Bidikutama.com – Salah satu topik yang kerap kali menimbulkan debat kusir saat dibahas dalam suatu perbincangan adalah kesetaraan gender. Mungkin topik ini bisa kita bandingkan dengan topik “bolehkah orang muslim mengucapkan selamat Natal?” yang kerap kali jadi topik langganan tiap tahunnya menjelang hari raya Natal pada 25 Desember dan tahun baru.
Hal ini menunjukan bahwa memang tidak semua orang ingin dan paham terkait apa itu kesetaraan gender. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita masih akan tetap menemui orang yang berpandangan bahwa jenis gender hanya ada dua, yaitu laki-laki dan perempuan saja dan kedua jenis gender tersebut sudah memiliki peran serta kedudukannya masing-masing. Akibatnya, keduanya tidak akan pernah setara sampai kapanpun.
Pandangan ini tentunya lahir dari kepercayaan moral subjektif yang kerap kali kita tambahkan pada pengertian gender itu sendiri. Padahal gender merupakan ranah empiris yang tentunya terbebas dari nilai-nilai moral apapun, tapi kebiasaan kita menempelkan pandangan moral pada suatu hal yang empiris, yaitu suatu hal yang bisa dibuktikan kebenarannya secara saintifik, membuat kita tidak objektif dalam menilai dan memandang suatu hal sedangkan ranah moral adalah ranah kepercayaan yang subjektif. Artinya tidak semua orang punya pandangan moral yang sama. Inilah titik yang menurut penulis merupakan masalah utama dari diskriminasi gender tertentu.
Gender dalam pengertian umum yang kita ketahui adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Karena dibentuk oleh sosial dan budaya setempat, maka gender tidak berlaku selamanya tergantung kepada waktu (tren) dan tempatnya. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Sedangkan jika kita melihat dari kacamata ilmu biologi modern, apa yang dimaksud dengan gender adalah suatu perasaan identitas diri, berbeda dengan jenis kelamin.
Ada kalanya seseorang berjenis kelamin laki-laki tetapi gendernya perempuan. Ada kalanya juga seseorang berjenis kelamin perempuan tetapi bergender maskulin. Fakta saintifiknya adalah bahwa kita tumbuh dan berkembang dengan struktur otak yang penampakan fisiknya seolah-olah sama, namun secara alamiah otak laki-laki dan perempuan memang bekerja secara berbeda.
Dahulu, para dokter dan saintis bahkan orang awam beranggapan bahwa secara budaya, gender terbentuk pada manusia saja dan tidak pada binatang non-manusia. Itu dulu, sekarang beda lagi. Dunia sains saat ini sudah mengetahui bahwa otak hewan jantan dan betina mulai berkembang dengan cara berbeda sejak masa janin di dalam rahim. Tapi hal yang selalu diajarkan di sekolah, tetap saja bahwa bagi manusia, perbedaan utama gender adalah karena cara orang tua membesarkan anaknya. Barangkali hal ini dikarenakan masih ada perasaan tidak nyaman mengakui bahwa manusia adalah anggota keluarga besar Kingdom of Animalia.
Sebenarnya sudah cukup lama saintis tahu bahwa hal itu tidaklah sepenuhnya benar, perkembangan otak manusia ternyata sama dengan hewan yang lain dalam urusan gender ini. Kini kita dapat melihat bahwa apa yang disebut gender tidaklah se-simple yang kita pikirkan, Gender bukanlah hal yang bisa dikelompokkan secara dikotomis seperti hitam dan putih, tapi merupakan spektrum seperti abu-abu yang berada di antara dua kutub ekstrem hitam dan ekstrem putih, karena tidak sesederhana itu. Kita bisa menemukan individu yang apabila kita lihat sepintas dari alat kelaminnya tampaknya dia adalah laki-laki. Misalnya kita lihat jelas-jelas dia punya penis, ternyata dia juga punya uterus (rahim).
Dalam pandangan awam pun kita lumrah menemui anggapan bahwa individu yang berjenis kelamin laki-laki, gendernya tentu maskulin dan arah orientasi seksualnya kepada perempuan. Dan orang yang berjenis kelamin perempuan, gendernya pasti feminin dan orientasi seksualnya tentulah ke laki- laki. Dalam ilmu biologi modern, anggapan ini tidak benar, karena faktanya memang tidak demikian. Kita tentunya sangat sering menemui dalam kehidupan sehari-hari, atau bahkan teman kita sendiri yang jenis kelaminnya laki-laki, gendernya feminin, dan orientasi seksualnya ke perempuan. Laki-laki seperti ini tindak tanduknya bisa sangat kemayu (feminin), tapi dia berkeluarga dan punya anak seperti orang kebanyakan. Kemudian ada juga orang yang jenis kelaminnya laki-laki, gendernya maskulin, dan orientasi seksualnya ke laki- laki.
Kini kita tau bahwa gender bukanlah hal yang dapat disimpulkan dengan mudah bahwa Gender hanya terdiri dari Pria yang maskulin dan wanita yang feminim saja, tetapi lebih luas, tidak hanya dikotomis melainkan spektrum yang tidak terhitung jumlahnya. Kita kerap melakukan dikotomis terhadap suatu hal dan melihatnya hanya sekedar hitam putih saja karena itu lebih mudah kita pahami dibandingkan mendalami dan mempelajari suatu hal yang memiliki banyak kemungkinan yang terkadang sulit jika hanya kita hitung dengan jari. Kita memang harus mengakui bahwa sebagai manusia kita memang lebih mudah menerima sebuah fakta yang sesuai moral kita dibanding fakta yang bertolak belakang dengan moral kita tapi merupakan fakta yang sesuai dengan realita yang telah diuji secara saintifik.
Problematika yang sering dibahas juga gencar diperjuangkan adalah terkait budaya patriarki yang kerap meminggirkan perempuan dalam berbagai peran dan tingkatan. Hal ini merupakan perjuangan yang benar dan tidak salah. Merupakan kewajiban bagi generasi masa kini yang sudah “tercerahkan” untuk meruntuhkan hegemoni patriarki yang sudah mengakar dalam budaya kita. Tapi dalam bahasan kali ini penulis merasa perlu untuk menyuarakan kesetaraan gender kelompok marjinal yang juga sering dilupakan sampai dikucilkan.
Diskusi terkait kesetaraan gender memang lebih sering membahas soal perbedaan peran yang timpang antara perempuan dan laki-laki saja, sehingga melupakan kaum-kaum marjinal yang sebenarnya tidak tepat jika hanya kita sebut laki-laki atau perempuan. Kita kerap mem-bully kawan kita yang agak kemayu tapi berjenis kelamin laki-laki dengan sebutan tidak jantan atau kawan kita yang berjenis kelamin perempuan tapi tomboi dengan sebutan “perempuan kok kaya cowo”. Pembagian peran yang kerap “meminggirkan” mereka dari kegiatan-kegiatan di masyarakat juga merupakan diskriminasi nyata yang kita hadapi. Gender merupakan hal yang bersifat intstingtif atau mudahnya adalah hal yang tidak bisa kita pilih tapi merupakan bawaan biologis sehingga sangatlah tidak adil jika bersikap diskriminatif.
Sejak 15 Oktober 1973, College of Psychiatry Federal Council Australia and New Zealand telah mengumumkan homoseksualitas bukanlah penyakit jiwa. Ini merupakan deklarasi pertama yang kemudian memicu deklarasi-deklarasi lainnya. Puncaknya, tahun 1987, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) mencoret homoseksualitas dari daftar Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM). Pada 25 Mei 2019, WHO (World Health Organization -red) menyetujui pembaruan untuk menghapus transgender dari kategori penyakit jiwa di ICD-11, sebuah manual yang digunakan secara global untuk mendiagnosis penyakit jiwa.
Dengan bukti-bukti yang sudah disebutkan tadi semestinya sudah dapat menjadi dasar bahwa masyarakat marjinal yang kerap terpinggirkan tidak seharusnya kita singkirkan dengan dalih mereka melakukan penyimpangan atau menyalahi kodrat. Kita harusnya tidak diam dalam ketidaktahuan akan suatu hal dan berdiam diri menerima alasan-alasan yang kuno tentang hal tertentu. Kita juga sudah seharusnya dapat membedakan mana ranah moral yang subjektif dan mana ranah empiris yang merupakan realitas. Dengan perkembangan sains yang sudah dapat menjelaskan berbagai fenomena yang dulu tidak diketahui seharusnya jadi pelecut bagi kita agar merubah pola pikir terhadap suatu permasalahan yang kerap berbenturan dengan ranah moral.
Mau belajar dan terus skeptis terhadap suatu permasalahan merupakan cara satu-satunya agar kita dapat merevisi pengetahuan kita yang salah yang kemudian membuat kita tercerahkan. Dengan begitu kita dapat menjadi manusia yang lebih ber-empati dan tidak membenturkan ranah moral subjektif dengan realitas objektif.
Bunda Mayora seorang transpuan yang menjadi pejabat publik pertama di Indonesia pernah berkata “Gender merupakan apa yang kita rasa,” bunda Mayora merupakan contoh bahwa semua gender berhak punya tempat di masyarakat. Karna gender merupakan spektrum, bukan suatu hal yang dikotomis. Jika kita sebagai manusia masih belum terbuka pada ilmu pengetahuan dan sulit melihat mana realitas objektif dan subyektif. Kesetaraan Gender dan hak-hak kaum marjinal sebagai manusia untuk dianggap setara akan selalu jadi Utopia. hanya jadi angan angan di mana dunia dapat menerima perbedaan tanpa membenturkan moralitas subyektif nya. Menjadi perubah dan penggebrak budaya salah akan lebih sulit dari pada hanya sekedar menjadi penerus.
Living systems are made of the same chemical elements that make up the rest of the universe, running according to physical principles. Life origin is no longer a mystery of a kind that might make us believe that some extra substance generates the living world.
Penulis : R. Audindra Kusuma/Mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta)
Editor : Hafidzha/BU