Bidikutama.com – Panasnya suasana tahun ini bukan hanya dari teriknya panasnya EL Nino, tetapi juga suasana pergesekan politik Indonesia. Hal ini bisa dirasakan dengan banyaknya jumlah berita di media massa televisi yang saling berlomba-lomba menaikkan elektabilitas calon tertentu. (11/09).
Saat ini Indonesia sedang memasuki tahun panasnya. Bukan, bukan karena dilanda El Nino atau juga “Neraka Bocor”, melainkan dengan adanya agenda politik praktis rutinan yang digelar tiap 5 tahun sekali, baik dari kelas Pilkada, Pileg, maupun Pilpres.
Menjelang pesta demokrasi tahun 2024 nanti, masing-masing politikus seakan berlomba memasang wajah mereka di tempat yang dapat menjangkau orang banyak. Demi memperebutkan kepentingan elektoral pastinya.
Media massa, terkhusus televisi menjadi senjata pilihan para “penghamba kertas suara” ini untuk mengkampanyekan tujuan mereka. Apalagi sejumlah media massa dimiliki oleh para tokoh yang juga mempunyai jagoan nya untuk bertarung di palagan pemilu nanti.
Sebut saja misalnya, Media Indonesia kepunyaan Surya Paloh, MNC Group milik Harry Tanoesoedibjo, atau Viva Group milik Aburizal Bakrie, dan mungkin masih banyak yang lainnya.
Para bos-bos media itu memiliki kepentingan politiknya pada pemilu nanti. Surya Paloh dengan Partai Nasdem yang mengusung Anies Baswedan sebagai bakal calon presidennya.
Harry Tanoe melalui Partai Perindo dengan Ganjar Pranowo sebagai jagoannya, juga Aburizal Bakrie dengan Golkar yang mengusung Prabowo Subianto yang sudah 3 kali gagal menjadi calon presiden.
Dengan begitu apakah kita tetap bisa percaya bahwa media, termasuk televisi, tetap bisa menjadi media yang benar-benar dapat dipercaya oleh para pemirsanya.
Sebenarnya kampanye melalui media massa merupakan hal yang sah-sah saja, selagi tidak menyinggung unsur SARA dan menampilkan berita bohong.
Namun menurut saya, alangkah baiknya sebuah media menjaga marwah elegannya dengan menempatkan diri di tengah-tengah kepentingan para kepentingan “penghamba suara” itu. Pujilah jika memang layak dipuji, kritik lah jika memang patut dikritik.
Tak perlu lah jungkir balik untuk memoles citra para politikus tadi. Toh, masyarakat juga tidak bodoh dalam menentukan pilihannya nanti. Justru dengan cara berlebihan memoles citra para tokoh hingga menutupi fakta sebenarnya, justru media, termasuk televisi, bertanggung jawab atas rendahnya tingkat melek politik masyarakat.
Kita sebagai masyarakat mesti paham, bahwa kita berhak menentukan mutu tayangan televisi kita. Karena para cukong-cukong media itu hanya menyewa saluran frekuensi milik pemerintah untuk menayangkan kepentingannya. Karena, kita punya sejumlah saham atas itu semua.
Penulis : Alif/BU
Editor : Adi/BU