahkan perbuatannya menjurus hingga perbuatan tindak pidana.
Dalam ilmu kriminologi dijelaskan bahwa salah satu penyebab masifnya tindak pidana selain faktor ekonomi ialah faktor kejiwaan. Ini berdasarkan teori Neo Classic yang dikemukakan oleh Lombrosso yakni seorang pakar ilmu kriminologi modern. Seseorang yang melakukan tindak pidana yang didasari oleh hasrat untuk memuaskan batin biasa disebut dengan Occanoid Criminal. Adapun hubungannya dengan sanksi yang didapatkannya mengalami pro dan kontra sebab, sebagai contoh dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang mengalami gangguan jiwa atau gila dapat dipidana apabila merujuk pada Pasal 338 dan 339 tentang pembunuhan, tetapi tatkala ditinjau kembali pada Pasal 44 ayat (1) dan (2), perbuatan tindak pidana tersebut dapat dimaafkan karena ada alasan pemaaf. Tetapi pada akhirnya, sanksi tersebut tetap dikenakan, namun hanya berupa tindakan berupa kurungan atau pengisolasian.
Ironi, sebab dalam hal ini seharusnya pemerintah bisa dan wajib membantu orang-orang yang terkena penyakit gangguan jiwa, bukan malah berarti menghukum sesuatu yang bukan seharusnya. Sebenarnya kalau ditinjau dari sudut pandang yang lebih luas lagi, sebetulnya pemerintah tidak salah 100% atas tindakan yang dilakukan, sebab orang-orang yang terkena gangguan jiwa itu memang sudah lama mengalami hal-hal buruk yang dideritanya, baik berasal dari keluarganya atau pun lingkungan sekitarnya. Ini menjadi PR bersama bagi keluarga hingga pemerintah.
Sejatinya untuk mengatasi penyakit gangguan jiwa harus dengan cara yang tepat. Tatkala gejala-gejala yang masih kategori ringan, yakni bisa dengan cara deteksi dini pada diri sendiri atau keluarga dan teman dengan melakukan cara pendekatan-pendekatan konseling dan pemulihan jiwa. Atau pengobatan yang lebih sederhananya, yakni melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif, contohnya seperti melakukan ibadah yang rajin dan rutin. Sebab pada hakikatnya Tuhan YME lah sebaik-baiknya tempat untuk bersandar dan berkeluh kesah.
Jikalau penyakit tersebut sudah akut, sebaiknya untuk dilakukan pengobatan yang cepat, tepat, dan komprehensif, berikut adalah cara-cara pengobatannya:
- Psikoterapi:
– Terapi perilaku kognitif:
Terapi yang mengarah pada pelatihan perilaku dan pola pikir;
– Terapi psikoanalitik:
Terapi yang mengarah pada didorongnya pasien agar terbuka dan mengatakan apa pun yang ada di pikirannya;
– Terapi kognitif analitik:
Terapi yang menggabungkan dua metode sebelumnya;
– Terapi interpersonal;
– Terapi humanistik;
– Terapi sistemik.
- Hypnotheraphy :
Terapi yang dilakukan dengan cara mensugesti pikiran dengan masuk dan menyentuh alam bawah sadarnya agar segera kembali normal.
Sebenarnya ini hanya sebagian kecil dari sekian banyaknya metode pengobatan penyakit gangguan jiwa. Dan juga perlu diingat bahwa enggak melulu semua metode yang dipakai bisa menjamin sembuhnya penyakit tersebut, itu hanyalah sebuah cara agar kita selalu berusaha dan tentunya selalu diiringi dengan doa, agar Tuhan senantiasa mengabulkan dan memberkahi di setiap usaha hamba-Nya.
Dan juga kita sebagai makhluk sosial untuk peka dan melek terhadap penyakit gangguan jiwa ini, terlebih sebagai pengetahuan. Minimal mulai dari diri sendiri untuk mencegahnya begitupun dengan teman sejawat dan keluarga.
Semoga bermanfaat dan diharapkan kepada temen-temen yang membaca tulisan ini untuk tidak berpuas diri dengan apa yang sudah dipaparkan, karena penulis pun dalam membuatnya masih jauh kata sempurna dan tentunya masih perlu belajar. Ini penulis lakukan hanya sebagai ajang diskusi satu arah saja, pun demikian tinggal bagaimana temen-temen yang menafsirkannya.
Akhir kata, terima kasih dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata maupun kalimat yang menyinggung temen-temen.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Penulis: Alfian Ilham Febriyanto (Mahasiswa Semester V jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Untirta)
Editor: Thoby/BU