Bidikutama.com – Sebuah insiden menghebohkan terjadi di kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) ketika seorang mahasiswa laki-laki terlihat memasuki toilet perempuan. Hal itu menimbulkan ketidaknyamanan dan keresahan di kalangan mahasiswi. Kamis (24/10)
M. Uut Lutfi, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS), menjelaskan bahwa kasus mahasiswa yang berpenampilan tidak sesuai dengan jenis kelamin, seperti laki-laki yang berpenampilan feminim dan menggunakan toilet perempuan, akan ditindak jika ada laporan. Hingga saat ini, satgas belum menerima laporan resmi terkait kasus semacam itu, namun pihaknya siap menerima laporan selama 24 jam.
“Kami fokus membangun karakter mahasiswa agar tidak terjadi kekerasan seksual, Misalnya, lewat kurikulum, dengan mata kuliah yang mencakup materi pencegahan kekerasan seksual,” jelas Uut.
Uut juga menekankan pentingnya memperhatikan sarana dan prasarana kampus untuk memastikan keamanan, termasuk fasilitas toilet yang ramah pengguna dan dipisahkan dengan jelas antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, ia juga menyoroti peran penting komunitas kampus, terutama Organisasi Mahasiswa (Ormawa), dalam mendukung upaya pencegahan kekerasan seksual.
“Toilet harus dilengkapi dengan slot di pintu, penerangan yang baik untuk menghindari kekerasan seksual. Selain itu, peran Ormawa seperti UKM Jurnalistik bisa membantu menyebarkan informasi tentang kampus,” tutur Uut.
Meskipun demikian, Satgas PPKS menekankan pentingnya pembinaan, baik terhadap mahasiswa yang berpenampilan tidak sesuai dengan kodrat jenis kelaminnya maupun terhadap mahasiswa yang mendukung perilaku tersebut. Uut juga menyampaikan bahwa pembinaan tidak hanya ditujukan kepada individu yang berperilaku menyimpang, tetapi juga kepada teman-teman yang memberikan ruang dan dukungan bagi perilaku tersebut.
“(Harusnya) teman-temannya turut berperan menyadarkan, bukan malah mendukung perilaku yang melanggar norma,” tambah Uut.
Dalam menyikapi isu penyimpangan gender di lingkungan kampus, seluruh sivitas akademika diimbau untuk bersama-sama menjaga nilai-nilai agama dan norma sosial. Hal ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan kampus yang kondusif dan sesuai dengan budaya yang berlaku.
“Perlu memeriksa validitas terkait status mahasiswa. Ini bukan soal tugas Satgas semata, tapi bagaimana kita menyelamatkan mahasiswa Untirta,” pungkas Uut.
Seorang mahasiswa Untirta, yang tidak ingin disebutkan namanya, menyatakan pandangannya dengan sikap netral terkait isu tersebut. Ia menekankan bahwa perbedaan orientasi seksual di kampus adalah hal yang wajar, mengingat keragaman latar belakang mahasiswa. Namun, menurutnya, ekspresi diri tetap harus dibatasi sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan tidak boleh menimbulkan dampak negatif.
“(Mahasiswa) pasti ada yang punya seksualitas yang berbeda-beda. Buat saya, itu bukan masalah selama mereka bisa membatasi ekspresi diri mereka” ungkapnya.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Deni Putra Ardiansyah, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, yang dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap segala bentuk penyimpangan seksual di lingkungan kampus.
“ini bukan hanya masalah agama dan moral, tetapi juga soal etika sebagai manusia. Saya melihat penyimpangan yang awalnya tersembunyi sekarang mulai muncul lebih terbuka,” ujar Deni.
Deni juga mengungkapkan bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab besar untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Sikap apatis atau sekadar diam ketika melihat penyimpangan yang terjadi dapat memperburuk situasi.
“Perlu memberikan dukungan positif agar mereka terhindar dari penyimpangan sosial. Bukan dengan menghakimi, tetapi memberikan pengertian, bimbingan dan mengingatkan berpegang pada hal yang benar,” saran Deni.
Reporter : Raffa, Chika, Dinar/BU
Penulis : Nur Adilah/BU
Editor : Ardhilah/BU