Bidikutama.com – Halo, namaku Erina, hari ini aku baru banget lolos ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) impianku di Kota sebelah. Setelah tiga tahun berjuang untuk lolos, akhirnya aku berada di tahap yang lebih serius, yaitu gimana caranya aku lulus dalam kurun waktu yang nggak lama. Setelah mempersiapkan semua barang yang akan dibawa, aku diantar oleh keluargaku menuju indekos dekat kampus, aku dan keluargaku menangis bersama, sedih bercampur haru karena akhirnya aku bisa mencapai impianku, tapi dengan terpaksa aku juga harus berpisah dengan papah, mamah dan kakak.
Walau aku sering menangis saat sendirian di indekos, aku tetap senang kok menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Aku juga terkadang kangen sama teman-teman sekolahku, tapi di sini juga aku berjumpa dengan teman baru dan suasana yang baru. Bahagia banget deh pokoknya!
Hari itu, aku dan yang lain menjalani masa orientasi. Sebelum hari H, kita dibagi kelompok dan selalu melakukan mentoring setiap minggunya. Satu kelompok sekitar 10 orang, mentorku baik banget, namanya Kak Lily. Kita selalu mentoring di lingkungan sekitar kampus, kata Kak Lily supaya kita kenal lingkungan sekitar. Setelah satu bulan mentoring, sampai deh di hari H. Hari itu kami semua kumpul di lapangan kampus, nggak begitu jauh dari tempat di mana biasa mentoring sama Kak Lily. Kak Lily ada di belakang barisan kelompokku, acara dibuka dengan meriah, kita senang-senang tapi tiba-tiba semua panitia pergi, berganti dengan panitia yang memakai pakaian beda, baju hitam. Nggak ada angin, nggak ada hujan mereka marah-marah, bentak-bentak kita semua. Kita ditanyain tentang materi selama mentoring, aku nggak masalah sih mereka tanya-tanyain hal itu tapi kan, emang harus banget ya pakai nada tinggi?
Di siang hari yang begitu terik, kita diminta untuk berdiri. Tiba-tiba teman kelompokku didatangi oleh panitia hitam, dagunya ditarik ke atas, menurutku itu kasar. Nggak pantes seorang lelaki memperlakukan perempuan kayak gitu, atau siapapun deh.
“Eh, liat nih. Lo semua pada mau punya adik kaya gini?” Waktu itu, panitia teriak keras, teman-temannya datang bergerombol.
“Wih, lengkap banget tuh muka lo. Emang ada yang bolehin lo pake make up?” Sambung temannya yang lain, temanku hanya diam.
Kita semua diam, nggak ada satupun yang berani melawan mereka.
“Lo di kampus ini mau belajar atau mau ngejablay?! Hapus tuh make up lo! Apa gue yang harus susut muka lo ke lapangan biar bersih?” Kasar.
Mereka kasih temanku tisu, mereka nggak layak jadi mahasiswa, mereka nggak layak jadi panitia, sama sekali. Tapi aku nggak berani ngelawan mereka, aku dan kita semua terlalu takut. Setelah acara selesai, nggak ada satupun dari mereka yang meminta maaf sampai detik ini.
Mereka yang tadinya kudambakan sebab begitu keren kemarin, kini aku jadi malas bertemu orang-orang seperti mereka. Sok jago, sok tegas tapi merendahkan martabat orang lain. Walaupun terkadang sesama perempuan, mereka nggak bisa tuh menghargai, setidaknya. Aku mengurungkan niatku untuk bergabung dengan segala macam jenis dan bentuk organisasi, aku benci mereka. Yang mereka lakukan setiap bulan adalah demo, demo, demo dan bakar ban. Mereka mau apa, sih? Seluruh elemen masyarakat pun tau kecacatan pemerintah pusat, lalu mereka apa? Memblokade jalan, dampaknya macet. Memang sebagai mahasiswa mereka nggak belajar tentang negosiasi? Mana hasil latihan kepemimpinan yang katanya untuk menciptakan pemimpin yang baik? Nol besar. Kebanyakan dari mereka hanya ingin mendapatkan setitik perhatian dengan berbuat kacau. Suatu kewajiban mahasiswa untuk membantu rakyat dalam berkomunikasi dengan pembuat kebijakan, tapi kalau penghubungnya ngga bisa bernegosiasi dengan baik, untuk apa? Apakah saat ini demo menjadi suatu trend dikalangan mahasiswa?
Hari silih berganti dengan cepat, sekarang aku selangkah lagi menuju tahap menyusun skripsi. Aku sudah mulai menghubungi dosen pembimbingku, aku kadang kala melihatnya di kampus, namun tiap kali aku menghubungi beliau, agaknya beliau selalu sibuk. Karena semester enam sudah mau habis, satu hari aku memutuskan untuk langsung datang ke ruangan beliau, sambil membawa cemilan dengan niat untuk membicarakan judul skripsiku.
Kuketuk ruangan dingin dan nyaman itu.
“Selamat siang, Pak. Permisi.”
Beliau menyuruh untuk duduk, beliau juga sudah tahu maksud kedatanganku kesini untuk apa, karena di beberapa kesempatan sebelumnya, beliau selalu mengabaikanku,
“Jadi gimana? Siapa namanya?” tanyanya.
Ku perkenalkan diriku dan maksud tujuanku secara detail, tapi beliau hanya menjawab,
“Ya sudah, saya masih banyak kerjaan. Nanti kita ketemu di luar, saya kabari.”
Aku pulang kembali ke indekos dengan perasaan yang marah. Apa sulitnya meluangkan sedikit waktu buat dengerin aku jelasin judul dan latar belakangnya? Huft. Uang kuliah mahal, indekos mahal, biaya makan mahal, biaya tak terduga apalagi, aku mau pulang makanya aku mau cepat-cepat garap skripsi supaya bisa maksimal. Waktu lagi ngedumel di kasur sambil cerita sama mamah, notif dari dosenku masuk. Beliau mengirimkan alamat… Hotel? Di luar kota?
‘Apa beliau sambil ada acara lain?’ Tuturku dalam hati. ‘Ah, tapi aneh banget minta ketemu di Hotel, dikira gue ayam kampus?’ Batinku dan logikaku berperang sampai akhirnya aku memutuskan untuk tetap berangkat, tapi dengan membawa teman.
Aku nggak begitu punya banyak teman dekat sih, paling cuma sebatas ngobrol kalau ketemu aja, tapi akhirnya aku ajak mereka-mereka yang suka ngobrol sama aku, untungnya mereka mau. Akhirnya, kita ketemu di Kampus, aku jelasin kronologinya dan ternyata beberapa dosen pembimbing temanku pun sama, maksudnya sama seperti dosen pembimbingku tapi sebatas ngajak bertemu di Kafe, bukan Hotel. Kami berangkat sore itu, nggak jauh, hanya perjalanan satu jam.
Kukabari beliau, beliau menyuruhku untuk masuk ke Resto. Di sana beliau sedang makan, aku masih berpikir biasa aja waktu itu, walau deg-degan, aku mencoba untuk tetap tenang. Beliau menyuruhku untuk memesan, sambil menunggu, aku langsung membahas judul dan latar belakang, kami berdiskusi sekitar satu jam setengah. Beliau berkali-kali memastikan aku berangkat sendiri, padahal teman-temanku masih berada di luar, mereka makan di sebrang Hotel.
“Terima kasih atas waktunya, Pak. Saya pamit duluan ya,”
Aku pamit dengan lembut dan pelan, namun agaknya beliau sakit hati karena aku begitu buru-buru. Pergelangan tanganku ditarik pelan, ia menyuruhku untuk duduk lebih lama, sambil ia menyelesaikan pekerjaannya. Ku iyakan, tapi aku meminta salah satu dari mereka untuk masuk ke dalam Resto kala beliau mulai bertanya hal pribadi. Sampai sebelum akhirnya ia memintaku untuk menginap, temanku datang lebih dulu.
Begitu temanku datang, ia langsung meminta bill dari waiters kemudian langsung pergi. Setelah aku berkumpul dengan teman-temanku. Namun sayang, hari-hari setelahnya beliau semakin sulit dihubungi dan ditemui, karena sudah hampir terlewat satu semester, aku memutuskan untuk mengambil cuti.
Dunia yang kubayangkan adalah masa-masa terindah dalam pencarian jati diri, ternyata malah menjadi lingkaran setan yang mungkin tak berujung.
Penulis : Aya/BU
Editor : Uswa/BU