Bidikutama.com – Sore menjelang malam membuat isi kepala ini terus membayang, bagaimana cara seorang penyandang disabilitas mampu meraih gelar Strata 1? Sambil mendengar suara tetangga bersenandung ria, kuputuskan untuk berbincang melalui telepon dengan mahasiswa tingkat akhir Ilmu Pemerintahan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Fandi, penyandang disabilitas.
Selayaknya kawan, kutanyakan sampai mana skripsinya, ternyata dosen pembimbingnya menyarankan pergantian judul penelitian dari pelayanan publik menjadi pemberdayaan disabilitas oleh pemerintah. Cerita Fandi begitu menghanyutkan, bagaimana dosen-dosennya memberikan saran tentang skripsi yang akan digarapnya, juga bagaimana bijaknya dosen pembimbing mengizinkannya untuk melakukan bimbingan secara daring (dalam jaringan).
Semakin malam, obrolan kami semakin dalam, ditemani suara cicak juga suara Fandi yang kian patah sebab jaringan berbeda dengan semangat hidupnya yang kokoh. Beralih pembicaraan, Fandi bercerita bahwa kehidupan sebelumnya normal, baik-baik saja, bahkan ia merupakan seorang atlet basket di sekolahnya dulu. Tak ada yang kurang. Namun, seiring berjalannya waktu, terdapat sosok yang tumbuh dalam dirinya menjadi benalu, bertahun, membuat aktivitasnya terkendala, terlebih kegiatan olahraga yang begitu ditekuni.
Tumor tulang. Benalu yang tumbuh di kaki bagian dengkul kirinya itu kian mengikis aktivitas sehari-harinya sebab ia harus menahan rasa sakit yang muncul akibat tumor tersebut setiap hari. Di tahun 2019, sebelum ia mendaftarkan diri ke Untirta, Fandi menjalani kemoterapi seperti yang disarankan oleh Dokter. Kemo berjalan, setelahnya rambutnya menjadi rontok dan badan semakin lemas. Baru sekali rangkaian kemoterapi yang Ia jalani dari tujuh ragkaian yang disarankan oleh dokter, ia memutuskan untuk berhenti menjalankan kemoterapi sambil mencari lebih lanjut tentang penyakit yang ia derita.
Walaupun semangat hidupnya membara Fandi mengaku tak bisa dipungkiri Ia pernah memiliki sebersit keinginan untuk menyerah.
“Mengamputasi kaki dengan cara melakukan prosedur operasi memang sudah menjadi keinginan saya, karena kan saya baca ya kalau penyakit saya ini bukan penyakit yang bisa sembuh secara bimsalabim langsung sembuh. Saya sudah pesimis karena sudah besar banget ukuran tumornya, sudah pengen mati kali,” suara Fandi terdengar dari lubang suara laptopku.
Waktu berjalan, Fandi berhasil menjadi salah satu mahasiswa Ilmu Pemerintahan Angkatan 2019. Ia berangkat dari Jakarta menuju Serang sambil membawa semangat dan tumor yang masih tumbuh di dengkulnya. Seperti mahasiswa baru yang lain, ia menjadi masa pengenalan kampus, juga bergabung menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan. Namun, karena tak lagi tahan dengan sakit yang dirasa, Fandi meminta izin ke kepala program studi dan menceritakan kondisi yang dialaminya, hingga terdengar ke telinga Badan Eksekusi Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) yang berujung pada pengadaan penggalangan dana untuk Fandi oleh kawan-kawan BEM FISIP.
Setelah izin didapat, Fandi melaksanakan operasi, semenjak itu sementara ia harus menggunakan tongkat sebagai alat bantu. Walau belum terbiasa, ia tetap memiliki tanggung jawab sebagai mahasiswa. Pergi ke perantauan dengan luka operasi yang masih basah dan tetap berkuliah seperti biasa. Kala itu, ada kebijakan di mana mahasiswa tidak boleh menyimpan kendaraan di dekat gedung perkuliahan, namun kebijakan itu tak berlaku untuk Fandi, tentu pihak kampus bersikap inklusif terhadap Fandi sebagai salah satu mahasiswa penyandang disabilitas.
“Waktu itu kan ada peraturan mahasiswa nggak boleh parkir di deket Gedung B, nah itu cuma saya yang boleh. Kalo ada kelas di Lantai 2, ya saya naik itu pakai tongkat ke kelas, sambil kaki yang masih berdarah-darah,” kata Fandi.
Akhir 2020, ia kembali dihubungi oleh pihak BEM FISIP bahwa dana sudah terkumpul dan sudah cukup untuk kaki palsu. Rasa syukur dan riang gembira menghampiri hatinya, segera lah kaki palsu itu dibuat di Jakarta dan kini selalu menemaninya. Fandi juga ditemani oleh sobat karibnya, Agus.
Kembali lagi ia harus beradaptasi dari tongkat ke kaki palsu, walau sempat tertatih, kini ia sudah terbiasa dengan kaki barunya dan aktivitas dengan hambatan yang minim. Waktu bergulir, pada 2022 Fandi diminta untuk memegang tanggung jawab sebagai Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis di BEM FISIP. Pada tahun itu, sebagai mahasiswa semester enam, ia juga memiliki kewajiban Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM), serta Ia mengambil peran sebagai mentor saat masa orientasi mahasiswa baru. Manusia mana yang tidak lelah saat menjalani beberapa tanggung jawab? Begitu juga Fandi, namun hal tersebut baginya bukan untuk dikeluhkan, justru sebagai acuan bagaimana caranya semua terlaksana dengan baik.
“Ah iya itu bentrok tiga-tiganya. Saya nggak menduga bakal dapet tempat KKM yang jauh, di Sumur. Jadi pas awal di BEM FISIP sudah menentukan program kerja sama timeline-nya. Pas bagian KKM juga bikin agenda kerja, diskusiin, bentrok, akhirnya saya pilih dulu nih mana yang urgent,” ternyata ditengah keterbatasan yang ada, bukan halangan untuk Fandi dalam melaksanakan tanggung jawab yang ia punya.
Tak berhenti di situ, ia juga bekerja sebagai pengantar barang di salah satu platform jasa layanan online dan sempat masif sebagai bentuk tanggung jawab atas dirinya sendiri. Namun, setelah menjadi atlet paralimpik fokus utamanya bukan lagi mengantar barang, kini ia masif berlatih sebagai atlet berkebutuhan khusus juga membagikan kegiatannya sebagai atlet di kanal YouTube pribadinya. Cita-cita Fandi yang lainnya adalah mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil setelah resmi menjadi Sarjana Ilmu Pemerintahan.
Penulis : Aya/BU
Editor : Uswa/BU