Jangan panik, mari piknik!
Mau kemana kita hari ini?
Bidikutama.com – itulah kalimat yang terbaca saat ponsel berdering di akhir pekan, tepat pada Bulan November satu tahun silam. Saya dan teman-teman memang berencana untuk pergi jalan-jalan di akhir minggu ini. Berusaha sejenak melepaskan kegelisahan akan tugas kuliah yang menunggu disetiap harinya. Namun kami masih belum tahu ingin pergi kemana saat itu.
Karena kami minim informasi akan wisata di Banten, akhirnya salah satu teman kami mengusulkan untuk berwisata ke Pulau Gede. Saya sendiri belum punya bayangan tentang Pulau Gede. Sedikitnya referensi di dunia maya menjadi satu tantangan. Saya hanya berbekal informasi dari pengalaman teman yang pernah menikmati indahnya pulau itu.
Namun sebelumnya, saya ingin menyampaikan kepada kalian semua, saya sangat bangga menjadi warga Negara Indonesia dengan segala kekayaan alam yang tak terhitung. Lupakan semua yang buruk tentanng Indonesia, nikmati Indoensia dengan warna keindahan alam dan budayanya. Indoensia juga merupakan salah satu desninasi favorit traveller dari seluruh dunia.
Sudah terbukti oleh beberapa wisatawan, baik dari dalam negeri mapun luar negeri yang mengakui keindahan wisata Indoensia. Jika bicara mengenai pesona, keindahan Banten sepertinya patut diperhitungkan. Banten tidak hanya memiliki destinasi wisata religi saja, namun juga wisata yang tersembunyi yaitu Pulau Gede.
Karena saya berkuliah di Banten, rasanya kurang lengkap kalau belum pelesiran melihat keindahan Pulau Gede. Diiringi rasa penasaran walaupun dengan dana yang cukup minim, akhirnya saya dan teman-teman bertekad untuk tetap berangkat ke Pulau Gede.
Dari Kota Serang, Ibu Kota Provinsi Banten, kami menaiki motor menuju arah Merak, tak jauh dari pelabuhan Merak, kemudian kami masuk menuju tempat untuk menaiki perahu dan menyebrang ke Pulau Gede ini. Dimana pulau ini jaraknya hanya sekitar 500 meter dari dermaga pelabuhan Merak.

“Brumm..tok..tok..tok” . Suara mesin kapal yang saya tumpangi memekakkan telinga. Sang juru kemudi memacu dapur mesin berbahan bakar bensin. Haluan perahu meninggalkan titik awal dan kemudian mengarah ke pulau yang kami tuju.
Setelah mencari, dan menyepakati harga tentunya, akhirnya perahu yang saya tumpangi pun segera bersiap mengarungi lautan. Dalam perjalanan, kami disuguhi hamparan laut yang membiru dengan sesekali muncul pertunjukan ikan-ikan kecil yang melompat keluar dari permukaan air. Setelah 30 menit berlalu, perahu yang saya tumapangi pun bersandar ke sebuah pulau, Pulau Gede.
Cuaca yang sangat cerah membuat saya kegirangan dan siap untuk menghitamkan kulit yang memang sudah sedari dulu dilahirkan dengan berwarna sawo matang. Tak perduli cahaya matahari sudah diatas kepala, saya tetap ingin menjelajahi keindahan pulau ini.
Pulau Gede atau Pulau Merak Besar adalah pulau hutan lindung yang difungsikan sebagai pelindung pelabuhan Ferry dan terminal terpadu Merak. Pulau Gede juga berfungsi sebagai penahan gelombang yang menuju pelabuhan Merak dan dijadikan sebagai kawasan lindung yang dilestarikan keberadaanya. Di sana, saya bukan hanya disuguhi pemandangan pasir pantai putih, namun juga pepohonan yang rindang.
Tak banyak orang yang sudah mengetahui tempat wisata ini. Namun sebenarnya pulau ini juga sangat berpotensi karena memiliki potensi sumber daya Kelautan dan Flora dan Fauna, Alamnya masih asri dan tidak berpenghuni, terdapat pula bebatuan dan koral situs Tsunami Gunung Krakatau tahun 1883.
Sementara bagi pecinta alam bisa melihat keindahan alam dengan berkemah di tengah pulau tersebut. Dan bagi pecinta ziarah religi di Pulau ini juga terdapat petilasan atau makam dari Prabu Ciung Wanara yang merupakan cucu dari Prabu Siliwangi, Petilasan Pendekar Jampang sehingga banyak pengunjung berziarah di lokasi tersebut.
Setelah mengelilingi pulau ini, sepertinya Pulau Gede ini memiliki luas kurang lebih 40 Ha dan sangat potensi akan sumber daya alam hayati dan perikanan, seperti pasir putih terletak disebelah Barat dan Selatan, terumbu karang disebalah Timur dan Utara serta potensi penangkapan ikan laut jenis Pelagis Kecil, Demersal dan Ikan Karang.
Bukan hanya berkeliling, banyak kegiatan lain yang saya lakukan di sana. Misalnya berenang ataupun snorkling. Di sini kita bisa ber-snorkling ria sepuasnya. Bagaikan matahari yang tidak ingin tenggelam, sama seperti kami yang tidak ingin beranjak dari pulau kecil ini. Dijamin, bagi siapapun yang ingin ke sana, sama seperti saya, kalian akan disajikan dengan pengalaman yang berbeda.
Pasalnya, saat kami berenang, tak sedikit hewan monyet mengahampiri kami. Mereka seakan tidak segan dan memang sudah terbiasa dengan kehadiran wisatawan. Mereka terkadang berenang bersama di laut, atau jailnya, monyet tadi mendekat dan diam-diam mengambil jajanan dan makanan yang tergetak di pinggir pantai. Sayang sekali, kami tidak sempat mengambil gambar untuk menggambarkan kejailan monyet-monyet tadi.
Tak terasa, tenggelamnya matahari mengingatkan kami untuk mengakhiri perjalanan kami. Seakan kami diingatkan dengan alarm alam, yang memang mengharuskan kami meninggalkan monyet-monyet jahil itu. Dan kami harus segera menuju perahu yang sudah kembali menjemput kami di tempat kami diturunkan sebelumnya, bak kereta Cinderella.
Pak Ramiadi, kami ingat betul siapa yang telah mengantarakan kami dengan perahunyanya menuju pulau tak berpenghuni itu. “Banyak wisatawan tertarik menikmati keindahan alam yang ditawarkan di pulau ini terutama pada akhir pekan seperti hari ini dan akan lebih ramai lagi jika libur anak sekolah bahkan saat menjelang lebaran daerah ini sangat diminati,” ungkapnya saat salah satu teman kami, Pernita menanyainya, 15 November satu tahun lalu.
Kami tak melupakan satu detik pun suasana sore waktu itu, bagaimana langit jingga, lembayung ungu pun seakan memperindah mata. Dimana perahu yang kami naiki, membelah dengan perlahan air laut yang membentang. Lalu perahu melaju memecah ombak. Membuat buih-buih air muncul di perairan. Hempasan angin laut makin terasa, membuat kami kembali mensyukuri akan apa yang telah Tuhan ciptakan di bumi ini.
Kesan sesudah mengunjungi pulau ini cukup unik dan menarik, yang masih teringat oleh saya adalah ketika saya menaiki perahu kecil untuk menyebrang, kemudian dari arah yang berlawanan terdapat kapal Ferry yang besar yang kemudian ombaknya sedikit mengguncanng keseimbangan perahu kecil kami. Saya dan juga penumpang perahu lain hampir panik dibuatnya. Namun itulah yang menjadi pemanis memori jalan-jalan kali itu.
Walau sayangnya masih dikelola secara tradisional oleh penduduk local, sehingga fasilitas yang ada masih sangat minim untuk ukuran sebuah tempat wisata. Di sana masih belum tersedia tempat untuk berganti pakaian setelah berenang. Namun pengunjung masih tetap ramai dan senang.
Rasanya saya masih ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di sini dan tidak ingin cepat berlalu. Dan berterima kasih kepada pulau yang memberikan kejutan yang tak saya duga sebelumnya. Tetapi harus bagaimana lagi, keterbatasan waktu yang membuat saya dan teman-teman harus pergi meninggalkan pulau menawan ini. Ingin rasanya suatu saat nanti, saya kembali bisa mengunjungi pulau yang memberikan pengalaman manis, memberikan lebih banyak warna yang bisa dipandang mata. Bukan hanya untuk berwisata, namun juga untuk mensyukuri atas apa yang telah Tuhan berikan kepada kami.
Penulis : Alfiyanita/BU