Bidikutama.com – Mengalami diskriminasi di dalam lingkungan pendidikan merupakan hal yang mengenaskan. Hal ini dikarenakan, ketika lingkungan pendidikan seharusnya melahirkan orang-orang yang lebih berintelektual yang nantinya akan mengedukasi kelas masyarakat lainnya, tetapi mereka malah bertingkah sebaliknya; yaitu dengan mengelompokan bagian-bagian tertentu yang sebenarnya adalah bentuk dari keragaman. (26/4)
Mengulik dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keragaman berasal dari kata dasar ragam yang artinya tingkah laku; lain orang lainnya. Oleh sebabnya, belajar tentang manusia itu tak pernah mudah, hal ini karena setiap manusia membawa budaya, pola pikir, dan berasal dari hal yang berbeda-beda sehingga menciptakan keragaman-keragaman lainnya pula. Meskipun begitu, seringkali kelompok masyarakat merasa berada di posisi yang sama dan berujung bersikap dominan sebagai mayoritas di tempat-tempat tertentu. Lalu orang-orang yang tak seragam dengan kelompok tersebut seolah tak dianggap, tak di akui haknya, atau bahkan seringkali disepelekan.
Persoalan mayoritas dan minoritas itu memang nyata adanya, meski tak jarang dianggap remeh. Kemudian persoalan mayoritas dan minoritas tak melulu hanya tentang agama atau suku saja, tetapi mulai berkembang di banyak hal seperti pola pakaian, pola pikiran, pola kemampuan, pola tingkah laku, dan banyak hal lainnya yang mulai di kotak-kotakan berdasarkan kelas sosial masyarakat. Berkembang dari itu, kebenaran sesungguhnya tentang hak milik pribadi untuk mendapatkan penghidupan yang layak yang tertuang pada ayat-ayat di pasal 28 UUD 1945 seolah hanya menjadi lelucon.
Padahal pasal 28 ayat 2 berbunyi “Hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan hak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Dari sini jelas negara menolak pengelompokan mayoritas dan minoritas di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan tiap-tiap individu memiliki hak untuk berbudaya, hak untuk kemerdekaan pikiran, dan bahkan hak untuk diakui di mata hukum.
Meskipun begitu kelas-kelas sosial tertentu secara perlahan mulai memasukan doktrin-doktrin halus seperti di sebuah acara umum tertentu (bukan agamis) dikarenakan mayoritas pesertanya menggunakan kerudung, sehingga peserta lain yang sebenarnya memiliki hak untuk berekspresi terbelenggu akan hal tersebut dan dituntut menggunakan kerudung. Atau dalam kasus lainnya, ketika mahasiswi yang memutuskan untuk bercadar dan berpakaian longgar di lirik miring oleh banyak penghuni kampus, dan dipertanyakan tujuannya dengan nada-nada introgratif, atau bahkan sampai di paksa lepaskan atributnya di acara-acara tertentu. Hal ini dikarenakan kelas sosial tersebut merasa bahwa orang-orang yang disebutkan di atas tidak sewajarnya (bagi mayoritas). Hal ini dikarenakan mayoritas merasa kebenarannya adalah dirinya.
Krisis menghargai keberagaman ini tak akan pernah berhenti kalau mayoritas terus merasa “si paling benar”. Akan terus ada dia-dia lainnya yang mengkritik, menghakimi, dan mendiskriminasi pola orang berpakaian, logat orang berbicara, atau bahkan sesederhana bentuk rambut seseorang. Mereka melupakan bahwa di balik itu semua, kami sama-sama setara, sama-sama saling berbeda diantara mata yang beda, sama-sama saling memiliki hak untuk berpendapat dan berekspresi yang bahkan dilindungi undang-undang.
Bahayanya lagi, kita sering kali lupa bahwa kita adalah pelaku diskriminatif tersebut. Hal ini terbukti dari kasus seseorang mahasiswi yang memakai cadar di kampus, tanpa kita sadari kita sering kali melihat sinis atau melihat penuh dengan tatapan introgatif terhadap mahasiswi tersebut. Atau penyebutan “hei china” kepada teman-teman yang memiliki warna kulit putih dan mata yang sipit. Dan masih banyak hal kecil lainnya yang tanpa sadar kita lakukan dan sebenarnya tindakan tersebut adalah tindakan mendiskriminasi seseorang. Kita “si hakim” dari orang-orang yang tak sama dengan kita. Kita menolak hak mereka dalam keputusan yang sebenarnya bukan merupakan hak kita.
Kita bahkan menyepelekan, menertawai, atau terus-terusan membuat lelucon dari hal tersebut dan mengganggap korban akan menerima bahan bercandaan itu. Lalu tanpa sadar diskriminatif itu sudah mulai beralih menjadi pembullyan yang tak berujung.
Penulis : Diva/BU
Editor : Putri/BU