Bidikutama.com - Publik Untirta mungkin saat ini sedang dibuat gaduh oleh satu poin dalam pakta integritas yang berbunyi “Kami tidak akan menuntut adanya perubahan/penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT)”, yang mana ditujukan untuk mahasiswa baru (maba) Untirta yang telah dinyatakan lolos seleksi jalur SNMPTN pada hari Rabu tanggal 08 April 2020.
Poin tersebut membuat maba Untirta khawatir tidak bisa menurunkan uang kuliah tunggal (UKT) jika terdapat sesuatu yang diluar kehendaknya sebagai manusia, sehingga diperlukan adanya penyesuaian ulang terhadap penetapan besaran uang kuliah tunggal.
Sebelum kita lebih jauh pada isi materil yang ada pada pakta integritas sebagaimana penulis sampaikan di atas, menurut KBBI daring, integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran, sedangkan pakta adalah bentuk perjanjian yang merupakan persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Sehingga dapat kita ambil satu kesimpangsiuran bahwa pakta integritas adalah pernyataan janji bersama atau komitmen sebagai bentuk kesanggupan untuk patuh terhadap ketentuan yang berlaku.
Pengaturan mengenai perjanjian terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada buku ke III mengenai perikatan (Van Verbintenissen). Menurut Prof. Soebekti, perikatan adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, yang mana pihak satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu”. Dalam Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik dengan persetujuan, baik karena undang-undang”, sehingga dapat diartikan bahwa perikatan lahir dari akibat adanya suatu perjanjian. Lalu menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian merupakan “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”, yang mana syarat sah dari suatu perjanjian sebagaimana disebutkan dalam pasal Pasal 1320 KUHPerdata adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; suatu hal tertentu; suatu sebab yang halal.
Pada hakikatnya, orang bebas saling mengikatkan dirinya terhadap orang lain sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, hal inilah yang kemudian melahirkan salah satu asas dalam hukum perjanjian yang dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (contract vrijheid atau freedom of contract).
Menurut perkembangannya, hukum perjanjian telah terbagi dalam dua kategori bentuk perjanjian, yaitu perjanjian yang bersifat bebas dan perjanjian baku. Dalam perjanjian yang bersifat bebas, kedua belah pihak bebas menentukan syarat-syarat perjanjiannya. Namun dalam perjanjian yang bersifat baku, kreditur sudah menyediakan bentuk (form) yang telah terformulasi sedemikian rupa sehingga debitur akan selalu terikat dalam bentuk perjanjian yang telah dibakukan dan dikehendaki kreditur tersebut.
Keadaan perjanjian yang bersifat baku dilakukan bukan melalui suatu proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak. Perjanjian yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai bargaining position/lebih kuat seringkali telah menyiapkan suatu syarat pada suatu formulir perjanjian yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Pihak yang posisinya lebih lemah hampir tidak memiliki kebebasan sama sekali kepada pihak yang lebih kuat posisinya untuk bernegosiasi atas syarat-syarat yang telah tercantum dalam perjanjian. Yang kemudian perjanjian jenis ini disebut dengan standard contract atau perjanjian baku.
Perjanjian jenis ini memberikan tempat bagi pihak yang memiliki posisi bargaining position/lebih kuat untuk menggunakan upaya yang sedemikian rupa agar seminimal mungkin terhindar dari beban kerugian akibat adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum yang mungkin akan timbul selama perjanjian berlangsung, inilah yang dimaksud klausul eksonerasi, dimana bertujuan untuk menghindarkan diri atau bahkan membebaskan dirinya dari tanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak lain.
Perjanjian baku telah banyak mengalami perkembangan, tetapi hal ini justru berdampak pada semakin berkurangnya asas kebebasan berkontrak. Pada dasarnya memang asas kebebasan berkontrak bisa dikurangi atau dipersempit apabila terbukti penggunaan asas itu merugikan posisi pihak lain yang terikat dalam kontrak atau perjanjian sebagaimana penulis jelaskan di atas. Pada doktrin hukum perjanjian, dijelaskan bahwa asas kebebasan berkontrak dapat dikurangi, dalam arti suatu perjanjian bisa dikatakan tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang mengikatkan dirinya, jika perjanjian itu dibuat di bawah paksaan, kesesatan, atau penipuan. Ketiga alasan tersebut di atas merupakan alasan-alasan konvensionil.
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan dan penipuan. Dengan adanya kesepakatan atau kata sepakat tersebut berarti para pihak mempunyai kebebasan kehendak untuk menentukan apa yang akan diperjanjikan dan dengan siapa akan melakukan perjanjian. Sehingga apabila terjadi kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog), maka perjanjian tersebut dengan sendirinya batal demi hukum karena telah terjadi cacat kehendak (wilsgebrek) sehingga syarat kesepakatan secara hukum dianggap tidak pernah terjadi.
Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan dirinya pada perjanjian yang dimaksud atau menolak.
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas bahwa Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan 3 (tiga) alasan untuk pembatalan perjanjian yaitu : kekhilafan/kesesatan (dwaling) jo. Pasal 1322 KUHPerdata; paksaan (dwang) jo. Pasal 1323, 1324, 1325, 1326, dan 1327 KUHPerdata; penipuan (bedrog) jo. pasal 1328 KUHPerdata. Jika kita lihat dalam perkembangan Nieuw Burgerlijk Wetboek, maka terdapat alasan keempat untuk membatalkan suatu perjanjian yang dikenal dengan nama penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Menurut ajaran ini jika salah satu pihak pada saat pembuatan perjanjian itu berada dalam posisi (khususnya ekonomis) yang lebih lemah dari pihak lawannya itu tadi, akan tetapi tetap mengikatkan diri dalam perjanjian dengan memanfaatkan posisi yang lemah dari pihak lawannya, maka perjanjian itu tadi bisa dimintakan kebatalannya oleh pihak yang dirugikan (yang berada dalam posisi yang lemah tadi). Secara garis besar penyalahgunaan kedaan dibagi dalam dua kelompok yaitu Penyalahgunaan kedaan karena keunggulan ekonomi (economische overwicht) dari satu pihak terhadap pihak lain; Penyalahgunaan kedaan karena keunggulan psikologis (geestelijke overwicht) dari satu pihak terhadap pihak lain. Namun, Lebens De Mug, masih menambahkan kelompok penyalahgunaan ketiga, yaitu kedaan darurat (noodtoestand), namun pendapat ini biasanya dimasukkan dalam kelompok penyalahgunaan karena adanya keunggulan ekonomi.
Dalam buku ketiga Pasal 44 Ayat (1) Nieuw Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata baru Belanda) disebutkan empat syarat untuk adanya penyalahgunaan keadaan, yaitu keadaan-keadaan istimewa (bijzondere onstandigheden) seperti keadaan darurat dan ketergantungan, suatu hal yang nyata (kenbaarbeid) salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain dalam keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu akta perjanjian, penyalahgunaan (misbruik) salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui seharusnya tidak melakukannya, dan hubungan kausal (causaal verband) bahwa tanpa penyalahgunaan keadaan itu maka perjanjian tidak ditutup.
KUHPerdata Indonesia tidak mengenal penyalahgunaan keadaan untuk membatalkan suatu perjanjian. Meski demikian, hakim karena wewenangnya dapat menciptakan hukum baru atau menafsirkan suatu peraturan yang ada atau suatu kebiasaan yang terjadi dalam praktek hukum. Sehingga, hakim dapat menganut beberapa ajaran tertentu misalnya ajaran tentang itikad baik, keadilan, atau kepatutan ke dalam ajaran penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu alasan pembatalan dari suatu perjanjian.
Penyalahgunaan keadaan dapat menyebabkan suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum, kalau perjanjian itu diadakan dengan bertolak dari suatu penyebab yang bertentangan dengan moralitas yang baik dan penggunaan keadaan yang menyebabkan pihak lawan tidak dapat mengambil putusan yang bersifat independen.
Mengutip pernyataan Jeffrey L. Harisson dalam disertasinya yang berjudul Law and Economics in a Nutshell, Chesterfield Smith Professor of Law The University of Florida, bahwa ketidakadilan biasanya terdiri dari menggunakan unsur substantif dan unsur prosedural. Dugaan dari sebuah unsur prosedural artinya bahwa ada sesuatu yang keliru dalam proses pembuatan kontrak. Bisa saja berupa sesuatu seperti penipuan tetapi bisa juga berupa sesuatu yang sederhana dalam praktek penjualan yang terlalu agresif atau menggunakan cetak kecil atau istilah bahasa yang membingungkan bersifat tidak menguntungkan bagi salah satu pihak.
Berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan di Indonesia telah didukung oleh beberapa putusan hakim melalui lembaga peradilan yang memberikan pertimbangan dalam suatu sengketa perdata mengenai perjanjian antara penggugat dengan tergugat dimana berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan perjanjian tersebut telah dinilai tidak adil (unfair) sehingga merugikan pihak yang posisinya lemah, padahal idealnya dalam suatu perjanjian harus diutamakan adanya keseimbangan hak dan kewajiban di antara para pihak.
Putusan pengadilan yang berkaitan dengan penyalahgunaan keadaan bisa kita jumpai pada Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 189/PdtlG/199 1 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 222/Pdt/1992/PT Mdn jo. Putusan Mahkamah Agung No. 3666 K Pdd1992, tanggal 26 Oktober 1994 tentang pinjaman kredit bank.

Hemat penulis, klausul dalam pakta integritas yang disodorkan kepada maba Untirta telah menyalahi unsur dari penyalahgunaan keadaan, terutama poin 4, yang menyebutkan bahwa “Kami tidak akan menuntut adanya perubahan/penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT)”, yang mana ketika maba tidak menandatanganinya, maka ia tidak akan diterima dan ketika maba dalam menjalankan masa perkuliahan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti meninggalnya yang membiayai atau terjadinya PHK, akan menyulitkan maba Untirta. Jadi ketika memenuhi unsur dalam suatu klausul penyalahgunaan keadaan, maka dengan sendirinya klausul tersebut tidak berlaku atau bahkan perjanjian tersebut tidak berlaku.
Di samping bertentangan dengan ajaran penyalahgunaan keadaan, klausul tersebut bertentangan pula dengan Pasal 6 Permenristekdikti Nomor 39 tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, yang menyebutkan bahwa Pemimpin PTN dapat melakukan penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap mahasiswa apabila terdapat; a. ketidaksesuaian kemampuan ekonomi mahasiswa yang diajukan oleh mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya; dan/atau b. pemutakhiran data kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan ulang pemberlakuan UKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Pemimpin PTN.
Sehingga klausul pada pakta integritas tersebut terkesan berlebihan dengan memaksa mendobrak peraturan atau regulasi yang ada di atasnya, sehingga tanpa menggunakan unsur penyalahgunaan keadaan pun akan mudah dipatahkan oleh Permenristekdikti serta menimbulkan kesan bahwa pakta integritas tersebut tidak berintegritas pada sistematika regulasi atau perundang-undangan.
Penulis: Yusril Hardiansyah Pratama (Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Angkatan 2017)
Editor: Thoby/BU