Bidikutama.com – Kritis, itulah kata yang pantas untuk menggambarkan keadaan Indonesia saat ini. Bagaimana tidak, kita saat ini ditunjukan oleh berbagai kebusukan penguasa. Mulai dari korupsi gede-gedean, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), represifitas aparat terhadap mahasiswa, hingga pembungkaman kebebasan berekspresi. Ke semuanya jika dibiarkan amatlah berbahaya, karena bisa membawa Indonesia pada sakit yang “kritis”.
Tengoklah ketika terjadi demonstrasi serentak tentang omnibus law, katanya si disini bebas berekspresi, tapi para mahasiswa yang menyuarakan aspirasi itu dipukuli.
Budaya korupsi juga nyatanya makin gila-gilaan. Kebiasaan buruk sejak zaman kolonial Belanda itu masih saja lestari di bumi pertiwi. Bantuan bansos Covid-19 yang ditujukan untuk rakyat kecil juga dimakan sendiri, seperti menegasikan jiwa kemanusiaan. Gausah teriak aku pancasila lah ya, wong pejabatnya aja tidak mencerminkan jiwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Memakan hak rakyat kecil, itu sungguh tidak berperikemanusiaan, terlebih lagi itu bukan tindakan manusia yang beradab.
Menjadi orang yang berdiri di jalur kebenaran memang sulit di negeri ini.
Tengoklah Novel Baswedan yang disiram air keras. Katanya itu cuma kejadian tak sengaja, tapi orang awam manapun jelas bisa menduga, itu bukan tak sengaja tapi terencana. Ditambah posisi beliau yang sedang menangani kasus besar, wah ini sih menambah spekulasi masyarakat makin menjadi-jadi.
Hari ini kita lagi-lagi dipertontonkan oleh dagelan khas negara +62, negara yang telah mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi seakan keluar jalur. Para pemangku kebijakan seolah mengkhianati para pendahulunya yang berjuang mati-matian mendirikan negara ideal dengan sistem demokrasi. Kebebasan berekspresi adalah nyawa dari demokrasi itu sendiri. Jika bicara saja dibungkam, lebih-lebih di teror, wah itu si namanya bukan demokrasi lagi.
Reformasi yang harusnya menjadi formula untuk menuju Indonesia lebih baik dengan cita-cita mulia yang dibawa, nyatanya tidak membawa perubahan signifikan. Dulu dibungkam, sekarang suara-suara sumbang itu diredam. Dulu pakai cara semi militer, sekarang semi otoriter. Caranya sih lebih soft, tapi tetap dalam upaya meredam suara-suara kritis terhadap penguasa. Eh tapi, denger-denger pemerintah menolak disebut otoriter, Ups..
Misalnya nih, yang baru saja terjadi terhadap Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI). Kampus yang seharusnya menjadi ruang kebebasan berekspresi, malah terlihat seperti alat penguasa untuk meredam aspirasi. Lihat saja respon pihak kampus yang memanggil kesepuluh mahasiswa yang diduga bertanggung jawab dalam kasus meme “Jokowi the King of Lip Service”. Padahal postingan BEM UI itu jelas merupakan bentuk kepedulian mahasiswa terhadap kondisi negaranya sendiri. Jika mahasiswa bersuara, maka negara memang sedang tidak baik-baik saja. Terlebih, posisi rektornya yang nyambi di komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN), apakah kita tidak curiga kalau pemanggilan mahasiswa itu adalah pesanan untuk meredam suara-suara kritis yang lahir dari para intelektual kampus.
Empat mahasiswa UI yang mengalami represi digital juga patut disayangkan. Pasca postingan kontroversial itu, WhatsApp dan akun media sosial mereka diretas. Ini merupakan teror, semacam peringatan untuk yang lain supaya tidak macam-macam. WhatsApp yang sangat privasi pun bisa diacak-acak, mengerikan sekali. Padahal kebebasan mengakses informasi telah dijamin dalam konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, tapi bisa-bisanya hak asasi itu diganggu, direpresi terhadap orang-orang yang berani buka suara. Bukankah ini namanya pembungkaman.
Ini bukan kasus baru, dulu pun mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) juga sempat mengalami teror ketika hendak mengadakan diskusi mengenai “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan.” Padahal diskusi mengenai impeachment itu bersifat akademis, dan menyoal pemakzulan Presiden itu bukanlah makar, ia ada pembahasannya dalam Hukum Tata Negara. Di Fakultas Hukum manapun pasti diajarkan mengenai pemakzulan Presiden di mata kuliah Hukum Tata Negara.
Kajian-kajian radikal di tengah Pandemi yang mengharuskan mahasiswa kuliah daring diperlukan untuk mengasah nalar, supaya akal tetap sehat. Jangan anggap radikal itu berbahaya, dalam berpikir malah sangat diperlukan. Tanpa pemikiran radikal dari para pendiri bangsa, mustahil kemerdekaan bisa diraih. Pun sama, tanpa berpikir radikal dari insan akademis, kemerdekaan berpikir tidak akan tercipta. Kalau kepemimpinan sedang sakit, kritik adalah obatnya.
Kalau tidak salah, dulu Presiden kita sendiri yang minta untuk di kritik. Katanya beliau kangen di demo, kangen akan kritikan. Ini sudah di kritik, malah baper hehe. Menjadi pemimpin memang berat, harus siap di kritik, harus siap di demo, dan tentu harus siap memenuhi janji politik. Jika sudah berjanji, tentu harus ditepati. Jangan kaget jika rakyat menagih, karena janji adalah hutang. Janji revisi Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), janji memberantas korupsi dengan penguatan KPK, janji tolak utang luar negeri, janji tolak impor beras, dan sederet janji-janji lainnya.
Haslinya pun tidak sesuai ekspektasi. Janji revisi UU ITE malah dibalas dengan Surat Keputusan Bersama Pedoman Kriteria Implementasi UU ITE yang tentu malah seperti membuat tafsir UU ITE ini dimonopoli pemerintah. Padahal yang kita butuhkan adalah revisi pasal-pasal karet, bukan tafsir sepihak. Pemerintah seperti belum punya mood untuk memasukan UU ITE dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Padahal UU ITE sudah banyak memakan korban dan keluar dari fungsinya sebagai undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Kita tunggu saja sampai mood-nya membaik hehe.
Sempat janji stop utang, nyatanya utang negara membengkak Rp6.445 Triliun per Maret 2021. Pada 10 Juli 2021 lalu, Bank Dunia juga sudah menyetujui utang baru yang diajukan pemerintah Indonesia sebesar 400 juta dollar AS, benar-benar impresive. Janji stop impor beras, wah ini negara sudah beberapa kali impor beras. Mungkin janji pilpres terlalu manis untuk kenyataan yang pahit.
Dulu pas masih nyapres janji mau tambah 1000 penyidik KPK, eh malah dibalas dengan pemberhentian 75 penyidik yang beberapa sedang menangani kasus besar, seperti korupsi bansos dan suap benur. Alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) juga semakin membawa potensi lembaga antirasuah itu tidak independen. Kata yang pantas untuk menggambarkan kondisi saat ini, mengsedih.
Sedih karena KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi malah direduksi oleh pemerintah dan internalnya sendiri. Tes wawasan kebangsaan yang terlihat seperti cara untuk menyaring mana orang yang sejalan dengan pemerintah dan mana orang yang berbahaya, jadi terkesan seperti litsus jaman orde baru (orba). Ya, menurut teori siklus, sejarah memang akan selalu berulang. Penelitian Khusus (Litsus) zaman Pak Harto kembali dipakai Pak Jokowi dengan nama berbeda, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Pertanyaan TWK yang kontroversial itu juga malah seperti private affairs. Untuk apa bertanya ‘kenapa belum menikah’, ‘kalau pacaran ngapain aja’, atau ‘mau gak jadi isteri kedua saya’. Wah, itu si pertanyaan ngawur, tidak mencerminkan wawasan kebangsaan sama sekali. Uniknya lagi, penyidik senior sekelas Novel Baswedan pun tak lolos uji wawasan kebangsaan, sungguh pertunjukan komedi yang lucu. Bukan semesta saja yang senang bercanda, penguasa pun juga.
Korupsi, aparat represif, dan pembungkaman freedom of speech kan identik dengan orba. Sedangkan orde baru adalah salah satu catatan sejarah demokrasi yang kelam, kenapa harus diulang. Kita masih ingat ketika kekerasan aparat saat demonstrasi #ReformasiDikorupsi dan ketika mahasiswa membuat gerakan #MosiTidakPercaya. Ingatan itu masih membekas, seolah Polisi saat itu kerasukan jiwa ABRI. 23 tahun usia reformasi seperti belum cukup untuk membawa perubahan signifikan. Demokrasi harusnya semakin maju, bukan berjalan mundur. Terakhir, kita sampai pada pertanyaan. Jika rezim sekarang tidak mau disebut otoriter, maukah rezim sekarang disebut Orde “Paling” Baru?
Penulis: Aan Hasanudin (Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Semester 8)
Editor: Rara/BU