Bidikutama.com – Fenomena Post Power Syndrome (PPS) mungkin terdengar asing di telinga banyak orang, tetapi bagi organisasi baik di dunia kampus, perusahaan, ataupun komunitas sosial, isu ini kerap kali muncul. PPS merujuk pada kondisi di mana seorang mantan pemimpin atau anggota organisasi yang sudah tidak memiliki jabatan masih merasa perlu untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, bahkan ikut campur dalam urusan organisasi yang pernah dipimpinnya. Jumat (14/3)
Biasanya, orang yang mengalami PPS merasa sulit melepaskan diri dari peran mereka sebagai pengambil keputusan penting. Mereka merasa memiliki hak untuk terus mengarahkan kebijakan atau mempengaruhi jalannya organisasi, meski kenyataannya mereka sudah tidak lagi memegang peranan aktif.
Lalu, sebenarnya apa yang melatarbelakangi fenomena ini? Banyak alumni organisasi yang merasa bahwa keberadaan mereka masih relevan dan bahwa pengalaman mereka yang panjang dalam organisasi tersebut memberi mereka kewajiban untuk tetap menjaga kualitas dan arah organisasi. Mereka melihat dirinya sebagai “Penjaga Tradisi” atau merasa bahwa organisasi tanpa panduan mereka akan kehilangan arah.
Sebagian lainnya mungkin merasa bahwa organisasi tidak akan bisa berkembang tanpa input mereka yang dianggap berharga. Sayangnya, anggapan tersebut sering kali tidak disertai dengan pemahaman bahwa zaman telah berubah dan generasi penerus memiliki cara dan perspektif yang berbeda dalam mengelola organisasi.
Terlalu banyak campur tangan dari alumni yang tidak lagi memiliki otoritas formal dapat merusak dinamika organisasi. Hal ini bisa menghambat proses regenerasi di mana anggota muda organisasi tidak diberikan ruang untuk berkembang dan berinovasi. Mereka yang baru memegang kepemimpinan mungkin merasa tertekan, bahkan terintimidasi oleh bayang-bayang pemimpin sebelumnya yang terus mengintervensi. Hal ini dapat menurunkan motivasi dan kepercayaan diri anggota baru yang seharusnya memimpin dengan cara mereka sendiri.
Lebih jauh lagi, adanya campur tangan terus-menerus dari alumni dapat menciptakan ketegangan antara generasi lama dan baru dalam organisasi. Ketika nilai-nilai yang dibawa oleh alumni yang terhormat ini dianggap tidak relevan lagi dengan situasi saat ini, konflik antara tradisi dan inovasi dapat dengan mudah terjadi. Tak jarang, hal ini menyebabkan perpecahan internal yang dapat melemahkan solidaritas organisasi.
Namun, meski begitu bukan berarti para alumni harus sepenuhnya menghindari peran dalam organisasi setelah mereka meninggalkan jabatan. Peran mereka sebagai mentor atau konsultan yang memberikan saran atau bimbingan tentu sangat berharga, terutama bagi anggota muda yang sedang berjuang mencari arah. Hal terpenting adalah sejauh mana saran atau masukan itu diberikan dengan cara yang konstruktif dan tidak memaksakan kehendak atau opini mereka sendiri.
Penulis : Saeful Anwar/Mahasiswa Jurusan Akuntansi Untirta
Editor : Rizqy/BU