Bidikutama.com – Pada 17 Februari 1908 di Tanah Sirah Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat lahirlah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) atau yang sering dikenal sebagai Buya Hamka. Di tanah kelahirannya ini pun turut menjadi bukti sejarah perjalanan hidup Buya Hamka sebagai seorang tokoh agama, jurnalis, sastrawan, politikus, dan negarawan. (23/11).
Buya Hamka lahir dari orang tua yang religius yakni Dr. AK. Amrullah atau Haji Rasul yang dikenal juga dengan inyik Dotor dan Ibunda Syafiah. Buya Hamka memiliki 12 orang anak dan hingga saat ini ada 2 orang anaknya yang masih hidup.
Salah satunya adalah Amir Syakib Arsalan, beliau adalah anak bungsu Buya Hamka atau anak yang ke-12. Saat penulis mengunjungi Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka beliau banyak bercerita tentang kehidupan ayahnya yakni Buya Hamka.
Amir Syakib Arsalan, Putra bungsu Buya Hamka, mengatakan bahwa ayahnya memang lahir di Kabupaten Agam, Sumatra Barat dan dari lahir hingga umur tujuh tahun beliau dibesarkan disini. Pada umur tujuh tahun beliau dibawa oleh ayahnya yakni Haji Rasul ke Pesantren Sumatra Tawariq yang berada di Padang Panjang, Sumatra Barat.
“Beliau belajar di pesantren kurang-lebih hanya sekitar 3 tahun hingga umurnya 10 tahun, kemudian dibawa lagi oleh inyiak tarabek seorang ulama besar untuk belajar di Pesantren Tarakbek,” ungkapnya.
Menurut sang anak bungsu, Buya Hamka sudah merantau ke pulau Jawa sejak umur 15 tahun ke tempat kakak ipar nya di Pekalongan, Jawa Tengah.
Didikan keras ayahnya menjadikan Hamka terbiasa berada jauh dari orang tua, mandiri dan merantau, diantaranya sekolah di Padang Panjang, kemudian ke Jawa belajar ilmu Gerakan Islam Modern dengan HOS Cokroaminoto.
Kemudian di usia 19 Hamka berhaji ke Mekah, kembali ke tanah air Medan, Yogyakarta dan Jakarta dengan aktivitas menulis, berpidato, wartawan, editor, dan penerbit.
Keahlian ini membawa Hamka berceramah di Istana Negara pada 3 Januari 1950 dan terpilih menjadi Ketua MUI, tetapi karena tidak setuju dengan kebijakan pemerintah tentang perayaan natal beliau meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI.
Puncak prestasi Hamka pada tahun 1959 menerima anugerah Doktor Honoris Causa (Ustadziyah Fakhriyah) dari Universitas Al Azhar, Mesir dan University Kebanggaan Malaysia di bidang Kesusasteraan (1974), gelar Profesor Kehormatan dari Universitas Moestopo Jakarta (1966).
Semua yang diraihnya sesungguhnya adalah akibat ketabahan hati dan penderitaan yang dialami dan dihadapi dengan cerdas dan ini pula lah yang menghantarkan Buya Hamka mendapat penghargaan dari Universitas paling tua di dunia. Hamka wafat 24 Juli 1981 diusia 73 tahun, sebagai penghargaan pemerintah menetapkan beliau menjadi Pahlawan Nasional.
Setelah cerita panjang diatas putra bungsu Buya Hamka, Amir Syakib Arsalan terakhir bercerita bahwa beliau cukup menyayangkan karena sekarang ini kurikulum pelajaran sejarah anak SD-SMP di Malaysia adalah mempelajari tentang kisah Buya Hamka sedangkan di Negara kita belum.
Penulis : Hariansyah/BU
Editor : Tebi/BU