Bidikutama.com – Menindaklanjuti terus berjalannya proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9-10, Cilegon, Banten, Pena Masyarakat bersama mahasiswa dan jaringan gerakan rakyat Banten mengadakan serial diskusi bertajuk “Raksasa Energi di Tanah Jawara”, Sabtu (12/9). Diskusi berlangsung di Kampus C Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
Lebih lanjut, diskusi tersebut membahas seluk-beluk rencana pembangunan PLTU yang disponsori oleh PT. Pembangkit Listrik Negara (PLN), PT. Barito Pacific Tbk., dan badan usaha milik negara (BUMN) asal Korea Selatan, Korea Power Corporation (KEPCO).
“PLTU ini menambah ancaman baru bagi masyarakat Banten, khususnya Kota Cilegon. Jangan beri masyarakat angin surga, tapi yang datang malah angin debu berbahaya,” ujar Koordinator Pena Masyarakat, Mad Haer.
Sebelumnya, pada 5 Oktober 2017, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan proyek pembangunan PLTU Jawa 9-10 dan PLTU Jawa 7. Keduanya merupakan bagian program ambisius Jokowi, mega proyek infrastruktur listrik 35.000 MW yang didominasi pembangkit energi kotor batubara.
Padahal, menurut Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung, saat ini sudah banyak pembangkit dan sumber-sumber polusi lain di sekitar PLTU tersebut.
“Bahkan ada PLTU tua yang seharusnya sudah dipensiunkan, (tapi) masih beroperasi dengan emisi yang tinggi di dekat PLTU Jawa 9-10. PLTU ini jelas hanya menambah beban polusi udara yang mencemari udara wilayah terdampak,” pungkasnya.
Sejak awal, proyek pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 ini memang telah mendapat kecaman dari sejumlah organisasi lingkungan dan masyarakat sipil karena berbagai risiko yang muncul terkait pembangunannya.
Laporan berjudul “Racun Debu di Kampung Jawara” yang disusun Trend Asia, Walhi Jakarta, dan Pena Masyarakat memaparkan, proyek pembangunan PLTU Jawa 9-10 amat berisiko dari sisi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Analisis pemodelan dampak kesehatan PLTU Jawa 9-10 yang dilakukan Greenpeace Indonesia juga mengungkap perkiraan lebih dari 4.700 kematian dini yang akan terjadi selama 30 tahun masa PLTU tersebut beroperasi.
“Rencana pembangunan PLTU Jawa 9-10 seharusnya segera dihentikan. PLTU Jawa 9-10 adalah proyek problematis dan tidak memiliki urgensi yang jelas serta terukur. Dampak negatif yang timbul bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat akan sangat besar,” kata Peneliti dan Pengampanye Trend Asia, Andri Prasetiyo.
Ia menambahkan, dari segi ekonomi, PLTU Jawa 9-10 bahkan diproyeksikan menjadi proyek merugi dengan total nilai kerugian sebesar Rp 610 milyar. Padahal, proyek ini akan dibangun dari dana utang luar negeri yang mencapai Rp 50 triliun.
Selain itu, proyek PLTU Jawa 9-10 ini tidak dibutuhkan karena kelebihan kapasitas listrik (over-capacity) dalam jaringan Jawa-Bali yang telah mencapai 41.5%.
Sementara, selama pandemi Covid-19, konsumsi listrik oleh industri, bisnis, dan masyarakat terus menurun. Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Monash University dan Agora Energiewende pun menemukan, sistem pembangkit listrik Jawa-Bali berpotensi menjadi aset terlantar akibat kelebihan kapasitas sebesar 13,3 GW selama 10 tahun mendatang.
Kegiatan diskusi pun dilanjutkan nonton bareng film “Kesetrum Listrik Negara” besutan Watchdoc bersama Greenpeace Indonesia dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Film ini mengupas seluk beluk PLN, yang saat ini berada dalam kondisi keuangan yang genting karena utang yang terus menumpuk.
Film tersebut juga menunjukkan inisiatif penggunaan energi bersih terbarukan oleh pemerintah daerah, komunitas, dan individu yang menyambut semangat global dalam penggunaan energi bersih terbarukan untuk mengatasi ancaman krisis iklim. Pun, riset Carbon Tracker telah mengungkap bahwa investasi energi terbarukan di Indonesia lebih murah dan menguntungkan daripada investasi batubara.
“Dengan adanya opsi investasi energi terbarukan yang lebih murah, negara maju seharusnya mendukung Indonesia untuk beralih dari batubara,” jelas Binbin Mariana, dari Energy Finance Campaigner Market Forces.
“Alih-alih investasi pada proyek pembangkit batubara yang bukan hanya tidak menguntungkan secara finansial, juga hanya akan menambah panjang sejarah degradasi kualitas udara dan penurunan mata pencaharian bagi komunitas terdampak di Indonesia,” sambungnya.
Untirta Movement Community (UMC) selaku salah satu penyelenggara diskusi turut mengamini penjelasan Binbin.
Disampaikan Presiden UMC, Farhan Al-Muflih, dirinya mengaku mengalami dan melihat langsung bagaimana pembangkit energi kotor batubara telah merusak wilayah tempatnya tinggal.
“Energi kotor yang hari ini menjadi sumber utama energi negara, terbukti secara masif merusak lingkungan dan ekonomi karena dimonopoli oleh korporasi besar tanpa adanya kepedulian pada masyarakat. Karena itu, energi bersih terbarukan harus dikembangkan demi keberlangsungan hidup umat manusia,” tuturnya.
Untuk diketahui, Pena Masyarakat merupakan komunitas peduli lingkungan di Provinsi Banten.
Penulis : Rara/BU
Editor : Thoby/BU