Bidikutama.com – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang disahkan pada Kamis (20/3) mendapat beragam tanggapan dari akademisi dan mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Mereka menyoroti dampak yang terjadi terhadap keterlibatan TNI di ranah sipil. Jumat (21/3)
Dosen Fakultas Hukum Untirta, Afirman Oktavianus, mengkritisi perubahan dalam RUU TNI yang memungkinkan personel aktif TNI menduduki jabatan di berbagai kementerian. Menurutnya, kebijakan ini dapat mengaburkan batas antara tugas militer dan sipil dan sebaiknya kebijakan ini tidak dilakukan.
“TNI itu prajurit negara yang diberikan senjata dan kewenangan untuk melindungi warga dari ancaman luar, bukan untuk masuk ke ranah sipil,” ujar Firman.
Firman menambahkan bahwa penempatan militer dalam jabatan sipil berisiko, mengingat perbedaan budaya kerja antara militer dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Lebih lanjut, ia mempertanyakan urgensi revisi UU ini. Dari aspek prosedural, Firman menilai perlu adanya kajian lebih dalam untuk memastikan apakah perubahan ini benar-benar mendesak atau bagian dari strategi politik tertentu.
“Jadi harus ada supremasi sipil, jangan sampai demokrasi kita mundur. Kita ingin menyongsong Indonesia 2045, masa menyongsong itu dengan meniadakan demokrasi?” tambah Firman.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Untirta, Muhammad Oriza Sativa, dengan tegas menolak RUU TNI. Ia menyoroti bahwa revisi ini dilakukan secara tidak transparan, terutama karena pembahasannya dilakukan di luar gedung DPR tanpa partisipasi publik yang memadai.
“Revisi ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak awal, tetapi tiba-tiba dimasukkan dan dipercepat pembahasannya tanpa alasan yang jelas,” tegas Oriza.
Oriza menyoroti bahwa kebijakan ini bisa menjadi awal dari kembalinya dwifungsi yang berbahaya bagi demokrasi. Menurutnya, dengan adanya ketentuan yang memperbolehkan personel TNI menduduki jabatan sipil, dikhawatirkan akan muncul kembali dwifungsi seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Hal ini dianggap berpotensi menghambat demokrasi dan mengurangi peran sipil dalam pemerintahan.
Oriza menegaskan bahwa mahasiswa harus terus mengawal kebijakan pemerintah, terutama yang berpotensi mengancam demokrasi dan kedaulatan rakyat.
“Mari kita organisir kiri dan kanan kita, serta kita harus menjaga semangat perlawanan ini karena ‘suara rakyat adalah suara tuhan’ dan untuk saat ini yang kita miliki hanya satu sama lain, karena rezim pemerintahan hari ini sudah tidak layak untuk dipercaya,” tegas Oriza.
Reporter: Misya/BU
Penulis: Hana/BU
Editor: Putri Nur/BU