Matahari belum menunjukkan wujudnya, masih tertidur di sudut timur. Seno dan Mbah Gino bangun lebih dulu karena mereka tidak mau kalah dari ayam jago yang selalu membangunkan orang dan mencari rezeki di pagi hari. Mbah Gino berjalan sambil membawa cangkul yang sudah tua dan berkarat beserta arit yang mulai tidak tajam lagi, sedangkan Seno hanya membawa tas anyaman dan rantang berisi makanan. Seno, bocah berumur sepuluh tahun selalu membantu Mbah Gino menanam padi di sawah. Seno dan Mbah Gino berjalan menyusuri jalan setapak sambil menikmati suasana pagi yang berembun. Jarak dari rumah ke sawah Mbah Gino ditempuh sekitar tiga puluh menit dengan jalan kaki.
Siluet pegunungan masih tertutup kabut, matahari masih belum menunjukkan cahayanya. Seno dan Mbah Gino yang hampir sampai di sawah bertemu dengan Kang Dodo, seorang duda yang bekerja sebagai petani pula. Meskipun perawakannya seperti preman pasar, ia seorang yang baik dan suka membantu orang tua. Kang Dodo menyapa dengan ramah.
“Assalamualaikum ….”
“Waalaikumussalam ….”
“Pagi, Mbah Gino, Seno. Mau ke sawah?”
“Eh, Kang Dodo ternyata. Iya, Mbah dan Seno mau ke sawah, mau bareng berangkatnya?”
“Boleh, Mbah Gino. Ayo berangkat bareng.”
Mereka bertiga pergi ke sawah bersama. Kemudian Kang Dodo bertanya kepada Seno, “Kenapa kamu enggak sekolah, No?”
“Seno enggak punya uang untuk biaya sekolah, Kang Dodo. Melihat Mbah Gino yang kerja di sawah dan Mbah Dewi yang mengurus rumah membuat Seno ingin membantu mereka saja.”
Seno anak penurut dan taat kepada orang tua, dia dibesarkan oleh Mbah Gino dan Mbah Dewi karena kedua orang tuanya telah tiada karena kecelakaan. Kang Dodo merasa kagum ditambah sedih melihat Seno yang tulus membantu Mbah Gino dan Mbah Dewi.
Akhirnya mereka sampai di sawah, lalu duduk di gubuk bambu yang ada di sana. Fajar mentari mulai sedikit terlihat. Tak menunggu waktu lama, Seno dan Mbah Gino langsung bekerja. Seno membantu menyangkul tanah, Mbah Gino mengambil bibit padi, sedangkan Kang Dodo menyangkul sawah di lahan sebelah.
Matahari sudah benar-benar muncul dari timur, cahanya menerangi lahan sawah yang tadinya gelap menjadi terang. Sambil bekerja, Seno melihat sekumpulan anak-anak yang mengenakan pakaian sekolah rapih, menggendong tas, dan mengenakan sepatu bersih. Dalam lubuk hatinya, ia merasa iri dan cemburu melihat anak-anak lain yang bisa sekolah sedangkan dirinya sendiri harus bekerja. Namun, Seno menghilangkan perasaan itu dan fokus bekerja untuk membantu Mbah Gino.
Saat sedang menanam benih padi, Kang Dodo melihat bocah yang berlari seperti dikejar anjing liar.
“Hei, Usman, kenapa kamu lari kaya dikejar anjing?”
“Maaf, Kang Dodo, saya buru-buru. Saya bisa telat ke sekolah.”
Usman pun pergi meninggalkan Kang Dodo dan berlari sekuat tenaga dengan tas terbuka. Satu buku Usman jatuh tanpa disadari si pemiliknya. Melihat itu, Seno berjalan mengambil buku Usman dan berteriak :
“USMAN, BUKU KAMU KETINGGALAN!”
Usman tak mendengar teriakan Seno karena sudah cukup jauh. Akhirnya Seno memutuskan untuk mengembalikan buku Usman ke sekolah. Seno pamit kepada Mbah Gino bahwa ia ingin mengembalikan buku Usman yang jatuh.
***
Seno sampai di sekolah Usman yang sudah terlihat sepi. Sepertinya anak-anak sudah masuk ke kelas masing-masing. Seno bingung mencari Usman ada di ruang kelas yang mana. Tiba-tiba ada seorang guru yang menghampiri Seno.
“Assalamualaikum ….”
“Waalaikumussalam ….”
“Cari siapa, Nak?”
“Begini, Ibu Guru, saya kesini cuma mau memberikan buku milik Usman karena tadi terjatuh di jalan.”
“Oh, buku Usman. Ya sudah, sini Ibu kasih ke Usman.”
Seno memberikan buku milik Usman kepada ibu guru dan segera pamit.
“Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Bu guru”
“Sebentar, Nak, kamu enggak sekolah?”
“Tidak, Bu, saya harus membantu Mbah saya untuk bekerja di sawah. Maaf ya, Bu, saya harus segera kembali membantu Mbah saya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam ….”
Seno meninggalkan sekolah dan kembali ke sawah. Ibu guru merasa sedikit sedih melihat anak seumuran Seno harus bekerja membantu mbahnya. Saat bel sudah berbunyi semua anak-anak sudah duduk rapih di kursi masing-masing. Ibu guru masuk dan menyapa anak-anak.
“Selamat pagi, Anak-anak.”
“Selamat pagi, Bu guru Asri.”
“Wah, kalian semua semangat sekali. Ibu suka semangat kalian. Inilah semangat para calon penerus bangsa Indonesia.” Bu Asri kemudian memanggil Usman.
“Usman, sini, Nak.”
“Kenapa, Bu?”
Usman maju ke depan. Dia mengira alasannya dipanggil karena dia terlambat masuk sekolah. Tapi, ternyata Bu Asri memberikan buku Usman yang tadi ditemukan oleh Seno.
“Tadi ada anak yang menemukan buku kamu.”
“Siapa nama anak itu, Bu? Usman mau mengucapkan terima kasih.”
“Dia anak yang bekerja di sawah membantu mbahnya, kamu bisa berterima kasih padanya.”
Mendengar sosok anak yang disebutkan oleh Bu Asri, Usman langsung tahu kalau itu Seno karena sempat mendengar teriakannya. Kemudian Bu Asri menjelaskan kepada anak-anak :
“Anak-anak, kita semua harus menjaga buku, karena buku adalah jendela dunia yang memberikan ilmu dan pengetahuan kepada kita. Kalian semua paham?”
“Paham, Bu Asri.”
***
Sekarang sudah memasuki jam istirahat. Anak-anak keluar kelas untuk bermain dan membeli jajanan di penjual makanan. Namun, lain halnya dengan Usman, dia ingin berterima kasih kepada Seno karena sudah mengembalikan bukunya. Sempat terlintas dihatinya rasa sedih melihat Seno yang tidak bisa sekolah dan hidup bersama kakek dan neneknya. Tiba-tiba Bu Asri mendatangi Usman dan berkata :
“Usman, apa kamu kenal dengan anak yang mengembalikan buku kamu?”
“Iya, Bu, saya kenal. Anak itu namanya Seno. Dia bekerja membantu Mbah Gino di sawah.”
“Begini, Usman. Ibu punya beberapa buku bekas namun masih layak dibaca. Ibu ingin memberikannya kepada Seno. Apa kamu bisa tolong mengantarkannya?”
“Bisa, Bu. Saya juga ingin berterima kasih karena Seno telah mengembalikan buku saya.”
***
Pada pukul 12 siang, sekolah telah selesai dan anak-anak pulang ke rumahnya masing-masing. Sebelum pulang, Usman pergi ke sawah tempat Seno bekerja untuk memberikan buku bekas titipan Ibu guru Asri. Sesampainya di sawah, Usman melihat Seno dan Mbah Gino sedang makan siang di gubuk bambu dekat sawah. Usman pun menghampiri mereka.
“Assalamualaikum ….”
“Waalaikumussalam ….”
“Eh, ada Nak Usman. Sini, Nak, ada apa panas-panas ke sawah?”
“Begini, Mbah Gino, saya mau berterima kasih ke Seno karena telah mengembalikan buku saya.”
Usman sambil mengeluarkan buku bekas yang diberikan dari bu Asri.
“Seno, tadi Bu Asri bilang ke aku suruh kasih buku bekas ini ke kamu.”
“Buku? Tapi, kan aku tidak sekolah. Kenapa aku harus baca buku?”
Usman menjelaskan apa yang bu Asri ajarkan di sekolah.
“Bu Asri bilang, bahwa buku itu jendela ilmu, kita harus suka membaca buku supaya kita menjadi pintar dan punya banyak ilmu pengetahuan.”
Mendengar penjelasan Usman, Mbah Gino pun berkata kepada Seno, “Seno, ambilah buku itu. Yang dikatakan Usman benar, Nak.”
Mbah Gino merasa sedih karena tidak bisa menyekolahkan Seno karena tidak ada biaya. Melihat Usman memberikan buku bekas itu membuat Mbah Gino berpiki bahwa Seno berhak mendapatkan buku itu, walaupun bekas tapi buku tetaplah jendela ilmu.
Seno merasa sedikit malu, karena sebenarnya dia tidak bisa membaca. Selama ini dia hanya fokus membantu Mbah Gino ke sawah dan tidak pernah sekali pun memegang buku. Namun, Usman tetap memberikan buku itu kepada Seno, karena dia berpikir anak seumuran Seno juga punya hak untuk belajar apalagi belajar membaca.
“Tolong diterima, Seno. Kamu juga punya hak untuk belajar. Aku bisa mengajarimu cara membaca kalau kamu mau.”
“Benarkah? Kamu mau mengajariku membaca, Usman?”
“Tentu saja, Seno.”
Seno akhirnya menghabiskan waktunya dengan membaca buku bekas yang diberikan oleh Usman, tidak masalah buku itu sudah berdebu atau sampulnya yang tidak menarik dan uang. Buku tetaplah jendela ilmu yang membuka pengetahuan dan memberikan informasi kepada semua orang. Oleh karena itu, marilah sama-sama kita menyayangi buku dan mulai membaca buku.
Penulis : Bagus Awan Prayogo/Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia