Bidikutama.com – Pada saat ini, Indonesia tengah berada di persimpangan jalan demokrasi karena pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan potensi disahkannya RUU Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang memicu kekhawatiran publik semakin meningkat. Tak hanya itu, insiden yang menimpa Tempo dikirimi kepala babi dan bangkai tikus semakin menegaskan bahwa kebebasan pers sedang berada dalam ancaman nyata. Sabtu (29/3)
Pergeseran kebijakan ini memunculkan kembali bayang-bayang Dwifungsi TNI, sebuah konsep yang pernah menjadi alat bagi militer untuk tidak hanya bertugas dalam pertahanan negara, tetapi juga ikut campur dalam urusan sipil dan politik. Masyarakat pun bertanya-tanya, apakah demokrasi yang diperjuangkan sejak 1998 kini sedang mengalami kemunduran?
Sejak Reformasi, keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil mulai dikurangi demi menjaga keseimbangan demokrasi. Namun, dengan aturan baru ini, posisi perwira aktif di jabatan sipil kembali dimungkinkan. Hal ini menjelaskan bahwa militer tidak hanya memiliki kekuatan bersenjata, tetapi juga dapat mengendalikan kebijakan negara dari dalam sistem pemerintahan.
Jika ini terjadi, bagaimana nasib rakyat? Apa perbedaannya dengan negara junta militer seperti Myanmar atau Mesir, di mana militer mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan? Masyarakat sipil pun semakin sulit untuk melawan karena kekuasaan sudah berada dalam genggaman kelompok bersenjata. Jika kita pakai kacamata Michel Foucault, dapat dilihat bahwa ini adalah permainan kekuasaan untuk semakin memperketat pengawasan dan kontrol atas masyarakat.
Negara melalui regulasi seperti RUU TNI dan RUU Polri sedang memperkuat mekanisme disipliner yang semakin mengukuhkan posisi para aparat di atas hukum. Tak hanya itu, intimidasi terhadap Tempo juga menjadi contoh nyata bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui hukum, tetapi juga melalui teror dan ketakutan.
Sejarah telah menunjukkan bahwa otoritarianisme sering kali bertahan dengan membungkam rakyat dan media. Namun, ada berbagai cara yang pernah digunakan untuk melawan. Dari Reformasi 1998, perlawanan People Power di Filipina, hingga gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, terdapat pola yang dapat menjadi inspirasi yakni rakyat tidak diam. Dalam dialektika Hegelian, memang saat ini negara tampak mendominasi, tetapi ingat, setiap dominasi akan selalu melahirkan antitesisnya yakni perlawanan.
Di tengah represi yang semakin kuat, jurnalisme menjadi salah satu benteng terakhir dalam mempertahankan kesadaran publik. Penyebaran informasi dengan akurat dan strategis adalah langkah paling realistis yang bisa dilakukan saat ini. Media independen dan platform digital menjadi medan perlawanan baru untuk melawan narasi pemerintah yang ingin membungkam kritik.
Namun, dengan ancaman nyata seperti yang dialami Tempo, hal yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh jurnalisme bisa bertahan? Demokrasi Indonesia saat ini sedang diuji. Pertanyaannya kini bukan lagi “Apakah rakyat bisa melawan?” melainkan “Sejauh mana rakyat mau berjuang sebelum semuanya terlambat?”
Terdapat satu cerita dalam Alkitab, Yohanes 13:36. Di Kota Roma, Kaisar Nero mulai menganiaya orang-orang Kristen. Santo Petrus, selaku pemimpin mereka, mencoba melarikan diri dari hukuman salib. Sesampainya di gerbang kota Roma, dia bertemu Yesus Kristus. “Tuhan, kemana Engkau hendak pergi?”, tanya Santo Petrus kepada Yesus Kristus. Kemudian Kristus menjawab, “Aku hendak kembali ke Roma untuk disalibkan lagi”. Bayangkan Sang Saka Merah Putih sebagai Santo Petrus, dan kita, rakyat Indonesia sebagai Yesus “Rakyat Indonesia, kemana kalian hendak pergi?”
Penulis : Rhamaditya/Mahasiswa Fakultas Hukum Untirta
Editor : Raffa/BU