Bidikutama.com – Radikalisme sering diartikan sebagai pemahaman yang menyimpang. Terminologi tersebut kerap digunakan untuk merujuk pemahaman atau perilaku individu yang telah melakukan perbuatan destruktif mengatasnamakan agama atau etnis tertentu. Lalu sejauh mana kita perlu tahu tentang radikalisme ini?
Motivator sekaligus Influencer, Sherly Annavita, dalam webinar nasional tentang Milenial dalam Pusaran Radikalisme yang diselenggarakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jurnalistik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) menjelaskan bahwa melihat dari siapa saja pihak yang terlibat, mulai dari pelakunya, medianya, dimana, dan terlibatnya nanti ke etnis dan kepercayaan tertentu, setidaknya ada empat faktor pemicu radikalisme.
1. Faktor sosial politik.
2. Faktor kebijakan pemerintah (political will)
3. Faktor media
4. Faktor emosi keagamaan-etnik
Sherly kemudian menyebutkan bahwa media menjadi alat penting untuk membingkai bagaimana publik memandang sesuatu dalam hal ini berkaitan dengan radikalisme itu sendiri.
“Media, mau tidak mau, suka tidak suka ini menjadi salah satu tools penting untuk memframing bagaimana publik melihat segala sesuatu.
terlepas dari sekarang mulai banyak media alternatif seperti sosial media untuk memberitakan, yang artinya siapa saja bisa memberikan informasi,” tutur Sherly.
Faktor lain yang lebih lanjut dibahas Sherly yakni emosi keagamaan-etnik, dimana biasanya perasaan atau emosi ini yang kemudian paling banyak menimbulkan perpecahan. Mereka biasanya akan memanfaatkan kemarahan agama atau etnik tertentu dalam memecah belah.
“Yang paling bisa membuat kemarahan, kekecewaan, kesedihan mainannya adalah dengan feeling adalah dari sudut pandang budaya bangsa atau etnik tertentu. Jika itu bisa disentuh maka otomatis kemarahan itu akan muncul,” ungkapnya.
Radikalisme dan terorisme mengabaikan nilai kemanusian. Dan ini tidak mewakili agama apapun sebutnya.
Sekarang adalah era di mana kita bukan lagi haus informasi melainkan mabuk akan informasi, Sherly menyarankan bahwa sesuatu itu dimulai dari diri kita sendiri. Misalnya saat bergaul, mulai mengikuti kajian cek dulu apakah kajian atau komunitas yang diikuti itu eksklusif atau tidak, tertutup atau tidak, atau mengajarkan yang benar atau tidak.
“Apapun agama kita, apapun keyakinan kita, kita pastikan implementasi dalam kehidupan sehari-hari pemahaman kita terhadap ajaran dari keagamaan kita sesuai dengan konsep besar yang diajarkan.
Bahwa tidak ada agama yang mengajarkan radikalisme, kita semua adalah ambasador dari keyakinan, budaya, etnis kita masing-masing.
Dengan kata lain kita memastikan apa yang kita pelajari sesuai dengan konsep dasar dari agama yang kita pelajari. Perbanyak membaca, mendengar dan jejaring untuk kita jauhi praktik-praktik radikalisme,” kata Sherly.
Ketika ada dari media yang menyebutkan korban dari radikalisme, maka ia adalah yang dikorbankan, ia yang menjadi korban cuci otak atau brainwash seolah-olah menggunakan identitas dari agama tertentu.
Maka sebetulnya yang salah bukanlah agamanya, melainkan implementasi otaknya yang dikritisi. Pada akhirnya radikalisme, terorisme, termasuk ekstremisme itu menimbulkan perpecahan.
“Kalau ada yang kita rindukan sekarang sebagai warga negara Indonesia saat ini adalah persatuan,” ungkap Sherly.
Reporter : Diah, Amiroh/BU
Penulis : Hanum/BU
Editor : Hafidzha/BU