Bidikutama.com – Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu mengeluarkan putusan yang menyatakan bahwa para calon legislatif maupun calon presiden boleh melakukan kampanye pada fasilitas pemerintah dan ranah pendidikan. Putusan ini menuai kontroversi di kalangan sivitas akademik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). (31/8)
Pada Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat (1), tertulis bahwa ada 3 tempat yang harus bersih dari praktik kampanye diantaranya mencakup tempat ibadah, fasilitas pemerintah dan instansi pendidikan. Namun, setelah dikeluarkannya putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa fasilitas pemerintah dan ranah pendidikan merupakan tempat yang sah untuk berkampanye walaupun masih disertai dengan syarat ketentuan, berbeda dengan pemanfaatan tempat ibadah yang dilarang sepenuhnya.
Jadi, pihak yang berkampanye dilarang memakai fasilitas pendidikan kecuali mendapat izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan hadir tanpa atribut kampanye. Aturan yang berubah hanya khusus untuk tempat ibadah saja yang kini dilarang total tanpa syarat lainnya.
Hal ini mengundang kritik dari berbagai kalangan, termasuk sivitas akademik Untirta. Salah satu Dosen Ilmu Pemerintah Untirta, Mahpudin menilai keputusan ini bersifat inkonsistensi. Seperti yang tertulis dalam Undang-undang, Mahpudin juga cenderung tidak menyetujui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang hanya mensterilkan tempat ibadah dari kampanye politik dari 3 tempat yang sepatutnya menjadi zona aman.
“Ini kok ada inkonsistensi ya dari MK (Mahkamah Konstitusi) dalam mengeluarkan aturan,” ujarnya.
Mahpudin melihat bahwa, jika kampanye dilakukan secara terbuka di ranah pendidikan dan fasilitas pemerintah, maka berpotensi terjadinya praktik politisasi. Apabila yang mencalonkan sudah memiliki tempatnya di ranah pendidikan atau di fasilitas pemerintahan, maka ia akan memiliki akses lebih untuk berkampanye, akibatnya akan terjadi kesengajaan selama kampanye berlangsung.
“Harusnya kampus itu netral dari kepentingan politik,” tegas Mahpudin.
Apabila nantinya Untirta mengundang calon legislatif untuk datang dan debat terbuka, ia hanya berharap bahwa panitia penyelenggara benar steril dari berbagai pihak.
“Jangan sampai kampus itu jadi arena politik bagi segelintir elit, karena itu kiamat dalam dunia akademik,” tutup Mahpudin.
Berbeda pendapat dengan Mahpudin, Presiden Mahasiswa (Presma) Untirta, Ferdinan Algifari Putra. Ia justru mendukung putusan terbaru MK tentang diperbolehkannya kampanye di lingkungan pendidikan, karena momen ini merupakan celah untuk para calon legislatif untuk mengetahui permasalahan yang nyata terjadi di masyarakat.
“Akan tetapi harus dalam dikemas dengan bagus,” sambung Algi.
Tak hanya untuk unjuk diri siapa yang paling unggul, tetapi juga harus menguliti permasalahan daerah, hingga nasional sampai ke solusinya. Algi menyampaikan, sampai saat ini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Untirta masih mengkaji aturan terkait.
Ia berharap dengan adanya keputusan ini, mahasiswa dapat mengkritisi calon-calon yang akan menjadi representasi rakyat.
“Jangan terlalu apatis terhadap politik, kita tetap harus peduli,” tandas Algi.
Reporter : Arif, Bayu/BU
Penulis : Aya/BU
Editor : Uswa/BU