Bidikutama.com — Korupsi merupakan salah satu dari sekian banyak catatan buruk bagi perjalanan pembangunan negara, berdasarkan data CPI (Corruption Perception Index) pada Tahun 2022 Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara. Data CPI tersebut menandakan bahwasanya Indonesia berada dalam peringkat ke-110 negara terkorup di dunia. (4/4)
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, menyatakan bahwa kasus korupsi yang ditemukan oleh KPK per 11 September 2023 terdapat 1.462 kasus. Pencapaian ini cukup memalukan sekaligus memilukan harkat dan martabat bangsa Indonesia, apabila korupsi terus merajalela dan tidak bisa dihentikan, maka selamanya bangsa Indonesia akan hidup dalam bayang-bayang kemiskinan bahkan bisa sampai pada momen kehancuran.
Indonesia telah mempunyai mekanisme pemberantasan korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ditambah dengan dibentuknya KPK melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015) yang diharapkan dapat memberantas korupsi di Indonesia secara optimal. Namun pada faktanya tindak pidana korupsi masih saja sering dilakukan oleh para pejabat negara, bahkan yang paling memilukan adalah dimana ketua KPK yakni Firli Bahuri yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, justru tertangkap melakukan tindak pidana pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, yang menjadi tersangka dalam kasus gratifikasi dan pemerasan.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan korupsi, menurut teori model cost-benefit korupsi itu terjadi apabila manfaat dari korupsi lebih besar dibandingkan dengan risiko hukuman yang akan didapatkanya. Kurang kerasnya ancaman hukuman yang ada dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dinilai menyumbang nyali bagi para pejabat pemerintahan yang ingin melakukan korupsi. Pencantuman hukuman mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk dapat menjadikan hukum pidana sebagai sumber ketakutan yang dapat menekan psikologi (Psychologischezwang) para pejabat yang ingin melakukan korupsi. Hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi telah tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (2), namun yang sangat disayangkan adalah hukuman mati tersebut baru dapat dilakukan apabila terdapat keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksud Pasal 2 ayat (2) tersebut adalah apabila korpusi dilakukan dalam keadaan bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis moneter.
Redaksi ancaman hukuman mati dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi haruslah diubah, dikarenakan apabila hukuman mati hanya dijatuhi pada keadaan tertentu maka sejatinya korupsi akan terus berjalan karena ringannya hukuman yang diberikan tidak sepadan dengan akibat yang ditimbulkan. Kebanyakan masyarakat di Indonesia memandang bahwasanya koruptor haruslah dihukum mati, karena perbuatan yang dilakukanya berdampak luas bagi pembangunan negara. Namun patut disayangkan hal tersebut tidak dapat terealisasi dengan baik dikarenakan tidak adanya keberanian atau political-will dari para pembentuk Undang-Undang untuk mencantumkan hukuman mati yang tegas dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan seringkali adanya pro-kontra antara Abolitionist dan Retentionist yang mengakibatkan pencantuman hukuman mati dalam hukum pidana menjadi lemah.
Padahal apabila seluruh legislator paham atau mengenal sejarah kepribadian bangsa Indonesia dari nenek moyang terdahulu, hukuman mati merupakan hukuman yang memang sesuai dengan semangat kebangsaan bangsa Indonesia. Banyak sekali kerajaan di Nusantara pada zaman dahulu yang telah menanamkan benih sikap anti korupsi bagi rakyat dan lingkungan kekuasaannya, salah satunya adalah kerajaan Kalingga. Kerajaan Kalingga merupakan kejaraan yang berada di sebelah Pantai Utara, Jawa Tengah, sosok raja yang terkenal di kerajaan Kalingga adalah ratu Sima yang sangat tegas dan terlihat sadis namun dicintai rakyatnya. Ketegasan beliau bisa dilihat dalam sebuah kisah dimana ia dengan tegasnya memotong bagian tubuh anaknya sendiri karena telah melakukan pencurian.
Selain kerajaan Kalingga terdapat kerajaan lain yang dikenal sebagai kerajaan yang amat berpengaruh di Indonesia, yakni kerajaan Majapahit. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara yang memiliki berbagai keunggulan seperti sistem pemerintahanya yang teratur, alamnya yang subur, armada lautnya yang kuat, dan sektor perdaganganya yang maju. Namun di lain sisi, Majapahit juga diketahui mempunyai kitab hukum yakni kitab Kutaramanawa Dharmasastra, kitab ini mengatur hukum pidana dan perdata. Terdapat suatu Pasal yang unik yang tercantum didalam kitab Kutaramanawa Dharmasastra yang membahas terkait hukuman mati bagi para koruptor, hukuman mati ini tercantum dalam Pasal 6 yang berbunyi:
“Hamba raja, meski ia menteri sekalipun, jika menjalankan dusta, supaya diperlakukan sebagai penjahat. Jika melakukan corah (pencurian), perbuatannya mengikuti perbuatan pencuri,”
“Karena memang perbuatan dusta, tatayi dan pencurian, ketiga kejahatan itu dikenakan pidana mati. Demikianlah bunyi undang-undang yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa,”
Bahkan tak hanya itu, seluruh harta kekayaan pelaku korupsi disita oleh kerajaan beserta anak dan istrinya dijadikan budak. Bukti sejarah kedua kerajaan ini menandakan betapa anti korupsinya nenek moyang kita yang seharusnya dapat kita tiru. Melalui peraturan yang sanksinya amat kejam dapat menciptakan ketakutan bagi seluruh pejabat pemerintahan yang ingin melakukan tindak pidana korupsi sehingga pembangunan negara disegala bidang dapat berjalan dengan baik. Jika dihubungkan dengan kondisi Indonesia sekarang, terdapat perbedaan yang amat sangat drastis dimana dulunya bangsa Indonesia memiliki budaya anti korupsi pada zaman kerajaan, namun di zaman demokrasi sekarang ini justru Indonesia menjadi negara yang tingkat korupsinya tinggi. Kondisi ini merupakan sebuah kemunduran bagi peradaban bangsa Indonesia.
Relevansi antara sejarah kebudayaan dan hukum memiliki ikatan yang amat sangat kuat, menurut seorang yuris Jerman bernama Karl Von Savigny yang pokok pikirannya berintikan bahwa hukum senantiasa tumbuh bersama masyarakat, sesuai dengan kebudayaan masyarakat tersebut, ia merupakan tokoh yang sangat menekankan pentingnya kajian historis terhadap hukum. Savigny dikenal dengan kritiknya terhadap Anthony Friedrich Justus Tibhaut terkait usulanya untuk mengkodifikasi hukum pasca perang-perang Napoleon di Eropa sesuai dengan Kode Napoleon. Terdapat sebuah istilah yang amat terkenal di kalangan Sarjana Hukum, istilah yang diciptakan oleh Savigny seorang yakni Volkgeist yang berarti jiwa bangsa. Savigny mengibaratkan hukum seperti bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam relasi kebangsaan dan menjadi milik bersama dan juga kesadaran bersama. Hukum didasarkan pada karakter kebangsaan dan jiwa bangsa yang bersangkutan. Tidak boleh ada hukum yang dibuat secara serampangan, hukum harus dibentuk berdasarkan semangat kebangsaan dan sejarah suatu bangsa. Savigny juga merupakan seorang tokoh yang menentang adanya universalisme hukum, baginya tidak ada hukum yang bersifat universal sama layaknya bahasa, tak ada bahasa yang bersifat universal. Semua pasti akan kembali kepada suatu titik relativitas tertentu. Relativitas versi Savigny secara otomatis telah menolak argumentasi hukum kodrat yang bersifat absolut.
Jika sejarah hukuman mati bagi koruptor di Indonesia zaman kerajaan dihubungkan dengan pemikiran Savigny, terdapat titik temu yang amat sangat brilian bahwa bangsa Indonesia memiliki sejarah hebat dalam memberantas dan menindak koruptor. Seharusnya keterhubungan ini dapat menjadi alasan ataupun legitimasi bagi para legislator untuk dapat membentuk Pasal hukuman mati dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang lebih tegas tanpa perlu adanya keadaan tertentu sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang ini.
Adapun rekomendasi yang penulis berikan terhadap perubahan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi seharusnya redaksinya dirubah, frasa “keadaan tertentu” dirubah dengan minimal dana yang dapat mengakibatkan seorang koruptor dihukum mati, contohnya apabila seseorang melakukan korupsi di atas Rp.10.000.000.000-, maka ancaman hukumannya adalah mati tanpa kompromi. Sekiranya dengan ancaman hukuman yang jelas dan keras akan menyebabkan seorang pejabat pemerintahan berpikir dua kali untuk korupsi sehingga pemerintahan yang bersih dan kredibel dapat melekat pada kuping dan pikiran masyarakat Indonesia, dengan ini barulah dapat dicapai Indonesia yang bersih dari kejahatan korupsi.
Penulis : Dio Fachmi Rachmawan/Mahasiswa Fakultas Hukum Untirta
Editor : Adzika/BU