Lagi-lagi Mama marah. Kenapa semua Mama di dunia ini senang sekali marah-marah di pagi hari? Aku hanya sedikit telat bangun, hanya sedikit. Tidak perlu dimarahi, cukup dibangunkan saja! Ah, rasanya ingin cepat dewasa agar terbebas dari Mama.
Aku pergi ke kamar mandi, membasuh diri dan sikat gigi. Saat ke dapur, makanan sudah terhidang di meja makan. Mama segera menyuruhku untuk sarapan. Kami makan hanya berdua, karena memang kami hanya memiliki satu sama lain. Jika seperti ini, keinginan untuk cepat dewasa jadi hilang. Kalau aku sudah dewasa, nanti Mama sama siapa? Ayah sudah meninggal ketika aku masih dalam kandungan, dan saudara-saudaraku sudah memiliki kehidupannya masing-masing. Mama akan kesepian jika aku meninggalkannya.
“Antarkan makanan ke bibimu,” ucap Mama sambil mencuci piring.
“Baik!”
Aku segera merapikan diri dan pergi menuju ke kediaman Bibi. Pintu rumah sudah kuketuki berulang-ulang, tapi Bibi tidak juga membuka pintu. Apa Bibi masih tidur? Kalau begitu, cukup simpan saja makanannya di dapur dan tinggalkan pesan bahwa ini dari Mama!
Bibi biasa tidak mengunci pintunya. Hal ini karena lingkungan kami yang tidak mengkhawatirkan dan selalu aman. Kami saling menghargai dan menghormati, menjauhi percekcokan yang sama sekali tidak berguna. Jadi tidak aneh jika setiap mengunjungi rumah-rumah, pintunya kebanyakan tidak dikunci.
Saat masuk ke dalam rumah, aku mendengar suara-suara yang samar. Aku heran, suara aneh apa ini? Kuletakkan makanan di dapur lalu mengikuti arah suara. Suaranya semakin keras dan aneh. Suara yang sangat, sangat, sangat membuat tidak nyaman. Tunggu, Bibi baik-baik saja, ‘kan? Khawatir, aku mempercepat mendekati suara itu.
Ketemu!
Aku mematung, mataku membelalak. Pemandangan gila macam apa ini?
Bibiku sedang … posisi aneh … dengan seorang laki-laki ….
Tapi keterkejutanku makin menjadi di detik berikutnya ketika Bibi memenggal kepala laki-laki itu. Setelahnya, aku sudah tidak bisa menyebutnya dengan kata terkejut karena ini berkali-kali lipat dari rasa terkejut! Bibi memakan kepala laki-laki itu! Kepalanya dimakan! Bibi yang memakannya!
Aku berteriak kencang sambil air mata mengalir deras. Bibi yang kaget menjatuhkan kepala yang setengah sudah habis dimakan. Aku langsung lari sekencang mungkin. Di sepanjang jalan, aku menangis sambil gemetar.
“Mama! Mama!”
“Ada apa? Jangan berte … ada apa denganmu? Mengapa menangis?”
“Aku, aku ….” Sial, bagaimana cara mengatakannya?
“Tenangkan dirimu, lalu katakan pelan-pelan.”
Tapi air mataku tidak mau berhenti!
“Ini, minum dulu, tenangkan dirimu.”
Aku meminum air yang Mama berikan. Aku berusaha mengontrol diriku, menenangkan pikiranku.
“Aku melihat Bibi, dia … dia … dengan seorang laki-laki, kemudian kepala, lalu makan …, uhhhhh!” Aku kembali menangis.
Wajah Mama mengerut, tapi tidak lama kembali mengendur. Mama menepuk-nepuk pundakku dengan pelan, lalu berkata, “tidak apa-apa, itu bukan apa-apa.”
“Hah?”
“Apa yang kau lihat, bukan apa-apa,” kata Mama, menjawab keherananku.
“Apanya yang bukan apa-apa? Bibi membunuh seseorang!”
“Itu,” Mama berdehem lalu meneruskan, “sungguh, itu bukan apa-apa. Ketika dewasa nanti, kamu akan paham.”
Aku menyingkirkan tangan Mama. “Apa maksud Mama? Membunuh seseorang adalah hal yang ‘bukan apa-apa’?”
“Dengarkan Mama—”
“Aku ingin penjelasannya!”
Mama menatapku, aku balik menatapnya dengan keteguhan hati. Apa-apaan ini? Mama bilang membunuh bukan apa-apa?
“Baik, Mama katakan. Tolong dengarkan dengan tenang,” ucap mama. “Ketika kita dewasa, kita akan menikah dengan laki-laki yang tertarik pada kita. Saat perkawinan terjadi, merupakan hal yang lumrah ketika kita memenggal kepalanya lalu memakannya. Hal itu dilakukan agar sperma yang dikeluarkan jumlahnya lebih banyak dari yang biasanya. Karena pada saat kepalanya kita penggal, syaraf ganglion juga ikut terputus yang menyebabkan sperma akan terus keluar. Lalu, kita memakan kepalanya agar kita bisa menghasilkan telur yang lebih banyak pula untuk dibuahi. Apa kau sudah paham?”
“Tunggu, apa memang harus seperti itu?”
“Tidak. Ada juga beberapa yang tidak memenggal kepala pasangannya. Tapi akibatnya, kemungkinan keturunannya hanya sedikit. Persentase berlangsungnya perkembangbiakan kita akan semakin kecil. Jika terus seperti itu, kita akan punah.”
Aku bingung harus berkata apa. Hening beberapa saat sampai akhirnya aku sadar pada satu hal. “Jadi, Mama juga membunuh Ayah?”
Mama terdiam menatapku. Aku menunggu jawaban Mama meski sudah tahu. Aku hanya ingin memastikannya dari mulut Mama sendiri.
Mama tersenyum lalu mengangguk.
Sial, senyumannya mengerikan!
“Semua saudara perempuanmu melakukan hal yang sama ketika kawin. Lalu, saudara laki-lakimu sudah tahu apa konsekuensinya ketika kawin. Jadi kemungkinan, saudara laki-lakimu sudah meninggal semua.”
Aku sudah lelah, sudah tidak bisa berkata-kata lagi.
“Kelak, kau juga.”
“Tidak akan!”
“Apanya yang tidak akan? Tidak akan memakan kepala pasanganmu? Maka telur yang dihasilkan akan sedikit.”
“Bukan. Aku tidak akan menikah. Aku tidak akan kawin lalu melakukan hal yang sama yang dilakukan kebanyakan kaum kita.”
“Dengar, ini memang sifat belalang sembah. Dirimu adalah belalang sembah! Mengapa kau tidak paham juga meski sudah dijelaskan?!”
“Tapi Mama …,” aku kembali menangis. “Aku tidak akan menikah, tidak akan!”
“Kau akan seperti ini hingga mati?”
“Iya!”
Mama ingin mengatakan sesuatu, tapi ia menutup kembali mulutnya. Mama hanya mengangguk kemudian menepuk-nepuk pundakku. Aku tahu, ada maksud dari tepukannya.
***
Tidak terasa, waktu cepat berlalu. Aku sudah dewasa dan kini sudah tidak tinggal bersama Mama. Aku tinggal sendiri dan menghidupi diri sendiri. Entah bagaimana kabar Mama, aku belum mengunjunginya. Mungkin besok atau lusa, aku akan datang ke Mama untuk melepas rindu.
Hari ini cerah, langit terus tersenyum. Udara juga sangat menyegarkan. Angin bertiup pelan menggoyangkan dedaunan yang hijau. Ah, aku suka dengan pemandangan seperti ini. Memberikanku ketenangan dan kenyamanan. Aku sangat menyukainya, sampai rasanya aku rela menjual jiwaku untuk dapat terus melihat semua ini. Tapi perasaan menyenangkan ini agak sedikit berbeda. Aku tahu sebabnya kenapa. Ini karena di tanganku, saat ini, ada kepala yang setengahnya sudah habis aku makan.
Penulis : Hesti Lestari/Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia