Bidikutama.com – Penanganan kekerasan seksual bisa terhambat karena beberapa hal yakni, belum adanya peraturan yang komprehensif untuk menjadi pedoman. Selain itu, pihak penegak hukum yang belum sepenuhnya memiliki perspektif korban juga disebut sebagai kendala penanganan. (29/7)
Hal ini disampaikan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Banten, Mumtahanah, dalam acara diskusi publik Puan Kelana: Urgensi Perlindungan Hukum Dalam Mencegah dan Menangani Kasus Kekerasan Seksual.
“Pihak korban (kekerasan seksual) selalu berfikir (yang dialaminya) ini adalah aib dan korban merasa dirinya selalu tidak dilindungi, bahkan korban takut dirinya dijadikan tersangka,” ujar Mumtahanah.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Ika Arinia Indriyany, menyampaikan, tiga tahun dari tahun 2017 hingga 2019, kasus kekerasan seksual selalu meningkat.
“Tidak ada payung hukum yang benar-benar melindungi korban (kekerasan seksual),” katanya.
Menurutnya, ini juga salah satu imbas, lantaran perempuan yang membahas kesetaraan gender, sering dianggap tabu.
“Padahal perempuan harus paham bagaimana kemudian harus mengadvokasi diri mereka sendiri,” terang Ika.
“Dalam kesetaraan gender perempuan dan laki-laki punya akses yang sama dalam pembangunan dan sumber daya yang ada,” sambungnya.
Dari perspektif mahasiswa, Selvi Sulistiani, menambahkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. Menurutnya, kampus belum bisa jadi ranah yang aman dari kekerasan seksual.
“Seharusnya kampus itu bisa memasifkan gerakan mahasiswa melawan pelecahan seksual dan kekerasan seksual, (kita perlu) mendorong kampus membuat unit pelayanan pengaduan.
Melindungi nama kampus itu seharusnya melindungi korban bukan melindungi pelaku,” tandasnya.
Reporter : Hanum/BU
Penulis : Vira/BU
Editor : Hafidzha/BU