Bidikutama.com – Indonesia merupakan negara yang mengadopsi suatu sistem hukum yang disebut sebagai sistem Eropa Kontinental atau yang lebih sering dikenal dengan istilah “Civil Law System”. Salah satu ciri mencolok dalam negara Civil Law adalah adanya suatu asas yang disebut sebagai asas legalitas atau Legality Principle. Asas Legalitas merupakan suatu asas yang mana segala tindakan baik pemerintah maupun masyarakat didasarkan pada hukum. (4/8)
Kaitan asas legalitas dengan hukum pidana sangatlah korelatif, pasalnya asas legalitas tercantum di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, baik yang lama maupun yang baru. Asas Legalitas dalam hukum pidana diciptakan oleh Paul Johan Anslem Von Feurbach yang berbunyi “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” yang bermakna bahwasanya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Hal ini menandakan bahwasanya seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak ada undang-undang yang mengatur tentang perbuatan tersebut.
Dalam KUHP kita yang baru maupun yang lama, asas legalitas secara expressis verbis terakomodir di dalamnya yang menjelma menjadi suatu ketentuan pasal. Dalam KUHP yang baru yaitu Undang-undang (UU) nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, asas legalitas tercantum di dalam Pasal 1 yang berbunyi: “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenaisanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Menurut Groenhuijsen asas legalitas memiliki 4 makna yang terkandung di dalamnya, yakni hukum pidana harus bersifat non-retroaktif, jelas (Certa), tertulis (Scripta), tidak diperbolehkannya analogi (Stricta). Secara teoritik asas legalitas dalam hukum pidana dimaknakan bahwasanya harus ada sebuah peringatan terlebih dahulu sebelum seseorang dipidana untuk menentukan mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak boleh dilakukan, dan apa sanksi yang menyertainya, peringatan tersebut haruslah dalam bentuk undang-undang tertulis agar semua orang dapat mengetahuinya dengan jelas (Moneat lex, Piusquam feriat).
Dalam konteks negara Indonesia yang masyarakatnya bersifat heterogen pasti memiliki hukum pidana regional yang bersifat heterogen pula, hukum pidana regional ini disebut sebagai hukum pidana adat yang bentuknya tidak tertulis (living law/hukum yang hidup dalam masyarakat). Hukum adat sendiri atau living law telah diakui eksistensinya di beberapa Peraturan Perundang-Undangan seperti Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 Pasal 18B dan UU Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 yang berisikan suatu makna bahwa hakim harus mengetahui segala hukum baik tertulis maupun tidak tertulis (Ius Curia Novit).
Hukum pidana adat ternyata termaktub juga di dalam KUHP yang baru tepatnya di dalam pasal 2 yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini”. Dari Pasal 2 ayat 1 di atas dapatlah disimpulkan bahwa KUHP yang baru mencoba untuk mengakomodir hukum pidana adat ke dalamnya.
Akan tetapi timbul kontroversi yang disebabkan oleh ayat 3 pasal tersebut yang berbunyi “Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah” lalu ditambah dengan penjelasan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 3 yang masing-masing berbunyi sebagai berikut :
- Penjelasan Pasal 2 ayat 1
Yang dimaksud dengan “hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertrulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut.
- Penjelasan Pasal 2 ayat 3
Peraturan Pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam Peraturan Daerah.
Dari ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 3 dapat disimpulkan bahwasanya pembentuk Undang-Undang bermaksud untuk mempositifkan hukum pidana adat yang bentuknya tidak tertulis (living law) melalui sarana Peraturan Daerah (Perda) yang diatur penentuanya oleh Peraturan Pemerintah (PP). Menurut penulis pribadi, positivisasi hukum pidana adat merupakan sebuah momen dialektika antara pembentuk Undang-Undang yang bermadzhab Positivisime dengan pembentuk Undang-Undang yang bermadzhab Historis. Sekiranya pertentangan ini memiliki substansi yang identik dengan apa yang terjadi di Jerman pasca perang-perang Napoleon yakni suatu pertentangan terkait kodifikasi hukum jerman antara Anton F.J Thibaut yang mendukung kodifikasi dan Karl Von Savigny yang menentang kodifikasi. Argumen yang dibangun oleh Savigny ialah bahwa hukum itu seharusnya ditemukan dan bukan diciptakan. Dalam proses penemuan harusnya menggali nilai-nilai dalam konteks subjektif kesejarahan suatu negara dan bukan dibuat begitu saja.
Madzhab Positivisme merupakan madzhab yang menganggungkan undang-undang bahkan mereka sendiri disebut sebagai penyembah wet, mereka beranggapan bahwasanya tidak ada peraturan lain selain undang-undang atau hukum tertulis. Hukum terlepas dari apa yang disebut baik atau buruk, hukum hanya berkaitan dengan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Blackstone salah seorang tokoh dari madzhab ini yang menganggap bahwa hukum semata-mata diciptakan oleh orang yang dikuasai yang diperuntukan untuk orang yang dikuasai untuk ditaati.
Madzhab Historis merupakan madzhab yang menganggap bahwa hukum itu erat kaitanya dengan jati diri atau jiwa suatu banga (Volkgeist) yang mana hukum itu merupakan penjelmaan dari jiwa suatu bangsa tersebut. Tokoh yang terkenal dalam aliran ini ialah Karl Von Savigny yang mengemukakan ungkapan terkenal yang berbunyi “Das recht word niccht gemacht, es it und wird mit dem volke” yang berarti hukum itu tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.
Pertentangan yang nyata antara dua madzhab ini terkait positivisasi hukum pidana adat terus berlanjut dan tidak akan pernah memiliki ujung, menurut penulis apa yang diputuskan oleh pembentuk undang-undang terkait positivisasi hukum pidana adat ini telah tepat dimana hukum pidana adat yang ada dipositifkan untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum dan sesuai dengan asas legalitas, tidak ada nilai negatif di dalamnya. Sesuai dengan apa yang disampaikan pula oleh Puchta bahwa adat istiadat (hukum pidana adat) suatu bangsa hanya dapat berlaku sebagai hukum setelah mengalami proses pengesahan oleh negara, pengesahan oleh negara itu dalam bentuk legislasi. Apabila hukum pidana adat yang tercantum di dalam KUHP baru tidak dipositifkan maka Pasal 2 terkait living law dan Pasal 1 terkait legalitas akan bersifat contra legem dimana Pasal 1 menjamin adanya kepastian hukum melalui asas legalitas (Stircta, Certa, Scripta) akan tetapi dibenturkan dengan Pasal 2 yang mengakui adanya hukum yang hidup dalam masyarakat yang bersifat abstrak. Maka dari itu pemerintah mempositivisasi living law menjadi bentuk Undang-Undang dalam pengertian materiil yakni Perda.
Refrensi :
- Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, (Yogyarakata: Cahaya Atma Pusaka, 2020), hlm. 62
- Prof. Dr. Achmad Ali, S.H, M.H, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Kencana, 2017) hal. 39
Penulis : Dio Fachmi (Mahasiswa Fakultas Hukum Untirta)
Editor : Uswa/BU