Bidikutama.com – Dua kasus yang mencuat di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) dirasa mengguncang iklim aman lingkungan kampus, seorang mahasiswa dijatuhi sanksi boikot satu tahun dari fakultasnya. Sementara di kasus lain, seorang mahasiswa kedapatan masuk ke toilet perempuan tanpa diberikan sanksi apapun. Jumat (10/10)
Keduanya jelas merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Terlebih dengan alasan mengepresikan diri. Masuk ke ruang privat perempuan, merupakan pelanggaran serius yang menimbulkan keresahan. Begitu juga dengan perilaku menyimpang lain yang menabrak aturan kampus, tentu patut mendapat perhatian dan penanganan tegas.
Namun, persoalan ini tidak bisa selesai hanya dengan hukuman. Sanksi memang perlu sebagai penegasan bahwa kampus tidak mentolerir penyimpangan, tetapi pendekatan yang semata-mata menghukum justru berisiko membuat mahasiswa semakin terasing dan tidak mendapat kesempatan memperbaiki diri.
Padahal, mahasiswa sejatinya individu yang sedang mencari jati diri. Mereka bisa salah langkah, bisa keliru dalam mengekspresikan diri, dan di situlah kampus seharusnya hadir bukan hanya sebagai hakim, tetapi juga sebagai pendidik.
Kasus ini seharusnya menjadi refleksi bersama. Apakah kampus sudah menyediakan ruang aman bagi mahasiswanya untuk berdialog tentang isu-isu sensitif seperti gender, identitas, dan batasan sosial? Apakah ada mekanisme pembinaan yang membuat mahasiswa berani mencari bimbingan ketika mengalami kebingungan?
Tanpa ruang edukasi dan pendampingan, penyimpangan bisa terulang, bahkan semakin parah. Menolak penyimpangan bukan berarti menolak manusianya. Kampus harus mampu menegakkan aturan demi keamanan bersama, tetapi di saat yang sama memberikan jalan pembinaan yang humanis.
Penulis: A. Dinara/BU
Editor: Nadira/BU











