Bidikutama.com – Kaget. Itu yang saya rasakan ketika tahu bahwa tuntutan banyak mahasiswa Untirta berkaitan dengan subsidi kuota internet bisa direalisasikan oleh Rektorat Untirta. Ngakak. Itu yang saya lakukan ketika tahu bahwa subsidi sebesar Rp 50 ribu per bulan selama tiga bulan itu dalam bentuk pemotongan UKT semester depan. Gak sampe semenit itu antara kaget dengan ngakaknya.
Sejak awal, saya pribadi merasa tuntutan teman-teman kebanyakan itu tidak realistis. Apalagi ketika tuntutan tersebut dibarengi dengan tuntutan lainnya yakni apabila tidak diberikan subsidi kuota, maka setengah UKT yang telah dibayarkan wajib dikembalikan. Istilahnya itu cashback.
Padahal, dua tuntutan tersebut sangat tidak sebanding. Tidak apple to apple. Jika disuruh memilih antara subsidi kuota dengan cashback setengah UKT, ya harusnya pilih cashback-lah. Toh kuota internet sampai akhir semester paling hanya Rp 100 ribu sampai 150 ribu. Sama nilainya kayak subsidi-subsidian yang diberikan oleh rektorat.
Sebelum baca lebih lanjut, saya cuma mau memperjelas saja. Ini sekadar kritik dan saran saja sih. Bukti cinta terhadap teman-teman.
Lanjut.
Menurut saya, ini membuktikan bahwa teman-teman kebanyakan dalam melakukan sebuah tuntutan tidak dibarengi dengan kajian yang matang. Tuntutan yang dilakukan teman-teman hanya reaktif pada kondisi yang terjadi saat ini saja, tanpa memikirkan bagaimana situasi ke depannya. Dimaklumi sih, lagi Corona soalnya.
Mungkin teman-teman pembaca pernah membaca sekilas tulisan saya yang menyinggung soal diskon UKT di semester depan. Bagi saya, itu merupakan tuntutan paling realistis bagi kita mahasiswa yang sudah pasti terdampak akibat pandemi COVID-19 ini ketimbang subsidi kuota maupun cashback UKT.
Mengapa? Karena Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 memungkinkan hal tersebut. Kendati bahasanya pada Pasal 5 adalah penyesuaian keringanan UKT dan/atau melakukan penetapan ulang pemberlakuan UKT. Katakanlah penyesuaian besaran UKT.
Mari coba kita telaah secara amatir.
Berdasarkan pernyataan dari dosen kita, Pak Boyke Pribadi, seperti dilansir pada situs banpos.co, disebutkan bahwa dampak dari COVID-19 terhadap ekonomi Indonesia, khususnya Banten, itu akan sangat terasa. Sebab secara kasat mata saja, aktivitas ekonomi mengalami penurunan secara drastis.
“Kalau anak sekolah libur, pedagang kecil gak ada yang beli. Pedagang kecil gak jualan, pasar akan sepi. Nah di situlah ada yang namanya pengereman pertumbuhan ekonomi,” ujar Pak Boyke menjabarkan terkait dengan dampak ekonomi atas kehadiran tuan Corona.
Pak Boyke juga mengatakan, untuk skala ekonomi makro, akan terjadi pengereman pertumbuhan ekonomi tatkala perusahaan dan pabrik yang ada di Banten mulai meliburkan kegiatan produksinya. Dengan diliburkannya perusahaan dan pabrik, maka hasil produksinya pun akan berhenti beredar.
“Dengan berhentinya perderadan produk, maka perusahaan akan kesulitan mendapatkan keuntungan. Pun sama dengan para karyawan, mereka juga akan berkurang penghasilannya karena libur bekerja,” tuturnya.
Diterangkan lebih lanjut oleh Pak Boyke, kondisi pandemi ini sudah pasti dapat berakibat pada terpukulnya pertumbuhan ekonomi, khususnya di Banten. Karena, Hongkong saja yang kekuatan ekonominya jauh di atas Indonesia, terpukul dengan keras oleh pandemi ini.
Bahkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi di sana mencapai 1,74%. Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin lebih parah. Kita tunggu hasil rilis dari pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi sangat berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dan tingkat serapan kerja. Dengan turunnya pertumbuhan ekonomi, tentu yang namanya warga pra-sejahtera baru dan pengangguran akan bertambah.
Secara gamblang dan terang benderang, pandemi ini mempengaruhi kondisi perekonomian masyarakat. Termasuk bapak, ibu, dan wali kita para mahasiswa. Mungkin untuk yang memiliki orang tua atau wali yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), itu Insya Allah masih aman. Bagaimana dengan yang lainnya? Bisa jadi termasuk orang-orang berstatus pra-sejahtera baru dan pengangguran baru tersebut.
Untirta sebagai institusi yang terikat oleh Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017 tentu harus bisa membaca kondisi tersebut. Alih-alih hanya mendiskon UKT semester depan sebesar Rp 150 ribu dengan sebutan subdisi kuota internet, kenapa tidak mulai mengkaji soal penyesuaian besaran UKT? Colek Pak Boyke, mungkin bisa bantu dorong rektorat untuk menjelaskan terkait kondisi ekonomi pasca-pandemi nanti. Hehe.
Soalnya begini loh. Percuma dapat subsidi kuota (yang sebenarnya mah bukan subsidi, lah wong tetep beli kuota pake uang pribadi), kalau semester depan gak bisa bayar UKT (yang artinya gak menikmati subsidi yang bukan subsidi itu (yang artinya rebahan diperpanjang hingga satu semester ke depan (karena gak kuliah (terpaksa cuti karena gak bisa bayar UKT)))).
Teruntuk mahasiswa yang minta subsidi kuota, selamat eaaa.
Teruntuk BEM KBM Untirta, sikat geh.
Penulis: Diebaj Ghuroofie D. (Akuntansi 2015, Mahasiswa akhir yang harus bayar UKT Rp 4.550.000)
Editor: Thoby/BU