Bidikutama.com – Kasus Non-Consensual Intimate Images Violence (NCII) yang beberapa waktu lalu dilakukan oleh salah satu oknum mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) menuai banyak kontroversi, salah satunya adalah penanganan kasus yang baru ditangani dengan benar dan kerap baru mendapatkan keadilan saat viral. Fenomena ini marak terjadi di Indonesia dan dikenal dengan istilah “No Viral No Justice”. (7/7)
Sivitas akademik Untirta, yakni Dosen Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), Ikhsan Ahmad memberikan pandangannya terhadap fenomena ‘No Viral No Justice’ tersebut. Menurutnya, fenomena tersebut merupakan hal yang salah karena melanggar keadilan.
“Nggak viral nggak diproses itu salah, karena keadilan itu mengandung satu konsepsi pengertian pemahaman yang berlaku untuk semua, sehingga tidak boleh tergantung dari viral atau nggak viral,” ujarnya.
Ia juga menyinggung saat ini eksistensi politisi terganti oleh media sosial yang bisa lebih dipercaya sebagai tempat menyuarakan keadilan. Namun, peran sosial media tak selamanya bisa mewujudkan tuntutan.
“Adanya media sosial sekarang dipercaya memiliki kekuatan untuk menyuarakan semua hal untuk mendapat perhatian publik. Tetapi tidak semua tuntutan bisa diproses, karena para politisi sekarang lebih punya kapasitas dalam memainkan seperti punya kemampuan untuk membayar penggunaan media sosia. Persoalannya sekarang apakah yang dilakukan kekuasaan atau masyarakat itu punya ukuran terhadap kebenaran atau budaya yang diterima oleh masyarakat, disitu letaknya potensi viralnya disitu. Jadi kalau hal yang bertentangan itu akan lebih banyak tidak diterima tapi kalau misalkan mendekati kebenaran akan lebih banyak diterima.” ujarnya.
Dengan adanya kekuatan sosial media tadi menjadi sindiran keras terhadap lembaga hukum. Namun, sosial media juga memiliki kelemahan dan risiko dimana konten yang viral tidak selalu akurat serta dapat menjadi tempat untuk penyebaran kebencian, pelecehan, dan berbagai bentuk perilaku negatif lainnya.
“No Viral No Justite itu salah, karena itu sebuah sindiran terhadap lembaga yudikatif, peradilan, perangkat hukum. Jadi satu kekacauan yang berpikir yang kemudian melahirkan istilah itu,” ujarnya.
Ikhsan mengungkapkan fenomena “No Viral No Justice ini” muncul akibat turunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Ia juga berpendapat kabar yang viral untuk mendapatkan keadilan karena lemahnya kepercayaan keapda aparat penegak hukum pada media sosial perlu dikasi lebih dalam kebenarannya.
“Masyarakat itu lebih memilih percaya pada media sosial dibandingkan polisi karena memang trust pada polisi saat ini sedang turun, sekarang media sosial menjadi bagian terpercaya itu juga harus diukur dari saintifik apakah bisa menjadi fakta, apakah bisa menjadi data, karena sering sekali media sosial juga hanya memiliki cuplikan-cuplikan tidak menjadi proses yang utuh dari sebuah peristiwa,” ungkapnya.
Selain itu, Mengaitkan permasalahan NCII yang beberapa waktu lalu terjadi dan melibatkan mahasiswa Untirta, Presiden Mahasiswa (Presma) Untirta ikut memberikan pandangannya, menurutnya “No Viral No Justice” merupakan fernomena yang terjadi akibat penanganan dalam mencari kedilan yang stuck. Sehinga masyarakat menjadikan media sosial sebagai jalan keluar.
“Kita sama-sama paham di era digitalisasi hari ini semua bisa diakses masyarakat umum, oleh karena itu ketika kita stuck dalam penanganan ataupun stuck soal keadilan, propaganda medialah yang akhirnya menjadi corong utama untuk mencari keadilan tersebut. Makanya banyak yang bilang no justice adalah nyata. Dan akhirnya hari ini atensi publik dan birokrat-birokrat yang ada di kampus, birokrat-birokrat yang ada di daerah ataupun nasional baru bisa melihat kronologi dan juga kasus-kasus yang secara penanganannya lambat kemudian secara penanganannya kurang berpihak kepada korban, ya dengan jalur viral lah akhirnya kita bisa coba untuk mencari atensi publik untuk sama-sama mendorong keadilan korban tersebut,” ujarnya
Salah satu mahasiswa Untirta jurusan Agribisnis, Syifa, juga memberikan tanggapan terkait kasus ‘No Viral No Justice’ yang marak terjadi di Indonesia. Menurutnya ini bisa menjadi hal yang positif dan negatif.
“Positifnya kalau ada informasi tentang hal-hal yang memerlukan keadilan diviralkan maka korban dapat keadilan. Namun, negatifnya tidak semua masyarakat mendukung serta informasi yang beredar di internet belum tentu akurat,” ujarnya.
Ia juga memberikan saran solutif terkait kasus ini, yakni dengan memposisikan kita sebagai korban kekerasan seksual.
“Seperti menyimpan barang bukti baik berupa foto ataupun video pelaku kepada korban, memutus komunikasi dengan pelaku, mencari bantuan ke pihak yang berkaitan, bisa dengan cara melapor ke satgas PPKS, dan sebagainya,” ujarnya.
Selain itu, mahasiswa jurusan Administrasi Publik, Januar Ifdal Dikri ikut menanggapi kasus yang baru diproses jika viral, Januar mengatakan bahwa tindakan tersebut salah sehingga diperlukan pembenahan pada lembaga terkait untuk lebih tanggap dan transparan dalam menangani kasus.
“Jangan sampai kasus ke up di media dulu karena akan menurunkan reputasi lem
baga sehingga akan menurunkan kepercayaan masyarakat, maka lembaga terkait perlu dibenahi agar menjalankan tugas yang sesuai dalam melayani masyarakat,” ujar Januar.
Reporter : Aya, Rani, Nadia, Aprillia/BU
Penulis : Ardhilah, Lutfi/BU
Editor : Uswa/BU