Bidikutama.com – Sudah 1 bulan lebih pandemi Covid-19 terus menyebar dan bersemayam di Tanah Air Ibu Pertiwi ini. Virus ini menyebar sangat cepat dan memaksa masyarakat untuk waspada dan meminimalisir segala bentuk perkumpulan untuk waktu yang belum bisa ditentukan. Maka dari itu, segala bentuk aktifitas dialihkan dalam sistem daring atau online untuk menghindari kontak langsung, yang sejatinya untuk mengatasi dan meminimalisir virus tersebut. Masyarakat diharapkan mampu memahami gejala sosial terkini dan bisa menjalani segala bentuk rekomendasi dari pemerintah untuk mengatasi Covid-19 ini.
Ada amanat yang tersirat dalam peristiwa pandemi ini, dimana kita wajib untuk mengamati dan membangun suatu prosedur kesehatan dengan baik, seperti rutin untuk menjaga kebersihan diri, selalu memberishkan lingkungan sekitar, dan tetap menjaga pola makan dengan baik. Aktivitas dibatasi dalam penanganan pandemi Covid-19 ini, demi terhindarnya penularan virus agar tidak semakin masif. Saat ini, yang harus kita perhatikan dalam menghadapi virus tersebut yaitu dengan menjalankan prosedur pemerintah dan beberapa ahli kesehatan.
Tetapi, bagaimana peran pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 ini? Banyak yang menilai Pemerintah Indonesia dianggap lamban merespons virus yang kelak jadi pandemi, predikat yang menunjukkan betapa luasnya persebaran penyakit itu. Hal ini terlihat dari pernyataan yang terkesan meremehkan dari para pejabat saat kasus ini belum (ketahuan) ada di Indonesia. Lalu, bagaimana dampak pandemi ini di berbagai sektor?
- Sektor Ekonomi
Berdasarkan keterangan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), sejak pemberlakuan tersebut diprediksi Indonesia akan kehilangan Rp 54,8 T dari sektor pariwisata. Perlu diketahui, pada tutup buku tahun 2018, sektor pariwisata mampu menyumbang devisa terbesar dengan nilai mencapai US$ 19,2 miliar, mengalahkan sektor migas, dimana Bali tercatat sebagai penyumbang terbesar mencapai 40%.
Kehadiran wabah Covid-19 memberikan dampak secara sistemik terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Terganggunya suplai bahan baku untuk industri manufaktur dari China, serta menurunnya jumlah wisatawan, akan berdampak krisis pada pemasukan negara.
Meskipun pemerintah telah meluncurkan kebijakan insentif fiskal berupa penghilangan pajak penghasilan selama 6 bulan ke depan bagi pekerja maupun perusahaan dalam upaya memelihara daya beli masyarakat, namun tidak ada ukuran pasti sejauh mana kebijakan insentif tersebut mampu bekerja secara efektif.
Apalagi, model kebijakan itu belum tentu dirasakan oleh segmen masyarakat non-urban seperti petani, nelayan, pengrajin, dan lain-lain. Pemberian bahan pokok dan sumbangan pun dinilai tidak relevan, pasalnya banyak orang yang telah menyelundupkan dana yang diberikan pemerintah pusat, sehingga pemberian bantuan dari pemerintah pusat ini tidak sampai seutuhnya ke masing-masing warga yang membutuhkan. Mungkin, akibat orang yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi seperti ini untuk melakukan perbuatan jahat.
- Sektor Politik
Dalam politik yang demokratis, ada etika yang harus dijaga bersama. Dalam situasi pandemi, tak boleh ada yang bermain di air keruh, semua spektrum kepolitikan harus berorientasi politik kemanusiaan. Maka, dinamika kontestasi tak boleh berlarut dalam konflik kontraproduktif. Bukan berarti kritik dengan gampangnya diberangus, tapi negara mengarahkan gerak politik bangsa ke kebersamaan melawan Covid-19.
Paradigma dan etika politik negara demokrasi dalam pemberantasan Covid-19 berbeda dengan negara non-demokrasi. The Economist menyoroti apa yang dinilai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai ‘cara brutal’ China mengatasi wabah Covid-19 di Wuhan. Cara China memang menunjukkan kemajuan ketika Presiden Xi Jinping mengunjungi Wuhan pada pertengahan Maret lalu.
Di negara-negara demokrasi, politik pandemi tidak menunjukkan kesamaan efektivitas. Italia, misalnya. Kebijakan karantina wilayah alias lockdown tidak efektif karena pelaksanaannya tidak ketat. Pengawasan diserahkan ke masing-masing orang (self-policed), hak-hak publik juga tidak dikekang. Praktik seperti ini tidak efektif.
Efektivitas juga bergantung pada struktur dan kompetensi perlindungan kesehatan. Maka, dalam konteks ini, politik pandemi juga identik dengan infrastruktur rumah sakit dan kelengkapan medisnya secara merata dan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kini banyak negara, termasuk Indonesia, merasakan keterbatasan medis, kendati pemerintah terus berupaya menambah fasilitas. Kemudahan masyarakat mengakses fasilitas kesehatan adalah tantangan utamanya.
Tetapi, lagi-lagi pemerintah lalai dalam mengatasi pandemi ini. Di tengah-tengah situasi seperti ini, politisi di DPR masih saja membahas RUU Cipta Kerja, bukan malah memprioritaskan bagaimana pemenuhan hak warga negara di situasi pandemi seperti ini. Ditambah, Pemerintah Jokowi lagi-lagi gagal menentukan prioritas di situasi seperti ini yang korbannya terus meningkat, yakni pemerintah terus melanjutkan rencana pemindahan ibu kota. Bahkan, dalam situasi normal, proyek mercusuar itu sebenarnya tak banyak manfaatnya. Diputuskan tanpa rencana matang, termasuk sama sekali tidak pernah disinggung dalam janji kampanye Presiden Jokowi tahun lalu, pembuatan ibu kota itu jelas dilakukan sebelum jelasnya mekanisme pembiayaannya.
Pemerintah semestinya berfokus menjalankan mitigasi, sembari berharap obat dan vaksin Corona segera ditemukan. Menjadi ironis ketika pembagunan ibu kota baru diteruskan, sementara dana riset yang diperlukan buat menemukan vaksin, obat, dan pemenuhan ekonomi warga negaranya dipangkas habis.
- Sektor Hukum
Problematika payung hukum yang terjadi di Indonesia biasanya disebabkan oleh karena mandeknya proses hukum yang berjalan, dan terkadang tidak memihaknya aparat penegak hukum terhadap jalan kebenaran yang sebenarnya. Baru-baru ini ada kasus yang menimpa seorang pejuang agraria dan lingkungan hidup dari Desa Penyang, Kalimantan Tengah, bernama Hermanus yang tengah menjalani sidang kriminalisasi meninggal dunia, pada hari Minggu 26 April 2020.
Direktur Walhi, Nur Hidayati, mengatakan, meningalnya Hermanus dapat diindikasikan tidak dijalankannya hukum berdasar nilai kemanusiaan. Pasalnya, kata dia, dalam kondisi sakit dengan kursi roda pun, Hermanus tetap dipaksa mengikuti persidangan.
Nur menuturkan, permohonan penangguhan penahanan dan rawat inap di rumah sakit pun ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampit. Bahkan, majelis hakim masih tetap mengagendakan sidang lanjutan Hermanus pada Senin (27/4). Sebelum meninggal, Hermanus ditahan di ruang tahanan Polres Kotawaringin Timur yang kapasitasnya sudah overkapasitas. Kondisi itu dapat diindikasikan sebagai penyebab meninggalnya Hermanus.
Rumitnya sistem birokrasi juga sebagai faktor lain penyebab Hermanus meninggal. Berdasarkan informasi yang diumpulkan Walhi, diketahui kepolisian menghubungi keluarga dan memberitahu Hermanus dalam kondisi sakit pada Sabtu (25/4). Namun, Hermanus baru diantar ke rumah sakit pada malam hari sekitar pukul 21.00 waktu setempat. Sedangkan, cerita sel mewah dan mudahnya para koruptor mendapatkan izin berobat tentu berbanding terbalik dengan kejadian ini.
Oleh karena itu, Walhi mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung Republik Indonesia (Bawas MA-RI), Komisi Kejaksaan, Propam Polri, Kompolnas, dan istansi yang berwenang untuk memeriksa hakim, jaksa, dan polisi yang menghambat proses berobat yang dimohon oleh Hermanus dan penasehat hukumnya. Selain itu, Komnas HAM juga harus responsif menyikapi kasus tersebut. Nur menambahkan, konflik agraria merupakan akar masalah meninggalnya Hermanu. Dua terdakwa lain, James Watt dan Dilik, yang dikriminalisasi juga harus dibebaskan.
Atas meninggalnya Hermanus serta kriminalisasi dan konflik agraria antara masyarakat Desa Penyang dengan PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (perusahaan kelapa sawit), Walhi menuntut Presiden Joko Widodo untuk turun tangan. Walhi juga menuntut tanah warga harus segera dikembalikan. Sementara Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua Mahkamah Agung didesak memeriksa bawahannya yang mempersulit permohonan berobat yang diajukan mendiang Hermanus dan penasehat hukumnya.
- Sektor Buruh
Di saat pandemi ini masih berlangsung, dan di tengah-tengah situasi pandemi Covid-19 seperti ini, DPR masih saja sempat membahas tentang RUU Cipta Kerja, yang dimana RUU sapu jagat ini berpotensi bukan hanya menyuburkan berbagai jenis virus, khususnya Covid-19 di satu pihak, tetapi di lain pihak juga memperparah kerentanan buruh di situasi seperti ini. Bisa kita teliti bahwa negara saat ini tidak terlihat serius untuk menangani wabah Covid-19 di negeri ini. Mereka cenderung memihak dan memberikan karpet merah kepada investor dan borjuasi-borjuasi besar lainnya. Pada sisi lain juga, negara saat ini sudah banyak mengorbankan kepentingan rakyat, perlindungan lingkungan, dan hak asasi manusia (HAM).
Sehubungan dengan ini, Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menaker No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Penanganan penyebaran Covid-19 di lingkungan kerja menjadi perhatian pemerintah, setelah sebelumnya pemerintah pusat dan daerah menerbitkan edaran yang intinya mengimbau masyarakat agar menghindari kerumunan dan kegiatan berkumpul serta berkerja dari rumah. Guna memperkuat upaya tersebut, Menteri Ketenagakerjaan mengimbau gubernur untuk melaksanakan perlindungan pengupahan bagi pekerja/buruh terkait pandemi Covid-19, sekaligus pencegahan penyebaran dan penanganan Covid-19 di lingkungan kerja.
Pengacara publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, mendesak pemerintah serius melindungi buruh di tengah pandemi Covid-19. SE Menaker di atas layak dicabut karena bertentangan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan merupakan bentuk lepas tangan pemerintah dalam melindungi buruh/pekerja dalam hal keselamatan kerja dan pengupahan.
Nelson menyoroti sedikitnya 3 hal terkait edaran ini. Pertama, meskipun sudah mencantumkan hak-hak buruh apabila terinfeksi atau diduga terinfeksi Covid-19, SE cacat hukum oleh karena tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara hukum, SE sifatnya hanya mengikat internal pemerintah saja, sehingga tidak ada kewajiban bagi pengusaha maupun perusahaan untuk mengikuti SE tersebut. Lalu, Nelson menuturkan, juga sangat tidak masuk akal apabila pengawasan diserahkan kepada gubernur, karena selama ini gubernur beserta dinas di bawahnya juga terkenal sangat lembek dan ‘toleran’ terhadap pengusaha dalam hal pelanggaran hak buruh/pekerja.
Kedua, Nelson melihat SE itu tidak mewajibkan pengusaha untuk menyediakan kelengkapan alat K3 untuk pencegahan Covid-19, seperti masker, sarana cuci tangan, maupun sarana pencegahan penularan Covid-19 lainnya. Akibatnya, buruh harus melengkapi alat K3 secara mandiri, padahal Pasal 14 huruf c UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja menjelaskan alat-alat kelengkapan keselamatan tersebut merupakan tanggung jawab dari perusahaan. Selain itu, pemeriksaan kesehatan di lingkungan perusahaan juga harus dilakukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
Ketiga, dalam poin II angka 4, SE mengatur apabila perusahaan melakukan pembatasan kegiatan usaha dan menyebabkan buruh/pekerja tidak masuk kerja, maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah dilakukan dengan kesepakatan pengusaha dengan buruh/pekerja.
Menurut Nelson, imbauan itu bertentangan dengan mekanisme pengupahan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dia memberi contoh dalam mekanisme penangguhan upah minimum ada mekanisme penangguhan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar sesuai ketentuan. Pengusaha itu harus membuktikan bahwa tidak sanggup melalui laporan keuangan dan diajukan untuk disetujui gubernur dengan pertimbangan Dewan Pengupahan.
Salah satu langkah yang diambil oleh pemilik perusahaan pada saat situasi seperti ini yaitu mem-PHK pekerja/buruh besar-besaran akibat Pandemi Covid-19. Ini adalah salah satu kebusukan akal yang dimiliki oleh pengusaha bersamaan dengan pemerintah untuk menunjukan sosoknya dalam keberpihakan terhadap investor dan oligarki.
Kepastian hukum bagi investasi dibarengi dengan upaya penghilangan kepastian hidup layak dan perlindungan kerja terhadap kaum pekerja/buruh. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah dengan bangga mengumumkan konsep ‘easy hiring-easy firing‘ atau ‘mudah rekrut, mudah pecat’ dalam RUU Cilaka untuk menggenjot investasi.
Penerapan konsep tersebut muncul dalam RUU Cipta Kerja, tepatnya dalam pasal tentang jam kerja yang semakin panjang, tidak ada batasan waktu untuk memberlakukan kerja kontrak dan outsourcing, pemutusan hubungan kerja yang dipermudah, pengurangan yang masif terhadap pesangon, perluasan jenis pekerjaan kontrak-outsourcing, perhitungan upah berdasarkan jam kerja, dan lainnya. Pemerintah juga memanjakan para pengusaha dengan menghapus UMK dan UMSK, serta penghapusan sanksi pidana perburuhan dan menggantinya dengan sanksi perdata berupa denda dan sanksi administrasi.
Pekerja muda dan calon pekerja yang saat ini masih duduk di bangku sekolah maupun perguruan tinggi juga akan merasakan dampak buruk RUU Cilaka. Dalam kondisi pasar tenaga kerja fleksibel yang terus diperluas, para pekerja muda dan calon pekerja tidak akan memiliki jaminan kerja (job security) karena sewaktu-waktu dapat dipecat dengan mudah dan murah. Status kerja kontrak dan outsourcing akan terus menjadi belenggu bagi pekerja dan generasi muda calon pekerja. Kondisi ini memperparah nasib para pekerja muda dan calon pekerja hari ini yang kerap dieksploitasi keringatnya menggunakan aturan tentang pemagangan yang membuat mereka menerima upah jauh dari layak.
Penulis : Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) 2020
Editor : Thoby/BU