Bidikutama.com – Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merupakan kerangka hukum yang mengatur aspek pendidikan di Indonesia dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi, mempunyai tujuan menciptakan sistem pendidikan yang terintegrasi dan berkualitas. Kendati demikian, Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas yang saat ini tengah dibahas di parlemen menghadapi berbagai polemik. Jumat (2/5)
Muncul keprihatinan terhdap isi dan implementasi RUU, terutama dalam hal kurikulum, akses pendidikan, pendanaan, dan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan. Komisi X DPR RI dinilai tidak transparan dalam membuka partisipasi masyarakat dalam pembahasan revisi UU Sisdiknas.
RUU ini dikritik karena membuka ruang kapitalisasi pendidikan, mengaburkan prinsip pemerataan akses, dan mengancam kesejahteraan tenaga pendidik. Kapitalisasi pendidikan menjadikan pendidikan komoditas yang hanya dapat diakses kelompok tertentu, mengabaikan amanat konstitusi untuk mencerdaskan bangsa secara merata.
Banyak pasal dalam RUU Sisdiknas yang mencampuradukkan konsep ‘hak warga negara’ dengan ‘kewajiban negara’. Misalnya, Pasal 12 yang menyebutkan masyarakat ‘wajib’ mendukung penyelenggaraan pendidikan, padahal seharusnya masyarakat ‘berhak’ berpartisipasi.
Selain itu, Pasal 49 tentang alokasi 20% dana pendidikan menimbulkan ketidakjelasan. Konsep badan hukum nirlaba dalam Pasal 53 yang bertujuan agar lembaga pendidikan tidak berorientasi pada keuntungan, justru menjadi ambigu setelah perubahan melalui RUU Cipta Kerja, membuka peluang lembaga pendidikan beroperasi seperti korporasi.
Pasal 66 memberi otonomi luas kepada perguruan tinggi untuk mengelola dana mandiri, namun akuntabilitas dan transparansi pimpinan kampus masih dipertanyakan. Kesejahteraan tenaga pendidik juga terabaikan, terutama karena Pasal 105 RUU Sisdiknas tidak mencantumkan hak guru atas tunjangan profesi, yang berbeda dengan UU Guru dan Dosen yang menjamin tunjangan profesi sebagai hak dasar.
Kapitalisasi pendidikan semakin menggerogoti hak setiap anak bangsa sehingga ini jadi alarm keras yang menuntut perlawanan dan perubahan nyata, penerapan Student Loan dengan melibatkan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan perbankan, serta menjanjikan bunga fixed rate yang dibayar LPDP menuai berbagai permasalahan. Dilansir dari tempo.com, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie, menjelaskan bahwa angsuran hanya akan dibayarkan peminjam setelah gaji per tahun melewati batas penghasilan tertentu.
Kapitalisasi pendidikan melalui skema pinjaman pendidikan, seperti yang melibatkan LPDP dan perbankan, semakin menggerogoti hak anak bangsa. Penerapan Student Loan dengan bunga tetap dan pembayaran setelah mencapai batas penghasilan tertentu, justru menambah beban mahasiswa, memperlebar kesenjangan akses pendidikan, dan memperburuk kondisi mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Skema ini membuka potensi risiko kredit macet dan kekhawatiran terkait transparansi pengelolaan dana. Pendidikan seharusnya menjadi hak dasar yang dijamin negara, bukan komoditas yang dibeli dengan utang.
Negara wajib menyediakan akses pendidikan tanpa membebani rakyat dengan utang, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Memaksa generasi muda untuk berutang demi kuliah justru mengarah pada sistem yang menindas dan melemahkan potensi bangsa, bukan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan konstitusi.
Penulis : Usniati Fadillah/Mahasiswi Fakultas Hukum Untirta
Editor : Rizqy/BU











