Bidikutama.com – Mahasiswa dan Pimpinan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) sesalkan kebijakan kampus yang menaikkan 10% kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk mahasiswa semester 9 ke-atas yang tinggal menempuh mata kuliah (MK) skripsi dan kenaikan Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI), Rabu (29/6).
Ungkapan pertama datang dari Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik (FT), Yovi Maulana, yang menyebut kebijakan kampus tidaklah proposional dan berkeadilan serta tidak memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa.
“Iya, bicara proporsional dan keadilan, seharusnya semakin akhir semester, semakin murah karena fasilitas yang didapat mahasiswa semakin sedikit. Jelas-jelas hanya mengontrak skripsi masa bayar semakin mahal,” ucap Yovi.
Rasa sesalnya semakin mencuat, akibat penyebab kenaikan UKT disebabkan untuk memotivasi para mahasiswa tingkat akhir dan alasan pandemi Covid-19 yang telah usai.
“Saya tanya kepada terkait, alasannya untuk memotivasi agar segera lulus, ya kalau memotivasi atau teguran, fungsi jurusan apa? Bukan kemudian lulus lama malah UKT dinaikkan,” tegas Yovi.
“Dan alasan Covid-19 telah selesai, hingga hari ini pun masih ada kenaikan, dan yang harus diperhatikan adalah apakah perekonomian masyarakat telah pulih? Kan, belum,” pungkas Yovi.
Tak hanya menyerukan soal penambahan biaya UKT. Yovi juga memperhatikan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), yang naik dari tahun – tahun sebelumnya.
“Sekarang terjadi kenaikan yang lumayan mahal, ada yang dulunya 15 juta sekarang jadi 25 juta. Itu tidak sesuai dengan prinsip kewajaran yang tertuang dalam Permendikbud No 25 tahun 2020,” ujar Yovi.
Setelah BEM FT, tanggapan datang dari Presiden Mahasiswa (Presma) Untirta, yang selaras dengan Yovi, dimana pada Permendikbud No. 25 tahun 2020, bagi mahasiswa akhir membayar paling tinggi 50 persen dari besaran UKT.
“Mengenai hal tersebut juga sudah dijelaskan di Permendikbud no 25 tahun 2020 menjelaskan bahwasannya bagi mahasiswa yang telah berada di semester akhir (tinggal pengerjaan skripsi) membayar paling tinggi 50 persen dari besaran UKT. Disana disebutkan paling tinggi 50 persen maka dipastikan seharusnya kampus patuh terhadap aturan yang berlaku bukan memelintir aturannya dan memberatkan mahasiswa,” ungkap Ryco
Ryco berharap agar pihak kampus lebih bijak dalam membuat aturan turunan (Peraturan Rektor) yang mengacu pada Permendikbud no 25 tahun 2020 dan aturan – aturan lainnya.
“Hal ituu kampus harus bijak dalam membuat aturan turunan (peraturan rektor) yang mengacu pada Permendikbud no 25 tahun 2020 dan aturan-aturan lainnya tentang penggolongan UKT. Yang dimana semua dikembalikan kepada keberpihakan nya terhadap hak layak mahasiswa bukan malah memberatkan,” harap Ryco
Hingga jajaran Mahasiswa. Ipal, Mahasiswa Akhir, tidak sepakat akan hal tersebut, karena mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan skripsi tidaklah menikmati sepenuhnya fasilitas yang ada di kampus, Ipal juga menjelaskan terdapat beberapa faktor yang mendukung ke-tidak setujuannya dengan kebijakan kampus tersebut.
“Sisi negatifnya, bahwa mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan skripsi adalah tidak menikmati fasilitas yang ada di kampus yang balik menjadi pertanyaan pada setiap mahasiswa, dan mungkin memang pihak kampus menganggap agar mahasiswa tidak malas dalam mengerjakan skripsi, tapi dibalik itu semua ada beberapa faktor yang bisa dibilang mengapa mereka belum menyelesaikan skripsi, yaitu faktor ekonomi dimana seorang mahasiswa harus bekerja terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan mereka yang akhirnya mereka harus menunda skripsi, faktor masa depan dimana mahasiswa sedang mencari jati diri jangan sampai lulus dari kampus tidak menjadi apa-apa” tutur Ipal
Reporter : Ramdani/BU
Penulis : Owen/BU
Editor : Owen/BU