DPR dalam rapat paripurna beberapa waktu yang lalu pada akhirnya memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan dipilih oleh DPRD. Meskipun keputusan ini masih memiliki peluang konstitusional untuk diajukan ke MK melalui judicial review, namun peluang untuk ditolak di MK tetap ada. Artinya bahwa ketika RUU Pilkada ditolak oleh MK pada akhirnya akan dilaksanakan, karena sudah menjadi produk hukum yang syah dan harus diikuti oleh semua daerah baik pilkada gubernur maupun pilkada kabupaten/kota.
Menilik ke belakang khususnya perjuangan para pejuang dan tokoh reformasi sekitar 15 tahun yang lalu, maka keputusan ini dinilai setback dan sangat mencederai semangat reformasi. Konsolidasi demokrasi yang selama ini kita bangun dengan susah payah menjadi buyar. Spirit reformasi yang kita perjuangkan salah satunya pemilihan langsung mulai dari pemilihan presiden, gubernur, sampai dengan bupati/walikota, di samping munculnya lembaga Negara baru. Pemilu melalui perwakilan dinilai tidak memenuhi aspirasi rakyat, ditandai dengan munculnya perilaku korup baik yang terjadi pada pejabat di tingkat pusat sampai dengan pemerintah daerah. Dengan adanya keputusan pilkada melalui DPRD tersebut tatanan demokrasi dan reformasi kita menjadi hancur, sehingga kita kembali lagi kepada jaman new otoritarianisme dengan wajah yang berbeda, khususnya di tingkat pemerintahan daerah.
Kalau di era orde baru kekuasaan terpusat kepada eksekutif, maka dengan lahirnya UU pilkada melalui DPRD akan melahirkan kekuasaan yang terpusat pada legislative (legislative heavy). Kondisi ini setidaknya juga mengganggu terhadap sistem presidensial yang kita anut saat ini. Karena melalui pilkada oleh DPRD ini, aroma “cita rasa” sistem parlementer sangat terasa. Artinya bahwa implementasi sistem presidensial kita akan “banci” dikarenakan semua kebijakan Negara, khususnya pemerintahan daerah akan disetir oleh parlemen. Bukan tidak mungkin UU pilkada merupakan test case untuk mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR.
Secara prinsip yang sangat kita khawatirkan adalah pilkada melalui DPRD akan memunculkan intervensi partai politik begitu sangat kuatnya tidak saja dalam menentukan kepala daerahnya melainkan juga semua kebijakan strategis, penentuan pejabat – pejabat strategis di lingkungan pemerintah daerah juga ikut terancam oleh intervensi partai, atau yang kita sebut sebagai parpolisasi pemerintahan daerah. Kita semua tahu bahwa DPRD merupakan perpanjangan dari kepentingan politik partai, tidak saja partai politik di tingkat daerah melainkan kekuasaan DPP dari parpol itu sendiri. Hal yang tidak pernah dibayangkan oleh kita bahwa penentuan kepala daerah serta beberapa pengambilan kebijakan strategis di daerah di intervensi oleh DPP partai politik di tingkat pusat. Inilah sistem partitokrasi (kekuasaan yang dikuasai oleh partai) yang dikhawatirkan akan terjadi selama UU pilkada tersebut diserahkan kepada DPRD itu.
Bagi kepala daerah yang terpilih tentunya tidak memiliki tanggung jawab politik kepada rakyatnya di daerah melainkan tanggung jawab politiknya kepada DPRD yang nobenenya kepada partai politik atau gabungan partai politik yang mengusungnya. Artinya bahwa pilkada melalui DPRD akan memutus hubungan politik antara kepala daerah dengan rakyatnya di daerahnya. Rakyat di daerah hanya akan menjadi penonton ketika daerah ingin memilih pemimpinnya. Dan rakyat di daerah juga tidak memiliki akses politik politik ketika beberapa kebijakan strategis di daerah diintervensi oleh kepentingan politik DPRD. Rakyat di daerah tidak akan pernah bermimpi untuk memiliki kepala daerah yang sangat dekat dengan rakyatnya. Hal lainnya bahwa rakyat di daerah juga akan sangat sulit mendapatkan program atau kebijakan pemerintah daerah yang pro rakyat dan populis. Inilah sebenarnya bahayanya parpolisasi pemerintahan daerah sebagai pengejawantahan dari pilkada yang dipilih oleh DPRD tersebut.
Saham politik yang diberikan oleh DPRD kepada kepala daerah bernilai sangat strategis. Artinya bahwa keterpilihan politik kepala daerah tersebut memiliki arti bahwa DPRD memiliki akses yang luas dalam mengatur “rumah tangga” pemerintah daerah tersebut. Beberapa proyek strategis di daerah dikhawatirkan akan dikuasai oleh kepentingan politik DPRD. Begitu besarnya dampak negatif pilkada melalui DPRD yang akan sangat mengganggu terhadap jalannya pemerintahan di daerah. Hal tersebut tentunya sangatlah tidak sebanding dengan asumsi biaya politik yang sangat mahal yang dituduhkan apabila kita melakukan pilkada langsung. Artinya bahwa pilkada melalui DPRD akan banyak mengorbankan pemerintahan daerah selama 5 (lima) tahun perjalanan pemerintahan daerah tersebut.
Matinya Aspirasi Rakyat Daerah
Pemilihan kepala daerah melalui DPRD secara otomatis mematikan aspirasi rakyat di daerah. Mengapa demikian ?. Pemilihan kepala daerah sejatinya membangun hubungan psikologis dan politis yang sangat dekat antara rakyat dan pemimpinnya. Karena orientasi kepala daerah kepada kepentingan rakyat di daerahnya, maka secara tidak langsung apa yang menjadi aspirasi dan gejolak yang terjadi di masyarakat di daerah akan selalu didengar dan diterjemahkan secara langsung oleh kepala daerahnya. Meskipun sebagian kalangan menganggap bahwa perilaku kepala daerah tersebut dianggap sebagai pencitraan politik, namun rakyat akan menikmati program dan kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerahnya tersebut.
Sedangkan pilkada melalui DPRD tidak mampu menghasilkan perilaku yang sedemikian dekat antara kepala daerah dengan rakyatnya di daerah. Kepala daerah akan memposisikan dirinya sebagai “wakil DPRD” atau “wakil parpol” yang kebijakannya tersebut akan selalu dikendalikan oleh DPRD dan parpol atau gabungan parpol tertentu. Pencitraan yang dilakukannya bukan untuk mencari simpatik rakyat di daerah melainkan hanya mencari simpatik para anggota dewan.
DPRD dan parpol saat ini menempati posisi politik yang sangat eksklusif dari rakyatnya. Terdapat jarak yang besar antara rakyat dengan DPRD, dengan demikian dapat dipastikan bahwa kepala daerah yang dihasilkan merupakan produk eksklusif hasil tawar menawar politik (political sharing) antara calon kepala daerah, DPRD sendiri, dan parpol pendukung. Dengan demikian partai politik memiliki posisi politik yang sangat tinggi dan mahal, artinya saat ini tidak mudah seorang bakal calon (balon) kepala daerah mendapatkan tiket untuk menjadi calon kepala daerah. Dalam posisi seperti ini parpol akan melakukan politik “jual mahal” bagi seseorang untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Tentu saja “mahar politik” atau “gizi politik” sangat menentukan keterpilihan seseorang menjadi kepala daerah. Besar kecilnya “mahar politik” tersebut bisa jadi lebih besar dibandingkan dengan biaya politik dalam pilkada langsung. Sangat sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa pilkada melalui DPRD tidak ada transaksi politik, melainkan bahwa pilkada melalui DPRD akan sarat dengan transaksi politik.
Sebagai penutup dalam tulisan ini bahwa demokrasi dan otonomi daerah menjadi roh yang sangat kuat agar terdapat keterlibatan langsung rakyatnya dalam menentukan kepala daerah. Ukuran yang nyata keterlibatan rakyat dalam partisipasi politik dan otonomi daerah salah satunya melalui pilkada secara langsung. Sedangkan pilkada melalui DPRD sangat tidak sesuai dengan spirit demokratisasi dan otonomi di daerah.
Dr. Agus Sjafari, M.Si
Pengamat Sosial dan Pemerintahan; Peneliti di The Community Development Institute (CDI)
Dosen FISIP Untirta